sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gaduh pemindahan alat riset eks Eijkman dan buram nasib penelitian di bawah BRIN

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyebut, informasi pemindahan alat riset dari Lembaga Eijkman yang sembarangan adalah hoaks.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 18 Feb 2022 06:19 WIB
Gaduh pemindahan alat riset eks Eijkman dan buram nasib penelitian di bawah BRIN

Pekan lalu, viral di media sosial Twitter perkara pemindahan alat dari Gedung Lembaga Eijkman di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat ke Laboratorium Genomik di Cibinong Science Center, Bogor, Jawa Barat—menyusul integrasi Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—yang dinilai tanpa prosedur dan sembarangan.

Usai diintegrasikan ke dalam BRIN pada September 2021, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman berubah nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.

Beberapa yang disorot, di antaranya pemindahan mesin PCR, real time PCR, dan DNA sequencer atau 3500xL Genetic Analyzer, yang rentan rusak dan bernilai miliaran rupiah.

Mengetahui kabar ini, mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio agak geram. Pemindahan alat dari Gedung Lembaga Eijkman, menurutnya, mesti dilakukan hati-hati.

“Semua alat penelitian di Eijkman sangat kami eman-eman (sayang) dan tidak kami perlakukan asal-asalan,” kata Amin kepada Alinea.id, Senin (14/2).

Ihwal pemindahan alat riset

Peneliti senior ini sudah sangat akrab dengan berbagai alat riset di lembaga yang dahulu dipimpinnya. Ia takut, jika asal memindahkan, alat-alat itu bakal rusak.

Bukan hanya dirinya. Pakar mikrobiologi klinik ini mengatakan, semua peneliti eks Lembaga Eijkman sangat hati-hati memperlakukan alat, tak berani memindahkan tanpa ada pendamping teknis atau vendor.

Sponsored

Amin mengungkapkan, dari sekian banyak alat yang dipindah ke Bogor oleh BRIN, terdapat alat sequencing (pengurutan) genom yang sensitif dengan getaran dan bernilai tinggi.

Gedung Lembaga Eijkman di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Foto eijkman.go.id

“Harga sequencing itu sekitar Rp6,5 miliar,” ujarnya.

Bila terlalu sering mengalami getaran, Amin khawatir membuat akurasi alat tersebut melemah. Bahkan, paling fatal tak bisa digunakan lagi untuk menganalisa molekuler.

“Molekul itu kan sangat kecil, tak bisa kelihatan kasatmata. Diperlukan alat dengan presisi tinggi untuk bisa menganalisis,” katanya.

"Semakin tinggi presisinya, semakin sensitif. Jadi bergerak sedikit saja, itu bisa mengubah bacaannya.”

Alat sequencing, kata Amin, sudah sejak lama membantu para peneliti biologi molekuler di Lembaga Eijkman untuk menghasilkan publikasi ilmiah bertaraf internasional. Jika alat itu rusak, ia khawatir para peneliti biologi molekuler yang kini berkarier di BRIN tak lagi bisa meneliti genom dengan baik.

Sementara Kepala BRIN Laksana Tri Handoko membantah pemindahan alat dilakukan serampangan. Ia menyebut, informasi itu adalah hoaks. Handoko juga menerangkan, peralatan yang tengah dipindah saat ini bukan termasuk yang membutuhkan perlakuan khusus, seperti halnya NovaSec.

“Tim (BRIN) juga sudah berkoordinasi dengan vendor. Saat instalasi kembali di Cibinong akan dikalibrasi ulang oleh vendor,” ucap Handoko, Senin (14/2).

Handoko mengklaim, tim dari Deputi bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN yang bertugas mengakuisisi aset, sudah berpengalaman memelihara peralatan riset. “Tim sudah melakukan inventarisasi dan mitigasi setiap jenis alat di Eijkman sejak tahun lalu,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia menilai para peneliti eks Lembaga Eijkman hanya sinis menyikapi pemindahan alat. Sehingga punya pikiran buruk bahwa alat itu bakal rusak di tangan BRIN.

"Tentu kami juga tidak ingin ada alat yang rusak. Karena semua dikelola sebagai bagian dari resource sharing untuk semua periset mengikuti SOP (standar operasional prosedur) yang ada," ucap Handoko.

Handoko menegaskan, di bawah BRIN tak ada lagi lembaga riset yang boleh mengoperasikan alat secara leluasa seperti dahulu. Sebab, kini semua urusan alat penelitian dikelola Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN.

“Di BRIN, seluruh pusat riset tidak memiliki dan mengelola infrastruktur,” ujar dia.

Amin tidak terkejut bila Handoko menyebut pemindahan alat riset dianggap tak butuh perlakuan khusus. Karena ia memandang Handoko bukan peneliti molekuler, yang akrab dengan alat penelitian biologi molekuler.

“Mungkin bagi yang tidak memahami, (alat riset) itu dianggap sebagai kumpulan barang logam dan plastik saja,” tutur Amin.

“Tapi kami meyakini, itu alat yang sangat presisi dan sangat mahal. Kalau rusak akan sangat menyulitkan kami.”

Ketidakjelasan penelitian

Gedung National Integrated Center for Genomic, Tropical Biodiversity and Environment atau Laboratorium Genomik di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, yang selesai dibangun pada September 2021. Foto BRIN.go.id

Kritik Amin tak cuma masalah pemindahan alat riset. Ia menganggap, integrasi Lembaga Eijkman ke dalam BRIN juga membuat banyak program riset unggulan terancam kandas. Misalnya riset pengobatan berbasis genetik masing-masing individu, yang bisa membantu dunia kedokteran mengatasi penyakit dari aspek genetika.

