sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cerita kelam dari balik penjara: Narkoba hingga kelebihan kapasitas

Kelebihan kapasitas di lapas dan rutan salah satunya disebabkan pemakai narkoba yang dipenjara, bukan direhabilitasi.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Minggu, 26 Feb 2023 14:52 WIB
Cerita kelam dari balik penjara: Narkoba hingga kelebihan kapasitas

Sesak. Itulah kesan yang dirasakan Iqbal—bukan nama sebenarnya—saat dipindahkan dari penjara polsek ke Rutan Kelas 1 Tangerang, Banten, setelah pengadilan memutuskan ia terbukti bersalah sebagai pengedar narkoba jenis sabu-sabu.

Di rumah tahanan yang dikenal dengan Rutan Jambe itu, ia terlebih dahulu ditempatkan di ruangan berukuran sekitar lima kali lima meter. Ruangan itu adalah penampungan sementara, sebelum narapidana dipindah lagi ke blok tahanan.

“Bisa (diisi) 50 orang lebih,” kata dia kepada Alinea.id, Jumat (24/2).

“Sehari yang masuk ada lima, enam orang. Pas (saya) masuk saja, dulu sudah 30 orang.

Di Rutan Jambe, katanya, selain diisi tahanan yang menunggu vonis, juga diperuntukkan bagi narapidana yang divonis tak lebih dari tiga tahun. Di ruangan itu, narapidana harus tidur berhimpitan, dengan posisi miring.

“Kayak ikan bandeng,” ujarnya.

Kapasitas berlebih dan peredaran narkoba

Iqbal hanya sanggup bertahan di sana selama dua malam. Setelah itu, ia “beli” kamar.

Sponsored

“Satu orang Rp2,5 juta. Itu naik ke blok pesantren. Ruangnya gede,” tuturnya, yang bebas pada 2016.

Ia mengatakan, jual-beli kamar itu dilakukan oknum petugas rutan, dengan perantara narapidana yang menjabat sebagai kepala kamar. Usai pindah ke blok pesantren, Iqbal merasa lebih baik. Karena di sana ia mendapat satu matras untuk tidur.

Jika ingin berkomunikasi dengan keluarga, di rutan itu ada warung telepon (wartel). Akan tetapi, ada pula warga binaan yang menyelundupkan ponsel. Bagi tahanan yang apes, ponsel bisa disita kalau ketahuan ketika ada inspeksi mendadak.

Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah dua lembaga yang ditakuti tahanan karena tak kenal kompromi.

Tak seperti Iqbal yang sudah mengirup udara bebas sejak enam tahun lalu, Suheri—nama samaran—baru merasakannya tahun ini. Ia harus “menginap” di Lapas Narkotika Jakarta karena tertangkap menggunakan narkoba. Suheri mengatakan, kondisi di lapas kurang layak karena kelebihan kapasitas.

Kunjungan kerja Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM), Yasonna H. Laoly ke Lapas Ambon dan Rutan Ambon, Jumat (18/11/2016)./Foto Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkum HAM/kemenkumham.go.id

“Tertulis di depan kamar delapan orang, cuma diisi 20 sampai 30 orang. Dan itu benar-benar tidurnya harus berbagi banget. Kamar mandinya ada satu,” ucap dia, Sabtu (19/2).

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkum HAM, per 19 September 2022 terdapat 276.172 penghuni, baik di lapas maupun rutan. Rinciannya, 227.431 orang berstatus narapidana dan 48.741 orang berstatus tahanan.

Merujuk data tersebut, terjadi kelebihan penghuni di penjara sebanyak 144.065 orang atau sekitar 109% dari kapasitas lapas dan rutan. Berdasarkan kasus, 139.839 penghuni lapas dan rutan terjerat kasus narkoba. Rinciannya, 125.288 pemakai narkoba. Sisanya, sebanayak 14.551 orang adalah pengedar, penadah, bandar, dan produsen narkoba.

Iqbal mengaku, saat dirinya menjadi tahanan, tak ada peredaran narkoba di Rutan Jambe. Meski begitu, ia pernah mendengar desas-desus di penjara tetap ada peredaran narkoba. Ketika ia masih dalam sel, setengah warga binaan terlibat kasus narkotika, sisanya tindak kriminal lain.

BNN mencatat, dari 2009-2022 membongkar 7.707 kasus narkoba di Indonesia. Paling besar yang terungkap terjadi pada 2018 sebanyak 1.039 kasus, dengan 1.545 orang jadi tersangka. Kasus menurun di tiga tahun selanjutnya. Namun, kembali naik pada 2022, sebanyak 831 kasus, dengan 1.326 tersangka.

Sedangkan menurut pengakuan Suheri, saat masih di dalam bui, ia mesti betul-betul menjaga diri lantaran sudah berniat berhenti menggunakan narkoba. Namun, nahasnya ia berada di tempat yang sama dengan para bandar.

“Pengedarnya ini tingkatnya berbeda. Ada yang kelas internasional, ecek-ecek, bahkan home industry,” ucapnya,

Jika masih ingin bandel, jalannya tersedia karena ada bos-bos narkoba dengan jaringan yang luas. “Kita harus pintar-pintar cari teman, ketika berada di dalam,” tuturnya.

Ia mengaku, di dalam lapas masih ada warga binaan yang mengendalikan jaringan narkobanya di luar dengan ponsel. Bahkan, kata dia, ada tempat, alat isap, barang haramnya.

