sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nama 2 mahasiswa tewas saat demo diabadikan jadi ruangan KPK

KPK resmi mengabadikan nama dua mahasiswa Haluoleo, Himawan Randi dan Yusuf Kardawi sebagai nama ruangan auditorium di Gedung Pusat Edukasi

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 20 Des 2019 05:09 WIB
Nama 2 mahasiswa tewas saat demo diabadikan jadi ruangan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengabadikan nama dua mahasiswa Haluoleo, Himawan Randi dan Yusuf Kardawi sebagai nama ruangan auditorium di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK Jakarta Selatan.

Randi dan Yusuf merupakan mahasiswa yang tewas saat berunjuk rasa untuk menolak atas Rancangan Undang-Undang (RUU) bermasalah, di depan Kantor DPRD Sulawesi Tenggara pada 26 September 2019. Keduanya, meninggal dunia diduga akibat tembakan timah panas aparat kepolisian.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief menyampaikan ruangan yang diabadikan untuk kedua mahasiswa itu penuh dengan sejarah tonggak pemberantasan korupsi. Dia mengaku pernah menyimpan sejarah dalam ruangan tersebut.

"Untuk mengenal KPK, maka kita harus mengenal ruangan ini. Kenapa gedung ini penting dan khususnya ruangan ini penting? Usman (Hamid) dan saya pernah tidur di sini, jauh sebelum saya menjadi komisioner KPK, ketika KPK selalu mau diserang," tutur Laode dalam sambutan peresmian ruangan Randi-Yusuf di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).

Dia menganggap, serangan terhadap KPK itu penuh historis, dan dilakukan secara struktur, sistematis, dan massif. Karena itu, Syarief menilai, berdirinya badan antikorupsi di Indonesia penuh dengan perjuangan.

"KPK itu lahir dari air mata dan darah. Dan untuk pertahannya pun, iya masih seperti itu. Jadi, perjuangan kita memberantas korupsi masih panjang," ucap dia.

Lebih lanjut, Syarief mengaku, tak bisa tidur ketika mendapat kabar tewasnya dua mahasiswa Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara itu. Bahkan, Syarief langsung menganugerahi sebuah puisi kepada Randi ketika mengetahui kabar duka pada 26 September 2019.

"Terus terang saya bikin (puisi) itu jam 2 pagi, malah bukan malam lagi, karena tidak bisa tidur. Itu setelah saya telepon ibunya Randi. Ibunya Randi bilang kasian anakku e," tutur Syarief.

Sponsored

Syarief mengaku tak butuh lama untuk membuat karya sastra itu. Hanya 10 menit, Syarief melampiaskan perasaan duka terhadap Randi dalam barisan sajak yang tersusun rapi di telepon genggamnya.

Pada peresmian itu, Syarief menyempatkan untuk membaca puisi yang diberi judul, "Anak Laut-Matahari Negeri." Suara lirih dan tersedu keluar dari mulit Syarief sesaat membacakan puisi tersebut.

Berikut karya puisi Syarief untuk Himawan Randi:

Anak Laut-Matahari Negeri

Anak Laut itu tumbuh di tanah cadas bebatuan pantai Lakarinta-Witeno-Wuna

Tumbuh dari singkong dan jagung yang mampu menembus cadas dan air laut yang menggarami hidupnya

Tanpa keluh tanpa kesah menjalani hidup yang memang keras dari awalnya

Di mata La Sali dan Wa Nasrifa, dia adalah matahari di antara dua bulan belahan hati

La Sali tekun mengajari matahari-nya arah angin dan riak gelombang agar mampu membaca laut

Wa Nasrifa tekun membimbingnya mengenal aksara, semampu yang dia pahami

La Sali sadar, membaca laut dengan hanya bermodal dayung dan kail tidak akan memuliakan mataharinya

Satu-satunya asa, hanya pada ketekunan dan kekerasan hati mataharinya

Sang Anak Laut, tumbuh sesuai kehendak alam, menembus cadas menyelami karang

Sang Anak Laut tidak bermimpi menjadi matahari, tetapi di lubuk hatinya, dia bertekad meninggikan tiang perahu ayahnya, melebarkan dapur ibunya, meluaskan pikiran kakak dan adik perempuannya

Lewat Bidik Misi, dia awali perantauanya, mengejar matahari, menyelami cara memuliakan ikan, bahkan disambi dengan menjadi kuli bangunan, demi doa dan harapan orang tua

Hari Kamis, 26 September 2019, Pantai Lakarinta tenang, angin semilir memanjakan ikan yang melompat riang di balik matahari sore

La Sali sedang melaut dengan kail dan jaring satu-satunya, demi mtahari dan dua bulan yang merantau

Burung laut, bersuara lirih menghampiri perahunya, tetapi tak dihiraukan karena angannya dipenuhi matahari dan dua bulan di tanah rantau

Dia tambatkan perahunya, lalu menuju rumah dengan menghitung langkahnya
Tetapi kali ini berbeda, karena kerabat menjemput-nya dalam diam
 
“Ohae ini-Ohae ini?” (Ada apa ini-Ada apa ini?) 

Tak ada suara-Tak ada jawaban
Laut nusantara tiba-tiba dingin, ikan terdiam, nyiur menunduk

Anak Laut itu, melejit jadi matahari, membumbung menyebar sinarnya, melelehkan bedil yang merenggut raganya
Jiwanya tetap hidup!
Bergemuruh di dalam dada anak negeri yang menolak bersekutu dengan kebohongan dan kepalsuan

Berita Lainnya
×
tekid