sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kisah "perang" relawan Covid-19 di garis depan 

Pertempuran pertama ialah mendapat restu dari keluarga.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 24 Apr 2020 18:39 WIB
Kisah

Pada mulanya, keputusan Malik Ibrahim untuk terjun menjadi relawan kemanusiaan tak pernah dipersoalkan orangtua dan keluarga besar. Dalam bayangan mereka, Malik hanya bakal bersentuhan dengan pasien biasa yang penyakitnya tak menular. 

Mereka tidak tahu Malik ternyata ditugaskan sebagai sopir ambulans di Puskesmas Panunggangan, Kota Tangerang, Banten. Sejak awal Maret, Malik bolak-balik mengangkut warga Tangerang yang kemungkinan mengidap Covid-19. Pergi pagi, pulang malam.  

Entah bagaimana caranya, keluarga akhirnya mengetahui detail tugas Malik di puskesmas itu. Konflik pun sempat pecah di rumah keluarga Malik. Keluarga menuntut Malik berhenti jadi relawan.

"Ini sebenarnya cobaan terberat bagi saya. Keluarga itu bilang, 'Udahlah setop, resign karena ini udah benar-benar berisiko.' Yang sakit aja enggak ketahuan. Ada orang tanpa gejala (OTG)," ujar Malik saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (11/4).

Keberatan keluarga Malik beralasan. Malik memang bukan mahasiswa kedokteran. Di Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), pemuda berusia 23 tahun itu tercatat sebagai mahasiswa semester enam.

Namun demikian, Malik berkukuh tetap menjadi relawan. Perlahan, keluarga luluh. Argumentasi Malik mereka terima. "Saya jelaskan secara baik-baik. Cara penularannya bagaimana, terus prosedurnya bagaimana. Ini supaya mereka enggak khawatir tingkat tinggi," tutur Malik. 

Restu dari keluarga sedikit meringangkan beban Malik saat bertugas menjadi relawan. Tak punya pengalaman sebelumnya, Malik harus bekerja keras untuk segera beradaptasi dengan tanggung jawab barunya sebagai petugas ambulans. 

Sebelum benar-benar terjun ke lapangan, beragam pelatihan pun diikuti Malik. Selain yang terkait protokol kesehatan saat bertugas, Malik pun diajari bagaimana caranya menjaga pasien agar tidak panik. 

Sponsored

"Kami diedukasi, dari cara penanganannya, bagaimana support system kepada pasien jangan sampai dia down. Soalnya, banyak pasien yang berpikir dia bakal mati besok. Padahal, semangat itu penting untuk menjaga imun," kata dia. 

Relawan Indonesia Bersatu Lawan COVID-19 bersiap menggunakan APD saat menghadiri acara Siaga Pencanangan Gerakan Nasional Indonesia Bersatu Lawan COVID-19 di Lapangan Wisma Atlet, Jakarta, Rabu (22/4). /Foto Antara

Ragam tantangan menjadi relawan

Meskipun begitu, perjalanan menjemput warga yang potensial mengidap Covid-19 selalu mendebarkan bagi Malik dan rekan-rekannya. Malik mengisahkan, ia dan rekan-rekannya bahkan pernah "berjumpa" dengan warga yang potensial mengidap Covid-19 tanpa alat pelindung diri (APD) yang memadai. 

Ketika itu, ia mendapat laporan dari warga mengenai kasus seorang ibu yang kejang-kejang di kawasan Sawah Dalam, Tangerang. Malik dan rekan-rekannya bergerak cepat. Saat tiba di lokasi, ibu tersebut ternyata telah semaput. 

Dari mulut dan hidung ibu itu, kata Malik, cairan mengalir. Sesekali, sang ibu terbatuk. "Kami sempat ragu untuk melakukan penanganan. Kami jujur takut sebab kami harus kontak langsung," ujar Malik. 

Melihat kondisi korban kian kritis, Malik dan rekan-rekannya memberanikan diri untuk menyentuh ibu itu. "Mau enggak mau. Sebab kalau enggak, kami khawatir dia tidak tertolong. Kami berdosa nantinya kalau begitu," imbuh Malik

Mereka kemudian membawa ibu tersebut ke rumah sakit rujukan. Usai menuntaskan tugas itu, rasa cemas pun menghantui Malik dan rekan-rekannya. Mereka baru lega setelah mengetahui sang ibu ternyata punya riwayat sesak nafas.

"Statusnya PDP (pasien dalam pengawasan). Di pikiran saya waktu itu, habis ini (mengantar pasien) mungkin kami semua positif. Perasaan cemas itu lumayan menyita pikiran," tutur Malik. 

Dalam kasus lainnya, Malik dan tim medis harus menghadapi pasien yang ngeyel. Ketika diminta mengikuti protokol kesehatan, pasien itu malah mengancam tim medis. Padahal, dokter telah menyarankan agar pasien tersebut diisolasi.

"Dia bilang, 'Gua punya kenalan DPR lho. Jangan macem-macem. Jangan sok nasehatin.' Padahal, kita tahu statusnya dia dari kronologi dokter yang pernah periksa dia," ujar Malik. 