Suheri yakin, para bos narkoba yang buka “apotek”—istilah tempat transaksi sabu-sabu di lapas—sudah berkongsi dengan oknum petugas. Dugaannya, ada empat hingga lima apotek di penjara tempat ia ditahan. Menurut dia, apotek berada di selasar lorong antarblok kamar, yang dirancang seperti kamar dan tertutup.

“Jadi setiap blok ada bosnya, yang punya berbeda bos,” katanya.

Dia bilang, di lapas harga sabu-sabut relatif terjangkau. Paling murah Rp100.000. Sepengetahuannya, peredaran sabu-sabu bisa lancar karena para bandar merasa aman menjalankan bisnis di penjara.

“Di dalam dijagain, aman, ada apa-apa dikasih tahu,” tuturnya. “Mau ada kontrolan disuruh steril dulu, beres-beres dulu.”

Bagi warga binaan yang masih pakai sabu-sabu, tetapi tak punya duit, Suheri mengatakan, akan mengolah air bong (alat isap) menjadi sabu-sabu. Air bong bekas pengguna lain itu diperjualbelikan dengan harga murah, antara Rp15.000-Rp30.000.

“Kebanyakan orang yang melakukan hal itu (menggunakan air bong) pasti penyakitan. TB (tuberkulosis) yang paling sering,” ucapnya.

Upaya mengurangi kapasitas dan soal narkoba

Kepala bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkum HAM, Rika Aprianti, menegaskan peredaran narkoba di lapas dilarang. “Kalau terbukti memang masih terlibat peredaran narkoba, siapa pun itu, pastik akan ditindak. Baik itu warga binaan atau pun petugas,” ucap Rika, Kamis (23/2).

Bila ada petugas lapas yang terbukti terlibat peredaran narkoba, kata Rika, maka bakal dijatuhkan sanksi hukum dan administrasi. “Kita perang kok terhadap narkotika,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan, jika seseorang ditangkap karena menggunakan narkoba, ada baiknya dihukum rehabilitasi, bukan dipenjara. Hal itu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengurangi kelebihan kapasitas di lapas maupun rutan.

“Dengan berlakunya KUHP (baru), kan ada sanksi-sanksi alternatif, yang tidak harus memasukkan pelanggar hukum itu ke lapas atau rutan,” ujarnya.

Ditjen PAS sendiri, ujar Rika, sudah punya banyak strategi menyelesaikan masalah kelebihan kapasitas di penjara. Salah satunya, pemberian hak bersyarat bagi warga binaan, seperti remisi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.

“Hak bersyarat itu, selain harapan kita dia cepat kembali ke masyarakat, salah satu pengaruhnya juga adalah memengaruhi (kelebihan) hunian,” kata dia.

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Krisno Halomoan Siregar (tengah) saat konferensi pers terkait peredaran narkoba jenis sabu-sabu lewat jalur laut dari Malaysia ke Aceh di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (25/1/2023). Alinea.id/Immanuel Christian

Sementara itu, Direktur LBH Masyarakat Afif Abdul Qoyim berpendapat, kelebihan kapasitas di penjara perlu dilihat dari sisi regulasi. Sebab, penghuninya didominasi kasus narkotika.

“Penyusunan regulasi itu masih memuat perspektif penghukuman penjara sebagai salah satu intervensi kasus-kasus narkotika,” katanya, Kamis (23/2).

“Di tahap regulasi itu, LBH Masyarakat dan kelompok masyarakat sipil, keberatan karena ini bukan menyelesaikan masalah, justru malah menambah masalah.”

Menurut Afif, persoalan pengguna narkoba tak tepat diselesaikan dengan hukuman penjara, tetapi melalui intervensi kesehatan. Jika perspektif itu tak digunakan, maka yang terjadi penjara kelebihan kapasitas.

Lalu, ia mengatakan, bila di lapas sampai ada warga binaan yang mengolah air bong unuk dikonsumsi, hal itu menunjukkan penjara bukan solusi bagi pengguna narkoba. Ketika pengguna tak mendapatkan zat terlarang karena dipenjara, maka ia akan memakai berbagai cara untuk mendapat zat haram itu.

“Ini tentu menyakitkan bagi pengguna narkotikanya sendiri, dan juga buruknya penegakan hukum di Indonesia,” ucapnya.

“Bisa jadi, misalnya, kebutuhan pengguna mendapatkan narkotika karena disuplai melalui petugas. Itu kan menjadi problem.”

Masalah lain adalah penyatuan pengguna narkoba dengan bandar di dalam penjara. Namun, dalam praktiknya asesmen untuk rehabilitasi, ujar Afif, kerap tebang pilih. Jika pengguna narkoba adalah publik figur, maka prosesnya cepat. Kondisi itu berbanding terbalik, bila yang terjerat masyarakat biasa. Situasi demikian membuat penyalahgunaan wewenang menjadi potensial.

“Ketika publik melihat itu injustice atau ketidakadilan, maka integritas aparat dipertaruhkan. Nah, ketika integritas aparat dipertaruhkan, maka siapa lagi aparat yang bisa kita percayai? Itu kan logika sederhananya,” ujar dia.

Afif menyimpulkan, penanganan kasus narkoba di Indonesia masih buruk. Selain bermasalah di sisi regulasi, implementasinya juga masih punya catatan. Di samping itu, penting pula melakukan pengawasan.

“Jadi, logika-logika itu pasti akan muncul karena kita berkutat di masalah yang sama, aktor-aktornya juga itu-itu saja, dan sasarannya itu-itu juga,” kata Afif.

“Jadi ibarat kita dikandangin, ya kita akan interaksi dengan ini lagi, masalahnya itu lagi.”

Berita Lainnya
×
tekid