sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jalan lain mengatasi banjir di Jakarta

Berbagai cara sudah dilakukan guna mengatasi banjir di Jakarta. Namun, belum ada yang benar-benar efektif. Aneka usulan ini patut dicoba.

Robertus Rony Setiawan Manda Firmansyah
Robertus Rony Setiawan | Manda Firmansyah Jumat, 10 Jan 2020 15:00 WIB
Jalan lain mengatasi banjir di Jakarta

Prasasti Tugu yang ditemukan di Jakarta Utara, kini tersimpan di Museum Nasional, merupakan bukti bahwa banjir sudah melanda wilayah Jakarta sejak dahulu kala. Prasasti itu mengisahkan usaha Raja Tarumanegara, Purnawarman (memerintah pada 395-434) mengatasi banjir dengan menggali Kali Cahndrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati, Tangerang) sepanjang 12 kilometer.

Di masa kolonial, usaha menanggulangi banjir di Jakarta—yang saat itu bernama Batavia—juga dilakukan. Menurut Restu Gunawan di dalam bukunya Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir dari Masa ke Masa (2010), Batavia dilanda banjir besar pada 1893, 1895, 1899,1904, dan 1909.

Restu menyebut, banjir terparah dalam 20 tahun terakhir terjadi pada 1918. Ketika itu, banjir menimbulkan problem sosial dan melumpuhkan roda ekonomi Batavia.

Tak tinggal diam, pemerintah kolonial lalu membentuk Burgerlijke Openbare Werken (BOW)—saat ini mirip Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Restu menulis, periode 1910-1915, pemerintah kolonial berusaha mengatasi banjir. Pada 1913-1915, dimulai proyek pembangunan kanal dan pintu air. Seorang insinyur hidrologi yang bekerja di BOW, Herman van Breen pun berhasil membangun kanal banjir Kali Malang dan pintu air Matraman dari 1913-1919. Ia disebut Restu menggagas kanal banjir barat pada 1923.

Namun, proyek pengendalian banjir di masa kolonial tak rampung. Pemerintah kekurangan dana untuk menyelesaikan seluruh proyek yang akan berjalan.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah pun masih berusaha mengatasi problem yang tak selesai itu. Menurut Restu, pada 1965-1985, berhasil dibangun waduk di dalam kota, saluran baru, seperti Cengkareng Drain dan Cakung Drain, serta perbaikan saluran dan kanal.

Pemerintah juga berhasil menjalin kerja sama dengan konsultan luar negeri, seperti The Netherland Engineering Consultant (Nedeco) Belanda dan Japan International Cooperation Agency (JICA) Jepang.

Sponsored

Kerja sama dengan Nedeco menghasilkan master plan 1973, yang melahirkan sistem tapal kuda. Sistem ini memungkinkan air dari arah hulu ditangkap kanal yang melingkar setengah lingkaran di luar kota. Untuk keperluan proyek ini, kemudian dibangun kanal banjir barat (KBB) dan kanal banjir timur (KBT).

Sayangnya, pembangunan KBB terbentur masalah dana dan rumitnya masalah sosial. Sementara KBT baru terealisasi pada 2006.

Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jan Sopaheluwakan mengungkapkan, topografi Jakarta umumnya rendah, terutama di bagian utara.

Ia mengatakan, Jakarta termasuk dataran banjir. Hal ini terlihat dari penamaan daerahnya. Misalnya, Rawa Buaya.

Menurutnya, secara geomorfologis, sekitar 5.000 tahun lalu, pantai Jakarta terletak di Dukuh Atas hingga Bundaran Hotel Indonesia. Batas pantai itu, kemudian semakin maju karena sungai-sungai purba meluap membawa endapan ke utara.

Saat kapal-kapal Belanda mendarat, tepi pantainya berada di sekitar menara Syahbandar, Penjaringan, Jakarta Utara.