Relawan Indonesia Bersatu Lawan COVID-19 melakukan tes cepat COVID-19 pada acara Siaga Pencanangan Gerakan Nasional Indonesia Bersatu Lawan COVID-19 di Lapangan Wisma Atlet, Jakarta, Rabu (22/4). /Foto Antara

Selain yang kritis dan yang ngeyel, Malik menuturkan, belakangan ia dan rekan-rekannya juga kerap mendapat tugas menjemput pasien positif Covid-19, namun tanpa gejala atau OTG. Meski tak serepot dua jenis pasien sebelumnya, pertemuan dengan OTG membuat Malik kian waspada.

"Saya memilih siap siaga. Kita harus berpikir satu langkah di depan status (pasien). Jadi, ibarat orang ODP, kita anggap PDP. Orang PDP, kita anggap positif," tuturnya. 

Tantangan menjadi relawan Covid-19 tak berhenti hanya saat jam kerja. Usai tugas selesai, Malik punya segudang tahapan yang mesti dilalui sebelum pulang dan beristirahat. Yang pertama kali harus dilakukan ialah membersihkan diri menggunakan disinfektan dan mengganti baju kerja. 

"Melepas ada tata caranya. Buka sarung tangan, cuci tangan lagi, buka baju, cuci tangan lagi. Kemudian kita mandi, pakai baju baru. Nah, setelah itu kita enggak boleh langsung pulang. Minimal 3-4 jam baru pulang. Pulangnya tidak langsung masuk rumah. Sampai rumah, motor dan pakaian didisinfektan lagi. Terus saya mandi lagi. Ganti baju lagi," tuturnya.

Ragam tantangan itu tak membuat Malik jera. Malik justru bertekad untuk tetap menjadi relawan hingga pandemi Covid-19 berakhir. "Sampai virus ini benar-benar tamat riwayatnya. Sampai benar-benar clean. Sebab, kalau bukan kita, siapa lagi yang bantu mereka," ujar dia.

Fajar Lukman Tambose dan Danu Risky Fadillah berfoto untuk Alinea.id di sela-sela pekerjaannya sebagai relawan di RSUD Kalideres, Jakarta Barat. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Kisah Tambose dan Risky 

Sulitnya mendapatkan restu keluarga saat terjun menjadi relawan Covid-19 juga dialami Fajar Lukman Tambose dan Danu Risky Fadillah. Keduanya kini bertugas menjadi relawan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kalideres.

Saat berbincang dengan Alinea.id di salah satu sudut rumah sakit, Fajar dan Risky menuturkan harus "berkelahi" dulu sebelum akhirnya keluarga merelakan terjun membantu penanganan Covid-19. 

"Orangtua sebenarnya ngelarang pertamanya, 'Udah di rumah aja. Enggak usah ikut dan lain-lain.' Tapi, akhirnya diizinin. Karena gua emang batu (keras kepala)," ucap Risky. 

Risky saat ini masih mengenyam bangku kuliah di Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta. Meski sejak kuliah sudah sering terjun menjadi relawan bencana, Risky hanya ditugasi mendata di RSUD.

Namun, tugas itu pun sudah bikin dia paranoid. Terlebih, kontruksi bangunan rumah sakit belum "relevan" untuk dipakai mengatasi penyakit menular. 

"Sebab gerbangnya cuma satu. Sedangkan IGD (instalasi gawat darurat) untuk Covid-19 cuma di depan tenda, dan sangat mudah papasan (dengan pasien). Apalagi, ada OTG. Jadi, berisiko," ucapnya.

Tambose setali tiga uang. Guru sekolahan itu mengaku sempat dilarang keluarga saat memutuskan jadi relawan Covid-19. "Tapi, pelan-pelan kami jelasin ada protokol kesehatan dan kami dikasih basic protokol kesehatan. Lalu, saya praktikan saat di rumah. Jadi, mereka enggak khawatir," kata dia. 

Tambose mengaku tergerak menyumbang tenaga lantaran banyak relawan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta yang mundur dari tugas. Padahal, rumah sakit tengah membutuhkan bantuan tenaga untuk mengatasi pandemi. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Kini, sudah dua pekan Tambose dan Risky bertugas sebagai relawan. Bersama dua rekannya yang lain, keduanya bergantian mendata pasien yang datang, jumlah dokter, dan kebutuhan APD di rumah sakit. 

"Terus, mencarikan rumah sakit yang available untuk rujukan. Bahkan, menerima panggilan dari masyarakat yang membutuhkan tindakan medis," ujar Tambose. 

Hingga kini, total sudah ada 26.974 relawan yang terdaftar di Tim Koordinasi Relawan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sebanyak 4.975 relawan medis dan 21.998 relawan nontenaga medis dengan beragam kompetensi. 

Koordinator Relawan Gugus Covid-19 Andre Rahadian mengatakan angka itu belum cukup. Indonesia, kata Andre, butuh lebih banyak relawan lagi untuk mengatasi pandemi. "Terlebih, untuk relawan medis karena memang kebutuhan perawat memang banyak," ucapnya.

Agar tugas mulia membawa Indonesia keluar dari jerat pandemi berhasil, Andre mengingatkan agar para relawan tetap mematuhi protokol kesehatan Covid-19. "Jangan sampai kita sebagai relawan justru jadi bagian yang menyebarkan penyakit," kata dia. 
 

Berita Lainnya
×
tekid