sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib pegawai non-PNS usai peleburan BRIN: “Kami bertahun-tahun mengabdi negara”

Banyak pegawai non-PNS yang sebelumnya bekerja di lembaga riset kementerian/lembaga yang terdepak usai peleburan BRIN.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 15 Jan 2022 13:54 WIB
Nasib pegawai non-PNS usai peleburan BRIN: “Kami bertahun-tahun mengabdi negara”

Kamis, 30 Desember 2021 merupakan hari terakhir Kapten Kapal Riset Baruna Jaya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ishak Ismail bertugas. Kabar pahit diterima Ishak, ketika kapalnya baru saja bersandar di pelabuhan Muara Baru, Jakarta, usai memasang alat deteksi tsunami di Samudera Hindia.

“Hari itu kami disampaikan oleh pihak BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) bahwa per 1 Januari 2022 segera meninggalkan kapal tempat kami bekerja,” ucap Ishak kepada Alinea.id, Senin (10/1).

“Penyampaiannya secara lisan, bukan melalui surat. Tanpa pemberitahuan sebelumnya.”

Nasib mereka yang “didepak”

Ishak bukan orang baru di kapal itu. Ia sudah mengabdi selama 19 tahun, mendampingi para peneliti melakukan survei di laut. Prestasi tak sembarangan pernah ditorehnya.

Pada 2015, Ishak mendapat tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo. Ia dianggap punya andil besar dalam proses pencarian lokasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di perairan Selat Karimata, Kalimantan Tengah.

Ishak tak sendiri. Ada 36 awak Kapal Riset Baruna Jaya lainnya yang diberhentikan dari BRIN. Ia mengatakan, perlakuan BRIN tak tahu adab. Sebab, terkesan meremehkan jasa anak buah kapal yang setengah mati menjaga keselamatan para peneliti di laut lepas.

Posisi Ishak serba sulit karena ia hanya pegawai pemerintah non-PNS di BPPT. “Kami (pegawai non-PNS) sudah bertahun-tahun mengabdi untuk negara,” katanya.

Sponsored

“Keseharian saya di rumah saja, hanya merenungi nasib anak buah saya.”

 Rapat pimpinan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pascabergabungnya periset dari litbang kementerian/lembaga di auditorium kawasan nuklir Pasar Jumat, Jakarta, Rabu (5/1/2022). Foto Diky Erfan Priliandi/BRIN.go.id

Nasib getir juga menimpa Wulan Komalawati. Sejak awal Januari 2022, ia bertahan hidup dari uang tabungannya, setelah dipecat dari BRIN. Padahal, ia sudah mengabdi sebagai asisten peneliti di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT selama 16 tahun.

Bersama lembaga pemerintah nonkementerian lainnya, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), BPPT dilebur ke dalam BRIN berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021. Terakhir, Lembaga Biologi Molekuler (PBM) Eijkman pun diintegrasi ke BRIN.

Hal ini membuat Wulan, Ishak, dan banyak pegawai yang berstatus non-PNS lainnya dipecat dari BRIN. “Kata (Kepala BRIN Laksana) Tri Handoko semua yang boleh masuk hanya peneliti berstatus PNS,” kata Wulan, Senin (10/1).

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, ujar Wulan, sudah memberi ultimatum pemecatan kepada seluruh peneliti dan perekayasa berstatus pegawai non-PNS dalam apel organisasi pada September 2021. Saat itu, Laksana mengatakan masa kerja semua peneliti dan perekayasa non-PNS di BPPT bakal berakhir pada 31 Desember 2021.

Pernyataan yang disampaikan Laksana itu lalu mendapatkan protes dari peneliti dan perekayasa non-PNS. Akan tetapi, protes itu dianggap angin lalu. Wulan menyebut, ada sekitar 20 perekayasa non-PNS di unit kerjanya yang senasib.

“Saya (bersama tim kerja) dulu sering memodifikasi awan agar bisa terjadi hujan dalam proses mencegah atau meminimalisir kebakaran hutan,” ujar lulusan Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

“Saya berharap bisa melakukan kerja itu lagi.”

Setelah Kebun Raya Bogor diambilalih BRIN dan dikelola PT Mitra Natura Raya (MNR) sejak awal Januari 2021, puluhan pegawai honorer di taman raksasa warisan kolonial Belanda itu pun kehilangan pekerjaan. Sebelumnya, Kebun Raya Bogor berada di bawah pengelolaan Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI.

