sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mencegah bahaya penularan dari jenazah pasien Covid-19

Kewaspadaan petugas medis dalam menangani jenazah pasien coronavirus perlu diperhatikan untuk mencegah penularan.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Minggu, 29 Mar 2020 09:02 WIB
Mencegah bahaya penularan dari jenazah pasien Covid-19

Angka mortalitas akibat coronavirus jenis baru atau Covid-19 terus meningkat. Secara global, menurut data dari worldometers.info, per 28 Maret 2020 total kematian mencapai 27.610 orang, dengan total kasus 605.314 orang yang positif.

Saat ini, Italia menjadi negara paling tinggi angka kematiannya. Negeri Pizza tersebut per 28 Maret 2020 dilaporkan kehilangan 10.023 jiwa, dengan total kasus 92.472 orang yang positif.

Di Indonesia, angka kematian karena infeksi coronavirus tak kalah mengerikan. Dari data laporan media harian Covid-19, per 28 Maret 2020 jumlah korban Covid-19 mencapai 102 orang, dengan total penderita sebanyak 1.155 orang.

Karena jumlah kematian yang terus meningkat, maka cara pengurusan jenazah pun menjadi masalah lain yang harus dipikirkan.

Kehati-hatian petugas kesehatan

Menurut Humas Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulanti Saroso Jakarta, Wiwik Hukmit, pihaknya menerapkan standar teknis demi keselamatan petugas medis yang mengurus jenazah terinfeksi coronavirus.

“Pemulasaraan jenazah dilakukan sekitar empat jam setelah kematian. Baik jenazah itu negatif atau positif, kita tidak menunggu hasil konfirmasinya,” ujar Wiwik saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (24/3).

Wiwik mengatakan, jenazah yang meninggal dengan status suspect maupun positif coronavirus, diterapkan prosedur penanganan jenazah infeksi khusus, dengan pemberian cairan disinfektan pada jenazah. Lalu, dilakukan dekontaminasi.

Sponsored

“Jenazah yang sudah dilakukan pemulasaraan infeksi, disarankan tidak boleh dibuka lagi dan langsung dibawa ke pemakaman,” ujarnya.

Sebagai langkah preventif, petugas Instansi Pemulasaraan Jenazah (IPJ), kata dia, mendapatkan vaksinasi hepatitis B. Selain itu, petugas diwajibkan mengenakan alat perlindungan diri (APD) lengkap.

Untuk penanganan jenazah pasien coronavirus di Jakarta, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Widyastuti mengatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan semua rumah sakit se-Jakarta dan berkonsultasi dengan para pemuka agama.

“Kita tahu bahwa jenazah pasien Covid-19 harus diperlakukan secara khusus. Jadi, kalau ada kasus pasien Covid-19 meninggal, bisa menghubungi tim dari Bidang Permakaman Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI,” tuturnya dalam konferensi pers di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (24/3).

Lebih lanjut, ia mengatakan, pihaknya sudah menentukan dua permakaman umum yang khusus untuk jenazah korban coronavirus, yakni TPU Pondok Rangon di Jakarta Timur dan TPU Tegal Alur di Jakarta Barat.

Berbagai aturan mengurus jenazah

Terkait pengurusan jenazah, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 pun menaruh perhatian. Beberapa waktu lalu, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito bersama Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Budi Sampurno menyumbang pikiran untuk penanganan pasien Covid-19 yang wafat.

“Keberlangsungan masa hidup virus corona ditentukan dengan menjadikan tubuh manusia sebagai tempat untuk bertahan hidup. Maka, penjauhan kontak antarorang ini penting sekali,” ujarnya ketika dihubungi, Jumat (27/3).

Pokok-pokok penanganan jenazah terinfeksi coronavirus yang disusun Wiku dan Budi itu kemudian menjadi landasan lahirnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana’iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19, yang dikeluarkan pada 27 Maret 2020.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, salah satu alasan ditetapkannya fatwa tersebut berdasar pada pertimbangan Wiku dan Budi.

“Pokok utamanya, tim medis memerlukan uraian tentang tata cara memandikan, mengafani, dan menyalati jenazah,” ujar Asrorun saat dihubungi, Sabtu (28/3).

Asrorun menegaskan, MUI memiliki keprihatinan besar dengan adanya pandemi Covid-19, yang mengancam keselamatan warga. Ia menggarisbawahi, orang-orang beragama Islam yang wafat karena coronavirus dikelompokkan sebagai syahid akhirat.

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di tempat ziarah Kompleks Makam Kesultanan Banten di Serang, Banten, Rabu (18/3/2020). Foto Antara/Asep Fathulrahman.

Dalam fatwa itu disebutkan, saat memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan mensalatkan dan menguburkan dilakukan seperti biasa, dengan tetap menjaga agar tidak tertular.

Fatwa itu juga merinci pedoman memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan jenazah yang terinfeksi coronavirus.

Asrorun mengatakan, aturan dalam fatwa itu berlaku utuh untuk dijalankan umat Islam. Ia menilai, ketentuan dalam fatwa ini mencakup upaya efektif demi menekan risiko penularan dari jenazah ke orang lain. Asrorun pun menyebut, kremasi bukan pilihan.

“Enggak ada alternatif lain,” kata Asrorun.

Sebelumnya, pada 19 Maret 2020 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama (Kemenag) sudah menerbitkan protokol pengurusan jenazah pasien terinfeksi coronavirus. Protokol ini dibagi tiga, yakni pengurusan, menyalati, dan penguburan jenazah.

Aturan protokol ini tak jauh berbeda dengan fatwa MUI. Hanya saja, di dalam protokol Bimas Islam Kemenag tak ada ketentuan terkait memandikan jenazah.

Protokol juga menekankan lokasi penguburan yang harus setidaknya 50 meter dari sumber air tanah dan setidaknya 500 meter dari permukiman penduduk. Selain itu, jenazah harus dikuburkan pada kedalaman satu setengah meter, dan ditutup dengan tanah setinggi satu meter. Aturan ini tak disebut dalam fatwa MUI.

Pada 26 Maret 2020, giliran Bimas Katolik Kemenag yang mengeluarkan protokol pengurusan jenazah untuk pasien coronavirus beragama Katolik. Protokol itu menekankan prosedur kesehatan dan pelayanan keagamaan yang sederhana. Protokol tersebut memuat tujuh ketentuan.

Menurut Pelaksana tugas (Plt) Direktur Urusan Agama Katolik Kemenag FX Rudy Andrianto, ketentuan itu berdasarkan Surat Keputusan Keuskupan Agung Jakarta Nomor 170/3.5.1.2/2020, tanggal 23 Maret 2020.

“Kami telah berkoordinasi dengan pihak Gereja (Konferensi Waligereja Indonesia). Berdasarkan pertimbangan kesehatan, keagamaan, dan situasi nyata darurat Covid-19 yang sudah memakan korban, kami keluarkan protokol,” kata Rudy saat dihubungi, Jumat (27/3).

Terkait prinsip kesederhanaan, Rudy menyebut, ada pembatasan jumlah orang yang hadir dalam ibadah pemakaman, termasuk perwakilan keluarga jenazah. Selain itu, pelaksanaan ibadah pemakaman dilangsungkan dengan mematuhi ketentuan menyangkut upaya pencegahan penularan coronavirus, seperti sanitasi dan jarak antarorang.

Berbeda dengan MUI yang menolak kremasi, Rudy memandang Gereja Katolik terbuka untuk kemungkinan metode tersebut. Namun, hal itu harus berdasarkan kepentingan mendesak. Rudy mencuplik sebuah pernyataan dalam Kitab Hukum Kanonik Bab 1176 ayat 3 (atau artikel 3).

“Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan, namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran Kristiani,” kata dia.

“Tentu keduanya (kremasi maupun penguburan) diperbolehkan.”

Dinas Kesehatan DKI Jakarta pun sudah mengeluarkan surat edaran bernomor 55/SE/Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemulasaraan Jenazah Pasien Covid-19 pada 24 Maret 2020.

Terbitnya berbagai aturan tadi sebagai langkah untuk meminimalisir penularan coronavirus, yang bukan saja terjadi antara orang ke orang yang masih hidup, tetapi juga dari pasien yang sudah meninggal.

Pekerja memproduksi peti khusus jenazah COVID-19 di Jalan TMP Taruna, Kota Tangerang, Banten, Rabu (25/3/2020). Foto Antara/Fauzan.

Virus masih hidup di jenazah

Bukan tanpa alasan menangani jenazah yang terinfeksi coronavirus harus hati-hati dan mengikuti aturan yang sudah dibuat. Menurut spesialis mikrobiologi klinik Rumah Sakit Universitas Indonesia (UI) Budiman Bela, jenazah pasien Covid-19 masih berpotensi menularkan virus tersebut.

“Kalau jenazah pasien Covid-19 yang mengandung virus, maka virus masih bisa bertahan. Sebab, dalam tubuh jenazah masih terdapat cairan biologis yang mengandung komponen protein, yang bisa melindungi virus,” kata Budiman saat dihubungi, Sabtu (28/3).

Senada dengan Budiman, peneliti bidang mikrobiologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra menegaskan, coronavirus merupakan salah satu penyakit infeksi virus berbahaya, seperti ebola dan SARS. Oleh karenanya, perlu penanganan khusus jenazah pasien coronavirus.

“Meskipun dampak mematikan akibat ebola lebih tinggi, Covid-19 ini juga sangat infeksius,” kata Sugiyono ketika dihubungi, Sabtu (28/3).

Menurut dia, risiko penularannya pun cukup tinggi dari jenazah ke orang yang masih hidup. Potensi penularan dari jenazah, kata Sugiyono, akan semakin tinggi bila tak segera dimakamkan.

“Karena corona ini menimbulkan infeksi dan penyakit berbahaya, perlu kehati-hatian dalam pemakaman untuk mengurangi risiko penularan,” tuturnya.

Sugiyono menyarankan, penanganan jenazah pasien yang meninggal karena penyakit infeksi serius, sebaiknya mengacu prosedur yang sudah ditetapkan World Health Organization (WHO). Sayangnya, Sugiyono mengatakan, penanganan jenazah pasien coronavirus belum dirilis WHO.

“Karena itu, penanganannya dapat mengikuti panduan dalam pemakaman pasien karena virus ebola atau SARS,” ujarnya.

Infografik jenazah coronavirus. Alinea.id/Haditama.

Di Indonesia, Sugiyono menyarankan, protokol penanganan jenazah pasien Covid-19 ditentukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan dinas kesehatan. Ia pun menyarankan, ada standar perlakuan yang sama untuk setiap penanganan orang yang meninggal akibat coronavirus itu.

“Misalnya, batas waktu yang tak boleh lebih dari empat jam sesudah pasien diketahui meninggal,” kata dia.

Dalam proses pemakaman, tutur Sugiyono, juga perlu diperhatikan untuk menghindari kerumunan, seperti saat pemakaman pada umumnya.

Ia mengingatkan pula, dalam proses penanganan jenazah, membutuhkan kewaspadaan dari petugas kesehatan yang bertugas menangani jenazah di rumah sakit hingga liang lahat.

“Ketika sudah meninggal, sebaiknya harus diperhatikan betul agar tidak terjadi kontak langsung dengan manusia yang hidup dan harus segera dimakamkan,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid