sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kemenangan Taliban bisa picu bangkitnya kelompok radikal di Indonesia

Islah Bahrawi sebut beberapa pelaku teror di Indonesia alumni Afghanistan.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Senin, 30 Agst 2021 15:13 WIB
Kemenangan Taliban bisa picu bangkitnya kelompok radikal di Indonesia

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi mengatakan, kemenangan Taliban atas pemerintah Afghanistan dapat memicu bangkitnya kelompok-kelompok radikal di Tanah Air. Islah berpendapat, meski irisan geopolitik Afghanistan dan Indonesia sangat jauh, namun dari aspek ideologi dikhawatirkan membangkitkan kelompok radikal di Indonesia akibat kemenangan Taliban.

"Bagi saya, persoalan geopolitik dan persoalan ideologis, jauh lebih berbahaya persoalan ideologis. Kenapa kita harus lebih waspada dengan kebangkitan Taliban di Afghanistan, itu kita justru aware terhadap geliat-geliat kelompok-kelompok teroris di Indonesia," kata Islah dalam Alinea Forum bertajuk "Potensi Terorisme di Indonesia Pascakemenangan Taliban", Senin (30/8).

Menurut Islah, memang setiap kejadian teror kelompok-kelompok radikal di beberapa negara, selalu dimotori oleh geopolitik di Timur Tengah. Contoh nyata, katanya, ada pada geliat kelompok radikal di Filipina, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, termasuk negara-negara di Afrika.

Akan tetapi, kata dia, persoalan Afghanistan bukan persoalan geopolitik Timur Tengah, dan jauh lebih berbahaya karena aspek ideologis. "Karena kalau persoalan politik itu pasti ada teritorialnya, ada kepentingan-kepentingan. Afghanistan bukan persoalan politik, ini persoalan ideologis yang memang sangat borderless. Ini justru sangat mengkhawatirkan," ujar dia.

"Persoalan ideologis ini memang suatu hal yang kita khawatirkan bersama. Karena ini bisa menyasar siapa saja. Ini tidak mengenal teritorial, batas-batas negara. Ini bisa merasuk ke siapa saja, termotivasi, terinisiasi oleh kemenangan Taliban di Afghanistan," sambungnya.

Selain itu, kata Islah, secara historis terdapat ikatan kuat antara kelompok radikal di Indonesia dan kelompok radikal di Afghanistan. Mulai dari zaman Darul Islam dan sebagainya hingga pelaku aksi terori di Indonesia merupakan alumni-alumni dari Afghanistan.

"Ini yang harus kita perhatikan. Otomatis, ketika resiliensi ideologis itu menguat, tidak menutup kemungkinan motivasi dan inisiasi ini menjadi sesuatu yang rentan," bebernya.

Dia menambahkan, dalam persoalan Afganistan dengan Indonesia pascakemenangan Taliban menjadi satu kerentanan sendiri. Walaupun mereka saat ini menyatakan moderat dan ingin menjalankan hubungan dengan banyak negara, itu tak lain karena tengah membutuhkan pengakuan.

Sponsored

"Makanya saya sangat tidak setuju kalau Taliban ini diidentikan dengan Islam. Ini persoalan politik kekuasaan saja, dengan segala gimik-gimik dan tutur-tuturnya saja. Kalau sekarang mereka mendeklarasikan moderat, ini kan persoalan gimik. Biasa, ketika suatu negara direbut dengan cara pemberontakan, maka kelompok yang menang pemberontakan ini akan menjadi anak manis. Karena dia perlu pengakuan dari banyak negara," ungkapnya.

Mengantisipasi hal itu, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan umum (pemilu) 2024, Islah mengatakan pemerintah perlu ekstra kerja keras ke depan. "2024 ini menjadi rumit bagi kita. Karena bagaimanapun kita berbicara tentang ideologi kekerasan yang berbasis agama, ini ujung-ujungnya adalah penegakan daulah, penegakan suatu entitas negara. Ini tidak jauh dari situ. Abu Sayyaf di Filipina juga menginginkan negara, di  Sri Lanka, India, Pakistan, dan negara di Afrika. Semua menginginkan negara sendiri. Karena bagi mereka, Islam itu harus dirayakan dengan kedaulatan negara. Padahal bukan itu intinya," pungkas Islah.

Berita Lainnya
×
tekid