“Swastanisasi ini akhirnya membuat PT MNR memangkas para pegawai honorer,” ujar juru bicara mantan pegawai Kebun Raya Bogor, M Ridwan, Senin (10/1).

“Ada 78 orang dari 138 pegawai yang dipecat dengan alasan efisiensi.”

Gelombang pemecatan pegawai honorer di Kebun Raya Bogor dimulai saat PT MNR tak lagi memperpanjang kontrak pada Mei 2019, diikuti PHK kedua pada Desember 2019.

Meski begitu, hingga kini tak ada jumlah detail berapa pegawai honorer atau non-PNS yang diberhentikan usai sejumlah lembaga riset dilebur ke dalam BRIN. Namun, menurut Narasi Instute dan Aliansi Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa dalam situs petisi daring Change.org, peleburan 39 lembaga riset mengakibatkan 1.500-1.600 pegawai non-PNS diberhentikan.

Mencari keadilan dan tercerai-berai

Menanggapi hal itu, juru bicara mantan pegawai BPPT Andika mengatakan, sudah mengadukan perkara pemecatan ratusan mantan pegawai non-PNS BPPT ke Komnas HAM. Sejauh ini, kata Andika, ada 500 pegawai dari lima balai yang ada di BPPT yang menuntut dipekerjakan kembali.

“Kemungkinan akan terus bertambah karena BPPT ada 28 balai,” ujar Andika, Senin (10/1).

Jika pengaduan ke Komnas HAM tak membuahkan hasil, Andika menuturkan, bakal membawa masalah ini ke pengawas BRIN dan DPR. Sementara Ridwan dan kawan-kawannya sudah mengadu kepada pihak Kebun Raya Bogor.

“Pada intinya, pihak Kebun Raya Bogor tidak mau bertanggung jawab,” tuturnya.

Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan pegawai negeri sipil di lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (1/12/2021). Foto Fatimah Larasati Harahap dan Diky Erfan Priliandi/BRIN.go.id

Ia pun mengaku sudah berulangkali mediasi dengan PT MNR dan Kebun Raya Bogor, melalui Dinas Ketenagakerjaan Kota Bogor dan Ikatan Serikat Buruh Indonesia (ISBI). Tujuannya, menuntut pesangon yang tak dibayarkan.

“Namun tidak membuahkan hasil,” ujarnya.

Mantan pegawai honorer Kebun Raya Bogor juga telah mengadu ke Komnas HAM dan Ombudsman RI. Lagi-lagi hasilnya nihil. Hingga akhirnya, mereka menunjuk kuasa hukum untuk membawa perkara ke pengadilan.

Andika yang sudah tujuh tahun menjadi perekayasa di Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT memandang, peleburan BPPT ke dalam BRIN telah merugikan banyak perekayasa non-PNS BPPT.

“Mereka yang sedang studi di luar negeri berpikir dua kali berkarier di BRIN. Mereka ragu karena sistem yang tidak ramah terhadap peneliti,” ucapnya.

Di sisi lain, Ishak memandang, seharusnya Laksana tak mendikotomi peran karyawan yang berstatus PNS dan non-PNS. Ia menilai, riset berkualitas tidak hanya bertumpu pada kemampuan periset, tetapi juga tim pendukung yang menopang peneliti.

Sedangkan Wulan menilai, keputusan peleburan lembaga penelitian ke dalam BRIN membuat ekosistem riset tercerai-berai. Bahkan, seolah-olah penelitian ingin dimonopoli pemerintah. Selama ia berkarier di BPPT, menurutnya, banyak pihak nonpemerintah yang terlibat dalam proyek hilirasasi penelitian.

"Semisal, kami mau penelitian butuh kapal. Kalau enggak ada nakhodanya gimana? Atau pesawat yang nerbangin kan pilot bukan PNS semua," ucap Wulan.

Peleburan lembaga riset ke dalam BRIN ternyata juga membuat bingung peneliti dan perekayasa berstatus PNS. Hal itu dirasakan peneliti BRIN, yang dahulu bekerja di Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT, Agus Sudaryanto. Ia mengaku belum paham peta kerja di BRIN. Pasalnya, sejauh ini pembentukan organisasi riset di BRIN belum rampung.

“Penggabungan dan integrasi peneliti dari litbang baru akan dilakukan pada akhir Januari 2022,” kata Agus, Senin (10/1).

“Sehingga kami yang dari LPNK (lembaga pemerintah nonkementerian), seperti BPPT, LIPI, BATAN belum memilih karena organisasi riset mungkin bisa tumpang tindih.”

Agus menyebut, setiap peneliti bisa memilih satu dari tiga organisasi riset, sesuai minat dan keahlian masing-masing. “Tapi, itu nanti, setelah semua organisasi riset terbentuk,” katanya.

Imbas dari proses transisi ini, Agus tak tahu bakal berkantor di mana, usai “didepak” dari kantor lamanya di BPPT—yang dijadikan kantor BRIN. Peleburan BPPT ke BRIN membuat tim yang biasa bekerja dengannya pun tercerai-berai.

Selain itu, sejauh ini Agus masih meraba petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) penelitian yang bakal jadi acuan BRIN. “Lembaga ini menggabungkan antara profesi perekayasa dan peneliti, di mana juklak dan juknisnya berbeda,” tuturnya.

"Sejauh ini perekayasa dominan ke produk, sedangkan peneliti lebih kepada publikasi ilmiah."

Lebih lanjut, Agus pun masih menerka pola kerja penelitian di BRIN, begitu pula dengan pemanfaatan laboratoriumnya. Sejak semua aset BPPT diambilalih BRIN, Agus mengaku, semua peneliti tak bisa dengan mudah menggunakan infrastruktur riset. Contohnya, bekas laboratorium Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT yang kini berfungsi bagi organisasi riset lain.

“Nanti gimana bisa berjalan penelitian? Saya membayangkan agak rumit menggunakan alat di sana (BRIN),” ujar dia.

Menurutnya, bakal repot bila satu laboratorium digunakan banyak organisasi riset karena mengakibatkan antrean pemanfaatannya.

Peneliti BRIN lainnya, Ibnu Maryanto, yang sebelumnya peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI juga mengaku masih banyak pekerjaan rumah dalam peleburan lembaga riset ke dalam BRIN.

“Mulai dari masalah organisasi, administrasi, hingga konsep mekanisme penelitian masih abu-abu,” ucapnya, Senin (10/1).

Ibnu mengatakan, sejak awal Kepala BRIN Laksana Tri Handoko tak pernah melibatkan peneliti dalam merancang organisasi BRIN. Padahal, tata kelola riset perlu dibahas bersama untuk menemukan model lembaga penelitian yang ideal. Belum lagi deputi yang dipimpin pelaksana tugas, malah membuat kebingungan tersendiri.

“Plt (pelaksana tugas) itu tidak boleh membuat organisasi baru, memberi sanksi, mengganti, dan menggusur orang,” ujarnya.

Infografik pegawai BRIN. Alinea.id/Aisya Kurnia

“Realitasnya, Plt itu membuat SK (surat keputusan). Dia menggusur orang semaunya.”

Tindakan itu, disebut Ibnu, membuat suasana di BRIN tak kondusif. "Dulu di tempat saya (Pusat Penelitian Biologi LIPI) banyak yang dilempar ke sana-ke mari," ujar Ibnu.

Sejak awal, dirinya pesimis BRIN dapat menjadi lembaga riset yang unggul di bawah kendali Laksana. Ketika menjadi Kepala LIPI pada 2018, Ibnu mengatakan, Laksana sudah semaunya merancang proyek riset, tanpa mendengar saran peneliti.

Secara administratif, LIPI sewaktu di bawah Laksana, kata Ibnu menjadi kacau lantaran izin riset tak satu pintu. Akibatnya, waktu penelitian molor.

Dari pengalamannya itu, Ibnu merasa konsep yang dibawa Laksana ke BRIN banyak yang kelihatan coba-coba. Saat ini, Ibnu mengaku, para peneliti di Pusat Penelitian Biologi BRIN belum banyak yang melakukan penelitian. Sebab, banyak tenaga penunjang yang dimutasi ke unit lain, imbas reorganisasi BRIN yang kaku.

“Kami masih 'pincang' karena tenaga administrasi, seperti ahli komputer banyak dikeluarkan. Entah ke mana,” ujar Ibnu.

Berita Lainnya
×
tekid