sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Covid-19: Puluhan dokter RS Kariadi ‘korban’ buruknya strategi Kemenkes

Para tenaga medis juga menjadi "tumbal" pola pikir pemerintah yang meremehkan Covid-19 sejak awal.

Ardiansyah Fadli Fatah Hidayat Sidiq
Ardiansyah Fadli | Fatah Hidayat Sidiq Senin, 20 Apr 2020 08:47 WIB
Covid-19: Puluhan dokter RS Kariadi ‘korban’ buruknya strategi Kemenkes

Banyak tenaga medis terpapar coronavirus anyar (Covid-19). Beberapa di antaranya, meninggal dunia. Pada Sabtu (18/4), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengumumkan, sebanyak 44 anggotanya wafat.

Kasus penularan terbaru kepada tenaga medis, menimpa 34 dokter Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) dr. Kariadi, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng). Padahal, menjadi satu dari 132 fasilitas kesehatan (faskes) rujukan Covid-19.

Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jateng pun mendesak pemerintah, dari pusat hingga daerah, memantau dan mengevaluasi pelayanan RS sampai protokol kesehatan di tingkat desa. Pangkalnya, insiden di RSUP dr. Kariadi merupakan masalah serius.

“Pemerintah harus serius melindungi tenaga medis agar tidak terulang,” kata Sekretaris DKR Jateng, Prijo Wasono, melalui keterangan tertulis.

 

Terpisah, Direktur Utama RSUP dr. Kariadi, Agus Suryanto, menjelaskan, kasus itu muncul saat puluhan tenaga medis melakukan operasi bedah kepada pasien yang tak teridentifikasi. “Jadi, ini bukan diduga pasien Covid-19.”

Beberapa Yang terpapar, adalah enam dokter spesialis bedah syaraf, satu dokter spesialis penyakit dalam, satu dokter spesialis anak, dan 15 peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Sebagian besar yang tertular tidak menunjukkan gejalan (OTG). Menurut pemerintah, pasien positif Covid-19 yang tergolong OTG bisa mencapai 70%.

Sementara, akademisi ilmu kesehatan masyarakat dan kedokteran komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Joko Mulyanto, berpendapat, kejadian di RSUP dr. Kariadi menunjukkan pemerintah tak memiliki rencana matang. Alasan kedua, pola pikir pemerintah yang cenderung meremehkan (mindset downplaying) Covid-19 sejak awal.

Sponsored

 

 

Dirinya mencontohkan dengan sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengaktifkan kembali RS rujukan zaman wabah sindrom pernapasan akut berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS)–yang merebak sejak 2002–dan flu burung (Avian Influenza)–pada 2007–untuk penanganan Covid-19. Namun, Joko sangsi pemerintah melakukan pengecekan ulang terhadap fasilitas-fasilitas RS sebelum ditetapkan sebagai rujukan.

“Saat SARS, flu burung, dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome atau sindrom pernapasan Timur Tengah) terjadi di Indonesia pada beberapa tahun lalu, jumlah kasusnya sedikit. Mungkin itu Kemenkes merasa percaya diri untuk mengaktifkan kembali RS rujukan sebelumnya. Padahal, Covid-19 adalah penyakit yang sama sekali berbeda dengan SARS, flu burung, dan MERS,” tegasnya saat dihubungi Alinea.id.

Penetapan RS rujukan flu burung diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) Nomor 414/Menkes/SK/lV/2007 (ada 100 lokasi di 31 provinsi). Sementara, RS rujukan Covid-19 tertuang dalam SK Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/169/2020 (terdapat 132 tempat di 34 provinsi).

Berdasarkan informasi yang diterimanya, beberapa pengelola RS justru baru tahu menjadi faskes rujukan Covid-19 setelah SK Menkes terbit. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) Kemenkes juga dikabarkan baru bersurat ke RS terkait kapasitasnya dalam beberapa pekan lalu. “Anda mungkin bisa mengeceknya ke Kemenkes terkait penetapan rumah sakit rujukan dan surat Ditjen Yankes itu,” ucap dia.

 

Menurutnya, langkah pemerintah dalam menyiapkan faskes rujukan Covid-19 tersebut keliru. Kemenkes semestinya sudah mengantisipasi penambahan kapasitas sejak jauh-jauh hari karena kasus Covid-19 terkonfirmasi terus meningkat. “Mungkin pemerintah sudah seharusnya melakukan persiapan semenjak Februari lalu,” ujarnya.

Saran berikutnya, Kemenkes membuat panduan (guidance) tentang tindakan-tindakan yang harus dilakukan RS dalam menangani pasien dan petunjuk itu diperbarui terus-menerus sesuai perkembangan, karena Covid-19 penyakit baru dan buktinya baru dapat diketahui belakangan.

“Apabila Kemenkes tidak rajin update guidance, rumah sakit bisa tidak tahu dengan perkembangan terbaru dan ini akan semakin membahayakan ke depannya,” jelas alumnus Universitas Diponegoro ini.

Ketiga, mendesak pemerintah melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) kepada tenaga kesehatan (nakes) secara berkala, mengingat mereka berisiko tinggi untuk tertular SARS-CoV-2 saat menangani pasien. “Sayangnya, kapasitas tes PCR di Indonesia oleh pemerintah tergolong rendah, padahal kebijakan tersebut dilakukan di banyak negara lain,” paparnya.

 

Keempat, pemerintah memastikan ketersediaan alat pelindung diri (APD) berkualitas terbaik bagi tenaga medis. “Banyak negara maju, yang liberal sekalipun, menasionalisasi produksi dan distribusi APD, sehingga keselamatan para dokter dan perawat dalam menangani pasien terjamin” ungkap Junior Researcher Health Service Research & Social Epidemiology University of Amsterdam ini.

Joko melanjutkan, buruknya kebijakan yang diambil pemerintah terhadap RS rujukan Covid-19 akan menimbulkan berbagai masalah di faskes. Salah satunya, RS rujukan daerah menjadi enggan mengambil risiko karena kemampuan terbatas dan ketersediaan APD sesuai standar tindakan berisiko minim.

Kemudian, RS rujukan utama Covid-19 pun menjadi kurang waspada saat melakukan tindakan berisiko tinggi kepada pasien. Padahal, saat ingin membedah pasien memungkinkan terjadinya penularan secara aerosol, sehingga ruang harus dimodifikasi dan tim medis memakai APD berstandar tertinggi.

“Menurut saya, hanya RSPI Sulianti Suroso dan RSUP Persahabatan yang benar-benar aman untuk menangani pasien Covid-19,” katanya.

Dirinya berpendapat, seharusnya pemerintah telah membuat panduan tentang tindakan apa pun di RS dan salah satu isinya, melakukan penapisan kepada seluruh pasien dan semua pelayanan menerapkan protokol Covid-19 hingga ada yang terbukti positif terinfeksi.

“Pemerintah berarti harus memastikan kesiapan tes PCR dilakukan di seluruh RS tanpa terkecuali agar keselamatan tenaga kesehatan terjamin. Jika PCR belum memungkinkan, bisa dilakukan tes cepat (rapid test) sebagai alternatif pengecekan terhadap setiap pasien yang datang,” ucapnya. 

Apabila insiden di RSUP dr. Kariadi terulang, puluhan tenaga medis terinfeksi, Kemenkes dianjurkan meniru kebijakan negara-negara maju dengan menyetop (shutdown) sementara layanan RS. Pada masa ini, pemerintah melakukan penapisan (screening) kepada para tenaga medis. Setelahnya, RS dioperasionalkan kembali untuk melayani pasien.

Mortalitas “meroket”
Joko mengingatkan, buruknya prosedur penanganan Covid-19 oleh pemerintah akan berdampak buruk terhadap pasien dan tenaga medis, seperti memperbanyak kasus dan meningkatkan fatalitas secara absolut.

Dia kemudian membuat simulasi, di mana dan negara dengan strategi bagus dan terjadi 10.000 kasus, maka persentase tingkat kematian (case fatality rate/CFR) sekitar 2% atau sebesar 200 pasien yang meninggal dunia. Sedangkan pada negara dengan strategi buruk dan yang terinfeksi satu juta, jumlah korban jiwa mencapai 20.000 orang.

“Ketika layanan kesehatan tidak siap, kapasitas tidak mencukupi, dan strategi negara dalam menangani Covid-19 buruk, fatalitas akan naik dari 2% menjadi 5% bahkan 8%,” ungkapnya.

Buruknya intervensi pemerintah dalam menangani Covid-19 juga akan mengganggu pelayanan kesehatan kepada pasien-pasien penyakit lain, seperti RS menjadi penuh dan tidak bisa berobat. Padahal, kasus-kasus itu masih terlayani dengan baik saat situasi normal dan kematian bisa dicegah.

Tenaga medis, garda terdepan melawan Covid-19, juga menjadi korban buruknya strategi pemerintah, sehingga sistem kesehatan sukar bertahan dalam jangka panjang.

“Misalnya, banyak dokter spesialis yang terinfeksi dan akhirnya tidak bisa bertugas, pasien tidak bisa ditolong. Kalau ini sampai terjadi, tentu sangat fatal,” tegas Joko. Jika dokter spesialis itu wafat, membutuhkan waktu belasan tahun pendidikan untuk kembali menghasilkan tenaga medis yang setara.

Sementara, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum merespons pertanyaan yang dilayangkan Alinea.id terkait penunjukkan RS rujukan Covid-19 hingga berita ini ditulis. Baik oleh Direktur Jenderal Yankes, Bambang Wibowo maupun Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kemenkes, Busroni.

Berita Lainnya
×
tekid