“Itu bukti memang pantainya sudah maju terus ke utara. Makanya, Belanda membangun kanal-kanal,” ujar Jan saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (8/1).

Seorang warga melintasi banjir di kawasan Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (2/1/2020). Foto Antara/Muhammad Adimaja.

Kelalaian Pemprov DKI dan raibnya resapan air

Awal 2020 pun dibuka dengan banjir besar yang menenggelamkan sejumlah titik di wilayah Jakarta. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, sebanyak 31.232 orang terpaksa mengungsi dan 21 orang meninggal dunia.

Menurut ahli meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi, ada pola berbeda dari kejadian banjir di Jakarta pada 2019 dan 2020. Ia mengatakan, tahun ini banjir 70% disebabkan banjir lokal, bukan kiriman.

“Artinya, luapan air berasal dari guyuran hujan dengan intensitas tinggi,” kata Armi saat diskusi bertajuk “Antara Iklim, Naturalisasi, dan Normalisasi” di Hotel Novotel Cikini, Jakarta, Rabu (8/1).

Di sisi lain, tingginya intensitas hujan hingga mencapai 377 milimeter yang berujung banjir di awal 2020, menurut pakar bioteknologi lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali, perlu menjadi perhatian Pemprov DKI. Sebab, kondisi geografis Kota Jakarta sebagai daerah hilir, dilalui 13 sungai.

“Kita juga menerima banjir kiriman dari hulu sungai-sungai,” ujar Firdaus, Kamis (9/1).

Di samping itu, ahli perencana kota dan wilayah dari ITB Jehansyah Siregar mengatakan, sebagian besar wilayah yang terdampak banjir pada 2020 merupakan kawasan resapan air, yang tak seharusnya dijadikan permukiman.

“Bukan air yang masuk ke permukiman, tapi manusia yang masuk ke wilayah resapan air,” kata Jehansyah saat ditemui di Hotel Novotel Cikini, Jakarta, Rabu (8/1).

Jehansyah menyebut, beberapa wilayah di Jakarta yang sudah beralih fungsi dari resapan air menjadi permukiman, antara lain Daan Mogot, Srengseng, Jagakarsa, Tegalalur, dan Pantai Indah Kapuk.

Ia menyebut, kehadiran pengembang perumahan menjadi penyebab kerusakan tata permukiman yang terhindar dari banjir. Ia menyarankan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) seharusnya memberi kewajiban kepada para pengembang swasta untuk menyediakan sebagian kawasan usahanya, dikembangkan sebagai kawasan hunian berimbang.

Petugas Suku Dinas Sumber Daya Air Aliran Timur memeriksa pompa air di Stasiun Pompa Ancol, Jakarta Utara, Rabu (8/1/2020). Foto Antara/Sigid Kurniawan.

Armi Susandi pun memandang, pencegahan dampak banjir bisa dilakukan dengan sistem prediksi curah hujan melalui pantauan satelit. Ia mengatakan, sistem prediksi curah hujan yang dibuat ITB, yakni Multi Hazard Early Warning System (MHEWS) sudah digunakan sejak 2017 bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sistem itu bisa dimanfaatkan untuk upaya mitigasi jangka pendek, seperti memprediksi curah hujan dan potensi bencana hidrometeorologi. Selain itu, Armi telah membuat Smart Climate Model (SCM) pada 2008. Sistem ini dipakai BPBD untuk mengukur kondisi iklim dalam rentang waktu yang panjang, mencakup potensi dan wilayan rawan bencana.

Lebih lanjut, Armi menuturkan, pihaknya sudah menyampaikan informasi terkait curah hujan tinggi pada 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020 kepada BPBD. Secara umum, laporan cuaca dari ITB dan BMKG dijadikan berita acara untuk disampaikan kepada publik. Selanjutnya, seharusnya dilakukan dua aksi tanggap bencana, yaitu heli action dan heli warning.

Heli action ialah upaya antisipasi bahaya bencana dengan penyediaan alat fisik untuk menangkal dampak bencana banjir. Sedangkan heli warning ialah pencegahan dampak bencana dengan menghindari lokasi-lokasi yang berpotensi menjadi lokasi bencana banjir atau genangan air.

“Seharusnya ada tindakan-tindakan tertentu yang bisa diimbau kepada masyarakat, apa yang mesti dilakukan menghadapi potensi banjir. Bisa dua bulan sebelumnya. Tapi waktu kemarin tidak dilaksanakan heli warning,” kata Armi.

Normalisasi, naturalisasi, dan sumur resapan

Foto udara suasana wilayah bantaran sungai Ciliwung yang belum dinormalisasi (atas) dan yang sudah dinormalisasi (bawah kanan) di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Minggu (5/1/2020). Foto Antara/Muhammad Adimaja.

Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah banjir di Ibu Kota. Beberapa waktu lalu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sempat menyindir Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal penyebab banjir di Jakarta. Ia menilai, 17 kilometer dari 33 kilometer Kali Ciliwung belum dinormalisasi. Proyek itu sudah tak jalan sejak 2018.

Proyek normalisasi digagas Kementerian PUPR, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), dan Pemprov DKI Jakarta pada 2012. Sementara Anies memiliki program lain, yang dinamakan naturalisasi. Program itu ditetapkan dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.

Jan Sopaheluwakan menjelaskan, prinsip normalisasi adalah mengalirkan air secepat mungkin ke laut. Teknisnya, sungai dikeruk dan dipasang turap beton. Sedangkan prinsip naturalisasi adalah menahan selama mungkin air di darat, sebelum dialirkan ke sungai.

Menurut Jan, di negara-negara maju, normalisasi sungai sudah lama ditinggalkan. Beberapa kota di Singapura dan Korea Selatan, kata dia, menerapkan prinsip naturalisasi. Namun, naturalisasi memerlukan intervensi pembebasan lahan.

“Di Belanda, beberapa kota diintervensi agar memberi ruang untuk sungai sesuai dengan hitungan debit hujan,” ujar Jan.

Ia menuturkan, normalisasi kurang efektif diterapkan di Jakarta. Di samping itu, perubahan iklim, menurutnya, menyebabkan Jakarta memerlukan persediaan air dalam tanah sebanyak mungkin, dengan cara membuat sumur resapan.

“Pertentangan publik, apakah dibiarkan menyerap ke tanah (naturalisasi) atau dialirkan ke laut (normalisasi). Itu dua-duanya betul,” tutur Jan.

Prinsip naturalisasi, kata dia, takbisa dilepaskan dengan normalisasi untuk meminimalisir banjir. Misalnya, banjir di daratan berbarengan dengan banjir rob akibat pasang air laut.

“Seperti banjir tahun 2007 dan 2013,” ucapnya.

Jan mengatakan, saat ini sudah berkembang teknologi termutakhir sponge cities, yang diterapkan di China, Belanda, Jepang, dan Singapura.

Prinsip sponge cities, ujarnya, seperti naturalisasi. Sungai tanpa turap-turap, tetapi dengan bebatuan alami. Namun, kata dia, perlu ditambah rekayasa agar air bisa mengalir cepat lewat pori-pori menuju bagian tanah yang lebih dalam.

Situasi Jakarta yang sangat padat, menurutnya, dapat disiasati dengan membuat rekayasa saluran air ke bawah tanah pusat-pusat perbelanjaan, Monumen Nasional (Monas), atau Balai Kota.

“Dibangun semacam waduk bawah tanah. Bisa terowongan atau memanfaatkan pori-pori yang ada dalam tanah,” ujar Jan.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI) sekaligus ahli hidrogeologi ITB Lambok M Hutasoit mengatakan, kebijakan naturalisasi tidak cocok dipraktikkan di Jakarta.

“Masalahnya, air ditahan di mana? Kalau kota besar, repot,” kata Lambok saat dihubungi, Rabu (8/1).