"Tapi kalau alat-alat untuk menganalisis gen molekuler itu rusak, tentu tidak bisa melakukannya lagi," kata Amin.

Di samping itu, Amin cemas jika proyek pembuatan vaksin Covid-19 yang dikembangkan Lembaga Eijkman tersendat akibat peleburan ke dalam BRIN. Bahkan, penelitian terkait virus malaria dan hepatitis sudah terseok-seok sejak tahun lalu karena tiada anggaran yang memadai, imbas dibentuknya BRIN.

"Kami harus merangkak-rangkak untuk menyelesaikan tugas-tugas kami," ujar Amin.

Amin pun menyoroti para peneliti eks Lembaga Eijkman yang tercerai-berai pascaintegrasi ke dalam BRIN. Pasalnya, banyak peneliti bukan berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang terdepak menjadi korban birokratisasi. Ia menerangkan, sesungguhnya sejak dahulu Lembaga Eijkman memang berkonsep instansi riset fleksibel, tak hanya dijalankan peneliti berstatus PNS.

Menurut Amin, semula ada 30 peneliti Lembaga Eijkman yang berstatus PNS dan 80 berstatus non-PNS. Kini, hanya ada sekitar 20 periset eks Lembaga Eijkman yang melanjutkan karier di BRIN.

“Sebagian lagi ada yang masih bertahan di Eijkman, ke unit lain, dan ada yang mencoba peruntungan di tempat lain,” ujar dia.

Selain itu, kata Amin, mayoritas peneliti eks Lembaga Eijkman keberatan dengan konsep kerja coworking space yang digagas BRIN. Perkaranya, konsep kerja itu membuat peneliti tak punya kewenangan penuh terhadap alat riset.

"Artinya alat dan ruangan itu akan dipakai bersama secara bergiliran. Itu tidak sesuai dengan penelitian-penelitian genomik, seperti yang dilakukan Eijkman,” ujarnya.

“Boleh saja (alat) dipakai oleh orang luar Eijkman. Tapi harus diseleksi dulu orangnya.”

Anggota Komisi VII DPR dari fraksi PKS Mulyanto bahkan memandang, peleburan Lembaga Eijkman ke dalam BRIN tak ubahnya seperti suntik mati terhadap dunia penelitian molekuler.

“Potensi suatu kegiatan penelitian di Eijkman tidak dapat diteruskan sangat tinggi,” katanya, dihubungi pada Selasa (15/2).

Alasannya, peneliti dan konfigurasi tim yang mengawal penelitian sudah berganti. “Orkestrasinya sudah berubah," kata Mulyanto.

Pria yang pernah menjadi peneliti bidang nuklir di Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN) ini menyebut, kultur BRIN yang cenderung birokratis bakal membuat budaya riset tak solid. Malah makin amburadul lantaran visi antara peneliti dan Kepala BRIN tak sama.

“Sebabnya sederhana,” katanya. “Ketika lembaga berubah, maka sebenarnya lembaga tersebut mulai dari ‘kilometer nol’ lagi.”

Mantan Sekjen Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) era Menristek Suharna Surapranata (2009-2011) itu menilai, Lembaga Eijkman tak cocok bekerja dalam kultur birokratis, lebih pas bekerja secara fleksibel.

“Bentuk kelembagaan (fleksibel) seperti itu terbentuk sejak zaman Pak Habibie (sebagai Menristek),” ucapnya.

“Dengan fleksibilitas kelembagaan, Eijkman justru mampu merekrut peneliti, mitra kerja sama, dan dana riset dari lembaga bereputasi, baik dari dalam maupun luar negeri.”

Sistem kelembagaan yang fleksibel pun, kata Mulyanto, membuat lembaga itu sangat produktif menghasilkan riset dan publikasi ilmiah. Pencapaian tersebut membuat Lembaga Eijkman ditetapkan Kemenristekdikti sebagai pusat unggulan ilmu pengetahuan dan teknologi pada 2015.

Infografik Eijkman. Alinea.id/Firgie Saputra.

Di samping Lembaga Eijkman, sembilan lembaga lain yang mendapat apresiasi pusat unggulan iptek, antara lain Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor (IPB), Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Kementerian Pertanian, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Kementerian Pertanian.

Lalu, Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) PT Riset Perkebunan Nusantara, Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung (ITB), Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB, Balai Besar Penelitian Kementerian Pertanian, serta Konsorsium Riset Pengelolaan Hutan Tropis Berkelanjutan Universitas Lambung Mangkurat.

Saking produktifnya, saat masih menjabat sebagai Sekjen Kemenristek, tepatnya pada 2011, Mulyanto kepincut mengusulkan agar Lembaga Eijkman dinaikkan statusnya menjadi lembaga penelitian nonkementerian (LPNK) Biologi Molekuler.

“Namun, sayang waktu itu belum berhasil,” ucapnya.

Soal masa depan peneliti eks Lembaga Eijkman yang berkarier di BRIN, Mulyanto pesimis mereka bakal betah. Penyebabnya, konsep riset di bawah Handoko hanya manis di permukaan, tetapi penuh ketidakpastian.

“Jadi, dapat saya maklumi, ketika dilebur ke BRIN dan ditetapkan menjadi sekadar sebuah pusat riset, terutama peneliti senior tidak ikut bergabung (ke BRIN),” tutur dia.

Berita Lainnya
×
tekid