sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Covid-19: Peran negara lemah, siapa yang harus dipercaya?

Pemberdayaan komunitas di tingkat RT/RW perlu dimaksimalkan untuk mencegah pandemi coronavirus (Covid-19).

Ardiansyah Fadli Fatah Hidayat Sidiq
Ardiansyah Fadli | Fatah Hidayat Sidiq Jumat, 03 Apr 2020 07:26 WIB
Covid-19: Peran negara lemah, siapa yang harus dipercaya?

Kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengangani pandemi coronavirus anyar (Covid-19) rendah. Memperburuk pelaksanaan segala imbauan dalam situasi masyarakat yang cenderung abai terhadap peraturan (disorder).

Akibatnya, kata Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Erna Ermawati Chotim, masyarakat panik. Akhirnya bertindak sendiri-sendiri atau sesuai kesepakatan kelompoknya dalam mencegah penularan Covid-19.

"Masing-masing orang cari solusi di levelnya masing-masing. Itu sebenarnya situasi yang normal. Ada 'rational price' yang bekerja di situ," ujarnya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, baru-baru ini.

Pada situasi tertentu, tambah dia, seseorang berupaya maksimal mungkin menyelamatkan dirinya sendiri sesuai opsi yang dimilikinya. Tanpa mempertimbangkan kondisi atau posisi orang lain.

"Ketika terakumulasi, dan masif, dan enggak terkontrol dalam lingkup negara, ini yang bahaya," ucapnya mengingatkan.

Praktik tersebut tecermin dari adanya pengusiran terhadap tenaga medis penangan pasien terduga atau terinfeksi virus SARS-CoV-2. Pernah dialami beberapa dokter dan perawat Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur.

"Misalnya, ada kasus yang meninggal dengan posisi statusnya belum jelas (terjangkit Covid-19 atau tidak). Tapi, kemudian masyarakat malah menolak pemakamannya. Itu, kan, respons yang jadi tidak terkendali karena tidak jelas acuannya," urainya disertai contoh lain.

"Situasi itu mencerminkan tatanan dari negara tidak stabil, sehingga negara tidak mampu men-direct sebuah kebijakan yang menggaet perilaku atau sikap di level bawahnya. Secara sosiologis, ini cermin sebuah situasi di mana negara kita, negara yang lemah," tuturnya.

Sponsored

Warga berakativitas di depan akses masuk kampung yang ditutup di Kalideres, Jakarta, Sabtu (28/3/2020). Foto Antara/Fauzan

Kondisi berbeda terjadi di Eropa. Meski sama-sama darurat kesehatan dan mengalami kepanikan, masyarakat di Benua Biru tetap patuh terhadap langkah yang diambil negaranya. Ini dipengaruhi sikap pemerintah yang jelas dan terukur. "Bisa ambil contoh negara Jerman dan Inggris," kata Erna.

Peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) itu melanjutkan, idealnya ada dialog antara pemerintah dengan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Hasil akhirnya, masyarakat secara horizontal membangun perekat (bonding social capital).

"(Perekat) itu selalu ada dalam masyarakat dan setiap masyarakat itu pasti punya. Tapi, besar atau kecilnya itu sangat tergantung keberadaan institusi atau lembaga yang ada di tingkat lokal, semacam aturan main, dan itu dikendalikan sama tokoh," tuturnya.

Dengan demikian, muncul figur-figur lokal yang bisa dipercaya saat posisi negara di mata publik dalam keadaan kritis. Selanjutnya, memobilisasi dan mengapitalisasi modal sosial tersebut. "Sehingga, resource yang ada itu terdistribusi secara merata," jelas Erna.

"Munculnya Imam Prasojo, dokter Tirta, itu, kan, bagian dari modal sosial untuk dapat 'menjahit'. Termasuk perguruan tinggi, IDI (Ikatan Dokter Indonesia)," imbuh dia.

Pemberdayaan komunitas
Bak pinang dibelah dua. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) berpandangan serupa. Imbauan pemerintah tentang pencegahan Covid-19 belum diterapkan dengan baik.

"Dari evaluasi kita, memang anjuran untuk social distancing, physical distancing di komunitas tidak berjalan mulus. Masih sering orang berkerumun, orang pergi dengan tetangga. Itu masih kelihatan," beber Sekretaris Jenderal IAKMI, Husein Habsyi, pada kesempatan berbeda.

Karenanya, peran RT/RW dalam meminimalisasi risiko krisis kesehatan ini perlu didorong. Setidaknya di lingkungan masing-masing. "Betapa pun kuatnya kepres (Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, red) kalau enggak didukung community leader, sulit berjalan," ungkapnya.

Karena itu, jelas Husein, IAKMI kini gencar menggalakkan 'perang akar rumput (community fighting)' dalam melawan penyakit menular tersebut. Langkah konkret di lapangan dengan membentuk gugus tugas di tingkat RT/RW. "Sehingga, wilayah yang paling kecil bisa terkontrol dengan ketat."

Melalui kebijakan tersebut, diharapkan diskriminasi terhadap pasien, jenazah, dan tenaga medis penangan Covid-19 bisa dihindari. "Ini harus selalu diperkuat," tutup dia.

Tangkapan layar status netizen di media sosial terkait tenaga medis ditolak warga tempat tinggalnya. Twitter/@skinnypandaaa

Sampai sekarang, baru beberapa pemerintah daerah (pemda) yang melibatkan peran RT/RW dalam menangani pandemi Covid-19. Seperti di DKI Jakarta dan Kota/Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Berdasarkan pedoman yang diterbitkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Gugus Tugas Covid-19 RW berfungsi melakukan beberapa hal. Memantau warga berstatus ODP, PDP, dan positif terjangkit; melaporkan ODP yang tidak memiliki ruang karantina mandiri ke perangkat RW; mendata warga berstatus ODP, PDP dan positif yang perlu disantuni; dan memastikan warga wilayah masing-masing mematuhi aturan jaga jarak fisik.

Dalam melaksanakan tugasnya, Gugus Tugas Covid-19 RW memiliki beberapa perangkat. Koordinator lapangan (survei dan verifikasi informasi); koordinator kesehatan (memastikan akses dan faskes); koordinator dokumen
kependudukan (mengurus data dan administrasi); koordinator kesejahteraan (mengatur pemenuhan logistik warga); koordinator kebersihan (mengatur kebersihan lingkungan dan tempat isolasi sementara); serta koordinator keamanan (melakukan pengamanan wilayah)

Peran RT/RW di DKI Jakarta dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Dokumen Pemprov DKI Jakarta

Peran RT/RW di DKI Jakarta dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Dokumen Pemprov DKI Jakarta

Berita Lainnya
×
tekid