Lambok mengatakan, salah satu solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta adalah membuat sumur resapan. Namun, ia menyayangkan klaim gubernur-gubernur yang pernah memimpin Jakarta bahwa sudah membuat ribuan sumur resapan di Ibu Kota.

Kenyataannya, ujar dia, konstruksi sumur resapan banyak yang tidak benar. Pasalnya, sumur resapan dangkal dan kualitas lapisan penyalur airnya kurang baik. Lambok mengaku sering menemukan akuifer penuh air karena sumur resapan yang dangkal.

“Apalagi di Jakarta Utara, sumur resapan kurang efektif meredam banjir karena kurang dalam,” ujarnya.

Lambok menyarankan untuk membuat sumur resapan yang mampu menampung air hujan secara langsung dari atas atap. Ia pun berharap, gedung-gedung yang ada di Jakarta ikut berkontribusi meredam banjir dengan membuat sumur resapan yang lebih dalam agar bisa menampung banyak air hujan.

Konsep kota dan permukiman

Diperlukan konsep kota dan permukiman yang tepat untuk Jakarta, yang kerap dilanda banjir. Lambok mengusulkan, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta membangun terowongan bawah tanah.

Usulan itu sudah disampaikan Lambok sejak 10 tahun lalu. Ia terinspirasi Kota Chicago, Amerika Serikat dalam mengendalikan banjir akibat luapan Danau Michigan.

Menurut Lambok, terowongan bawah tanah yang melingkar-lingkar dapat diterapkan di Jakarta Selatan, yang struktur bebatuannya keras.

“Terowongan bawah tanah diharapkan mampu menampung air hujan sebelum turun ke bagian utara Jakarta,” ujarnya.

Sementara itu, terkait daerah resapan air yang ditabrak menjadi permukiman, Jehansyah Siregar menuturkan, semestinya ada sistem khusus untuk pembangunan kawasan permukiman di lahan basah.

Ia menawarkan gagasan pembangunan permukiman berbasis konservasi lahan basah, mencontoh Kota Mahakam, Martapura, Pontianak, dan Palembang. Di kota-kota itu, kata Jehansyah, pendirian bangunan tempat tinggal berlangsung secara tradisional dengan struktur rumah yang ditopang tiang-tiang pancang, tanpa pengurukan tanah.

Selain itu, ia mengatakan, ada sejumlah faktor yang harus dipenuhi dalam pengembangan permukiman layak huni. Beberapa di antaranya, penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB), serta peningkatan efektivitas ruang hunian dengan penyediaan utilitas dan fasilitas hidup warga.

Ia menjelaskan, setiap luas bangunan yang dimiliki masing-masing pengembang, ada sebagian hektare yang dijadikan kawasan hunian berimbang berupa rumah susun sewa (rusunawa) atau apartemen sewa. Jehansyah memandang, rusunawa dalam jumlah besar masih dibutuhkan untuk menata wilayah permukiman di kota-kota besar di Indonesia.

Model permukiman yang dibutuhkan ialah vertikal, dengan sarana utilitas dan fasilitas yang lengkap, serta memungkinkan penyediaan RTH dan RTB. Ia menyebutnya konsep compact city.

“Bila dibangun sebuah apartemen yang disewakan, saya perkirakan bisa menampung 10 kali lebih banyak (orang) daripada hunian yang ada sekarang. RTH dan ruang resapan airnya juga bisa lebih banyak,” katanya.

Dibanding negara lain, menurutnya, Indonesia tertinggal jauh dalam menata permukiman perkotaan. Di Singapura, misalnya, penataan permukiman dikelola lembaga Housing Development Board. Sementara ada Urban Renaissance Agency di Jepang dan Korean Land and Housing Corperation di Korea Selatan.

Jehansyah menerangkan, ketersediaan RTH di Jabodetabek masih di bawah persentase luas RTH pada kota-kota baru di negara lain. Sejong misalnya, yang dikembangkan sebagai ibu kota anyar di Korea Selatan, punya RTH seluas 50% dari luas wilayahnya.

Warga membersihkan rumahnhya pascabanjir yang melanda Kompleks IKPN Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta, Jumat (3/1/2019). Foto Antara/Hafidz Mubarak A

Sejong juga memiliki RTB seluas 30%, melalui ketersediaan ruang penyimpanan air dan penyerap karbon berupa situ, danau, dan sungai yang bersih.

Becermin dari Sejong, kawasan Jabodetabek setidaknya membutuhkan 30% RTH dan 20% RTB. Sayangnya, Jakarta masih sangat kekurangan RTB dan RTH yang memadai.

“Kota dengan luasan RTH kurang dari 30% tidak sehat dan terancam bencana banjir, seperti Jakarta. Wajar saja Jakarta itu kebanjiran karena lahan sudah telalu banyak dipakai permukiman,” ucapnya.

Lebih lanjut, Jehansyah menjelaskan, pengembangan permukiman berbasis konservasi lahan basah bisa diterapkan di Indonesia, melalui peran Kementerian PUPR dan pemerintah daerah.

Ia mengatakan, fungsi itu bisa dimaksimalkan Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR berkoordinasi dengan Ditjen Sumber Daya Air dan Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah.

Lembaga-lembaga tersebut, kata dia, semestinya menghasilkan model pembangunan perumahan baru yang lebih tahan bencana banjir, dengan mencontoh penerapan yang telah dilakukan negara lain, seperti Australia.

Ditjen SDA, kata dia, seharusnya jangan sekadar menangani masalah pengairan. Ada masalah permukiman yang harus ditangani, terutama warga yang tinggal di dekat sungai.

“Kedua direktorat ini menghabiskan anggaran Rp2 triliun setiap tahun. Strategi takbisa lagi hanya dengan memberi uang tambahan kepada pelaksana proyek pengairan untuk ganti rugi lahan. Selama ini hanya begitu,” ucapnya.

Ia menilai, pemerintah gagap menerapkan rancangan tata ruang dan wilayah di kawasan DKI Jakarta. Menurutnya, berbagai master plan tata ruang Jakarta belum diteruskan dengan strategi pemanfaatan ruang.

“Penataan ruang itu mencakup perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang. Tapi pemerintah hanya membuat rencana,” ujarnya.

Infografik banjir. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Selain hanya berkutat pada pembuatan rencana tata ruang yang menyepelekan penerapannya, pemerintah—khususnya Kementerian PUPR—dipandang tak bersikap tegas dan tak visioner dalam membangun permukiman yang tertata.

Di samping itu, menurut Jehasyah, pemerintah daerah perlu membangun itikad serius untuk mengembangkan lahan permukiman baru melalui koordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Langkah ini secara khusus berkaitan dengan alih fungsi pada lahan-lahan yang sudah habis masa hak guna usahanya.

“HGU (hak guna usaha) pabrik atau perkebunan yang sudah habis masa berlakunya, bisa dialihkan menjadi permukiman warga, juga ada tanah milik BUMN yang tidak terpakai,” ucapnya.

Selanjutnya, kata dia, kepala daerah yang didukung pemerintah pusat, mesti aktif mengelola atau mengusulkan pembangunan hunian baru. Menurutnya, intervensi kepala daerah diperlukan agar BPN dapat dengan mudah dan tegas memberikan izin atas usulan pengembangan suatu kawasan hunian baru.

Selain mendayagunakan tanah-tanah yang sudah habis HGU-nya, Jehansyah menilai, perlu memaksimalkan lahan bebas untuk dijadikan permukiman baru, terutama model vertikal.

“Bangun permukiman-permukiman baru di Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang banyak menyediakan lahan yang bisa dijadikan tempat hunian baru,” katanya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid