sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

‘Lockdown’ kampung, inisiatif warga proteksi dari Covid-19

Banyak permukiman warga di Jakarta dan daerah lain yang insiatif menutup akses jalan. Tujuan mereka, mencegah penularan SARS-CoV-2.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Senin, 27 Apr 2020 04:55 WIB
‘Lockdown’ kampung, inisiatif warga proteksi dari Covid-19

Malam itu, seorang pengemudi ojek online yang akan mengantarkan pesanan makanan harus berhenti di gerbang masuk Jalan Flamboyan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Dua orang pemuda mendekatinya.

Seorang dari mereka menjulurkan alat pengukur suhu tubuh ke dahi pengemudi ojek online itu. Seorang lainnya menyemprotkan cairan disinfektan ke tubuh dan sepeda motor si pengemudi ojek.

Sejak 20 April 2020, akses Jalan Flamboyan dijaga beberapa pemuda, perwakilan dari RW 05, Kelurahan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Mereka mengecek kendaraan atau orang dari luar yang masuk ke permukiman itu.

“Kita tanyain keperluannya. Terus disemprot disinfektan di tangan sama kakinya,” kata Ilham Abdullah, salah seorang pemuda setempat, saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (24/4).

Membatasi akses

Warga melintas di dekat pengumuman karantina wilayah di kawasan Tambora, Jakarta, Jumat (3/4/2020) Foto Antara/Nova Wahyudi.

Ketua RT 11/RW05 Kelurahan Kebon Jeruk, Muhammad Soleh mengatakan, kebijakan penertiban di pintu masuk permukiman warga sebagai usaha untuk meminimalisir penularan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Langkah itu diputuskan oleh perwakilan 15 RT bersama Kepala RW 05.

Setiap RT mengutus lima hingga tujuh orang perwakilan untuk memantau pintu masuk dan keluar permukiman. Setiap perwakilan bertugas selama enam jam, yang terbagi dalam empat waktu gilir. Selain menyiapkan cairan disinfektan, mereka juga menyediakan stok masker untuk dibagikan kepada warga yang tak memakai masker.

Sponsored

Namun, menurut Soleh, pihaknya masih memperbolehkan warga luar masuk ke wilayahnya untuk keperluan tertentu.

“Kita mau menyarankan, masing-masing warga jaga diri sendiri. Keluar hanya bila ada keperluan mendesak dan menjaga keselematan diri,” kata Soleh saat ditemui di kediamannya, Jalan Flamboyan, Jakarta Barat, Jumat (24/4).

Soleh pun mengatakan, sistem penjagaan di wilayahnya berbeda dengan lockdown—yang dalam pengertiannya menutup seluruh akses jalan dan memaksa aktivitas warga sepenuhnya hanya di rumah.

“Kalau kita di sini, penutupan akses jalan hanya setengah. Kalau yang namanya lockdown kan benar-benar kita bergantung pada negara. Semua cuma diam di rumah,” katanya.

Menurutnya, penutupan jalan tak bisa dilakukan sepenuhnya karena masih cukup banyak warga yang menjalankan pekerjaan di luar rumah. Ia mengatakan, pengamanan warga di permukimannya dibantu dengan patroli petugas kepolisian dari Polsek Kebon Jeruk bersama Bintara Pembina Desa (Babinsa).

“Mereka berkeliling memantau bila ada kegiatan kerumunan warga di malam hari,” tuturnya.

Kondisi berbeda terlihat di Jalan Pilar Baru, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Di depan jalan itu, sebuah portal besi menutup akses masuk kendaraan.

Menurut salah seorang warga, Mukhsar Abdullah penutupan akses jalan itu bertujuan menghadang masuknya warga dari luar permukiman. Ia menuturkan, warga RT 04 dan sekitarnya tetap bisa mengakses jalur itu dengan terlebih dahulu membuka besi pengait portal.

Ketua RT 04 RW 03 Kelurahan Kedoya Selatan, Zubaidah mengatakan, ada dua macam penerapan penutupan jalan untuk mencegah penularan virus SARS-CoV-2 di wilayahnya. Pertama, Jalan Pilar Baru sebagai akses keluar-masuk utama warga yang terhubung ke Jalan Kedoya Raya hanya diportal, tetapi tidak digembok. Kedua, gang-gang kecil di sekitar permukiman ditutup dan dikunci dengan gembok.

“Kalau orang luar yang mau masuk lewat Jalan Pilar Baru pasti akan mengira digembok. Jadi, tidak masuk. Di situ baru digembok mulai jam enam sore sampai enam pagi,” kata Zubaidah saat ditemui di depan rumahnya, Minggu (26/4).

Ia menuturkan, penutupan akses jalan diterapkan sejak awal Maret 2020, tak lama setelah pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Zubaidah menyebut, ada sekitar 200 kepala keluarga di RT 04, belum termasuk warga pendatang sekitar 50 kepala keluarga.

Dengan adanya penutupan akses jalan keluar, ia menilai, warga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. “Hanya kalau ada keperluan mendesak seperti belanja, baru ada warga yang keluar,” katanya.

Sebagai informasi, berdasarkan data corona.jakarta.go.id, per 26 April 2020 warga di Jakarta yang sudah terinfeksi SARS-CoV-2 sebanyak 3.746 orang. Sebanyak 357 orang di antaranya meninggal dunia, dan 338 orang sembuh.

Di wilayah Kelurahan Kebon Jeruk sendiri ada 25 orang yang terkonfirmasi positif coronavirus jenis baru, sedangkan di Kelurahan Kedoya Selatan ada 10 orang positif Covid-19.

Wujud inisiatif warga

Warga berkativitas di depan akses masuk kampung yang ditutup di Kalideres, Jakarta, Sabtu (28/3/2020). Foto Antara/Fauzan.

Pada 10 April 2020, Pemprov DKI Jakarta menerapkan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Masa PSBB itu berakhir pada 23 April 2020. Sejak saat itu, banyak warga yang berinisiatif menutup akses menuju ke permukiman mereka menggunakan portal, pagar besi, kayu, dan spanduk seadanya. Bahkan, ada yang melakukan penutupan akses mandiri jauh sebelum PSBB berlaku.

Akibat penularan coronavirus yang masih masif, pada 23 April 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk memperpanjang masa PSBB selama 28 hari. Masa PSBB jilid kedua di Ibu Kota sendiri akan berakhir pada 22 Mei 2020.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto menguraikan, pandangan setiap anggota masyarakat tidak selalu sama dalam mengartikan lockdown. Hal ini dilatarbelakangi perbedaan faktor kelas sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, atau budaya.

Menurut dia, kalangan masyarakat kelas atas cenderung lebih patuh untuk beraktivitas di dalam rumah, selaras kemampuan ekonomi dan menjalankan aktivitas secara daring melalui fasilitas teknologi komunikasi. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah, berusaha untuk tetap bekerja di luar rumah.

“Mereka memahami lockdown dengan menjaga diri agar tidak tertular misalnya dengan memakai masker. Tapi mereka tetap bekerja di luar rumah,” katanya saat dihubungi, Minggu (26/4).

Derajad menuturkan, sedikitnya ada dua faktor inisiatif menutup akses masuk di permukiman, yaitu internal dan eksternal.

Faktor internal, sebut Derajad, pemerintah daerah lebih cenderung bertindak sesegera mungkin, tanpa harus menunggu turunnya keputusan dari pemerintah pusat. Misalnya, kebijakan Pemkot Tegal, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu yang menerapkan penutupan ruas jalan kota.

Lockdown lokal ini satu-satunya jalan bagi pimpinan daerah untuk menutupi manajemen informasi yang kurang baik. Informasi dari pemerintah pusat kerap menjadi kurang tepat pesannya karena ada jeda waktu,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (26/4).

“Apa yang disampaikan oleh pemerintah pusat sekarang, belum tentu langsung tersampaikan jelas ke publik di daerah-daerah.”

Sedangkan faktor eksternal atau penutupan akses masuk bagi orang dari luar permukiman, kata Derajad, mengingatkan pada konsep masyarakat tertutup, yang biasa dilakukan dalam permukiman mewah di kota-kota besar.

“Mereka memagari perumahannya dengan memasang portal dan kamera pengintai, juga ada petugas satpam,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Imam B. Prasodjo mengatakan, hal itu tergantung keaktifan warga dalam ikatan lingkungan sosial. Ia menilai, pandemi virus mematikan ini sebagai ujian dan kesempatan untuk membangun kembali kesolidan warga.

“Semua itu jadi bagian kekayaan kita, yang kalau digerakkan untuk bersosialisasi dapat maksimal dalam tujuan penyelamatan,” kata Imam saat dihubungi, Sabtu (25/4).

Sementara, analis psikologi sosial Irfan Aulia Syaiful memandang, kebijakan warga menutup akses ke permukimannya merupakan sebuah sikap tanggap, didorong situasi genting penularan Coronavirus.

“Menutup akses jalan ini salah satu bentuk sikap proaktif masyarakat untuk mencari rasa aman. Ini cara yang paling mudah,” kata Irfan ketika dihubungi, Minggu (26/4).

Infografik lockdown. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Akibat sikap pemerintah yang cenderung lamban dalam menangani penyebaran Coronavirus, Irfan menilai publik lantas dengan sendirinya membentuk jaringan pengaman sosial secara informal. Sejumlah tokoh masyarakat dipandang memberikan pengaruh lebih besar dalam jaringan tersebut, sebagai panutan warga bersikap waspada terhadap bahaya Covid-19.

Ia menilai, sosialisasi kepada warga untuk mendukung upaya mencegah penularan virus SARS-CoV-2 juga lebih efektif melalui pemuka masyarakat. Beberapa ketidakpatuhan warga seperti tidak memakai masker, kata dia, bisa diminimalisir oleh sosialisasi dari pemuka masyarakat.

Peran pemuka masyarakat itu dinilai penting karena sebagai orang yang dihormati, mereka sudah menjalin kedekatan dan rasa percaya warga. Hal itu, menurut Irfan, dapat menggantikan rasa percaya masyarakat atas sosialisasi kebijakan pemerintah yang cenderung tidak sejalan dengan penerapannya.

“Jika kesenjangan antara sosialisasi pemerintah dan bentuk kebijakan konkretnya berlangsung terus-menerus, rasa percaya masyarakat kepada pemerintah akan meluntur,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid