sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Opsi-opsi mengoreksi regulasi BRIN

Tugas BRIN sebaiknya dibatasi hanya sebagai koordinator lembaga riset dan badan litbang kementerian.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Selasa, 10 Agst 2021 17:03 WIB
Opsi-opsi mengoreksi regulasi BRIN

Usai membaca isi naskah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang beredar sekitar dua bulan silam, mantan Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas-Iptek) Andi Yuliani Paris langsung melayangkan protes kepada Laksana Tri Handoko, kepala BRIN yang baru.

Andi protes lantaran payung hukum BRIN yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 28 April 2021 itu bakal melikuidasi empat lembaga pemerintahan non-kementerian (LPNK) di bidang riset dan inovasi, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

“Saya katakan, 'Pak Handoko, saya enggak yakin kalau BRIN ini bisa meningkatkan invensi dan inovasi.' BRIN ini juga menghilangkan lembaga penyandang dana yang selama ini bekerja dengan LIPI, BATAN, LAPAN, BPPT,” ujar Andi dalam webinar Alinea Forum bertajuk "Langkah Hukum Meluruskan Regulasi BRIN", Senin (9/8).

Kepada Handoko, eks anggota Komisi VII DPR RI itu berargumentasi beleid tersebut akan membawa malapetaka bagi BRIN. Melalui pesan singkat di WhatsApp, Andi juga sempat menyampaikan kegelisahannya itu pada Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin.

Dalam pesan tersebut, Andi mengutarakan sejumlah potensi hambatan yang bakal mengadang BRIN, seperti rumitnya peralihan sumber daya manusia (SDM) dan aset penelitian yang diprediksi bakal memakan proses panjang. “Itu bukan perkara mudah. Itu memerlukan waktu bertahun-tahun,” terang Andi.

Kewenangan BRIN untuk melikuidasi empat LPNK riset dan inovasi tercantum dalam Pasal 69 Perpres BRIN. Isi pasal itu, kata Andi, telah melenceng dari amanat Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sisnas-Iptek. Tertulis pada pasal itu, BRIN hanya berwenang untuk mengarahkan dan menyinergikan perencanaan, program, anggaran, sumber daya iptek.

Menurut Andi, para perumus RUU Sisnas-Iptek tidak pernah berniat untuk menjadikan BRIN sebagai pelaksana riset dan inovasi nasional. BRIN sengaja dilahirkan sebagai lembaga yang bertugas menyinergikan program-program riset dan inovasi dalam negeri yang kerap tumpang-tindih.

“Seharusnya, dia (BRIN) jadi kayak dirigen. Ini loh orkestranya, LAPAN main gitar, BATAN main piano, kemudian litbang-litbang di kementerian dia main apa. BRIN mengarahkan agar nadanya jangan sama-sama bunyi,” tutur Andi.

Sponsored

Yang juga mengagetkan Andi ialah mandat untuk membentuk Dewan Pengarah BRIN yang pemimpinnya berasal dari unsur Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam Perpres tersebut. Untuk posisi itu, Jokowi telah menunjuk Megawati Soekarnoputri. 

Menurut Andi, para perumus Perpres BRIN mengambil isi Pasal 5 huruf (a) UU Sisnas-Iptek untuk membenarkan kehadiran Dewan Pengarah. Pada pasal itu, disebutkan 'iptek berperan menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berhaluan pada ideologi Pancasila.'

“Saya normatif saja pada waktu itu (pembahasan UU Sisnas-Iptek). Lurus saja ada kata ideologi Pancasila. Ternyata, itu sesuatu yang mengagetkan ketika dikaitkan dengan BPIP. Jadi, agak mengagetkan juga ketika (Ketua) Dewan Pengarahnya dari unsur lembaga tersebut,” terang Andi.

Jika direalisasikan, menurut Andi, isi Perpres BRIN bakal memantik kemunduran di bidang riset dan inovasi. "Kita hanya bisa mengingatkan. Untuk membatalkan Perpres ini, silakan teman-teman yang merasa dirugikan, silakan (menggugat ke jalur hukum)," kata Andi.

Ilustrasi kegiatan riset di bidang medis. /Foto Unsplash/Satheesh Sankaran

Opsi gugatan 

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai setidaknya ada dua hal yang dapat dijadikan dasar gugatan. Pertama, pemberian kewenangan integrasi dalam Perpres BRIN yang melenceng dari isi Pasal 48 UU Sisnas-Iptek. Dalam penjelasan Pasal 48, integrasi "dikunci" sebagai upaya mengarahkan dan menyinergikan perencanaan, program, anggaran, sumber daya iptek guna hasilkan invensi dan inovasi.

“Nah, masalah hukumnya, salah satu ada di pemaknaan atau penafsiran makna ada di integrasi. Saya kira ada beberapa masalah hukum lain yang mungkin bisa kita gali, tetapi yang paling nyata itu,” ujar dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera itu di webinar yang sama. 

Kedua, terkait tidak dilibatkannya kelompok masyakarat yang memiliki kepentingan oleh pemerintah saat perumusan dan pembahasan Perpres BRIN. Hak publik untuk terlibat dalam merumuskan regulasi diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Kalau memang ternyata stakeholder atau pemangku kepentingan terkait tidak pernah diajak untuk berdiskusi oleh pembuat undang-undang, sebetulnya sudah ada juga pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,” terang Bivitri.

Bivitri menyebutkan setidaknya ada dua cara untuk mengubah isi Perpres BRIN. Pertama, advokasi kebijakan melalui konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan. Kedua, melalui uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) atau di Mahkamah Agung (MA).

Di MK, uji materi bisa diajukan untuk menegaskan makna Pasal 48 UU Sisnas-Iptek. Adapun di MA, uji materi dilayangkan untuk mempersoalkan isi sejumlah pasal pada Perpres BRIN yang dianggap melenceng dari substansi UU Sisnas-Iptek. 

Kedua langkah hukum itu, kata Bivitri, berisiko. Jika uji materi ditolak, maka jalan perbaikan kebijakan dalam jalur hukum otomatis tertutup. “Karena putusan pengadilan itu bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan dan tidak ada upaya hukum lagi kalau sudah judicial review,” jelas dia. 

Karena itu, ia menyarankan agar pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh Perpres BRIN mengambil langkah advokasi kebijakan. Untuk tahap awal, publik bisa menyusun perencanaan aksi atau action plan untuk "meluruskan" isi Perpres BRIN.

Perencanaan itu, papar Bivitri, memuat sejumlah aspek, seperti penentuan aktor yang dapat mengupayakan advokasi hingga pesan yang ingin disampaikan untuk mengubah bunyi Perpres BRIN. Penentuan aktor harus tepat supaya kekuatan politik dalam mendukung perubahan regulasi BRIN bisa dipetakan. 

“Pemetaan aktor biasanya yang cukup di DPR untuk memaksa BRIN mengubah perpresnya. Memaksa pihak-pihak terkait untuk mengubah perpresnya akan sangat baik. Harus melalui DPR, tetapi dorongan masyarakat tetap ada. Orang-orang yang terdampak Perpres BRIN bisa saja melakukan upaya yang sistematis supaya ada perubahan perpres,” ujar Bivitri.

Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. /Foto dok. LIPI

Pertahankan LIPI dan kawan-kawan 

Ketua Himpunan Perekayasa Indonesia (Himperindo) I Nyoman Jujur mengaku baru dimintai pandangan oleh pemangku kepentingan usai Perpres BRIN dirilis. Itu pun setelah Himperindo meminta kepada Kepala BRIN untuk dilibatkan dalam proses pembahasan integrasi BRIN dan lembaga riset. 

“Respons beliau (Handoko) dalam hal ini, 'Karena kami baru selesaikan Permenpan-RB, sebaiknya nanti menyusun juknis (petunjuk teknis) dulu karena juknis diperlukan langkah yang lebih riil dan rinci. Nah, mungkin beliau nanti, dalam penyusunan juknis itu, ikut memantau. Gitu,” kata Nyoman. 

Lebih jauh, Nyoman berharap proses integrasi BRIN dilakukan tanpa menghilangkan entitas empat LPNK yang sudah puluhan tahun berdiri. Ia khawatir integrasi bercorak likuidasi bakal menghambat kinerja lembaga-lembaga riset. 

“Tidak boleh SDM itu digabung saja tanpa memikirkan apa ciri khas dan DNA dari pada masing-masing SDM itu. Himperindo juga mengharapkan regulasi yang lebih rendah selaras dengan yang lebih tinggi,” ujar Nyoman.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Senada, Ketua Departemen Ilmu Administrasi FIA Universitas Indonesia (UI) Teguh Kurniawan menilai isi Perpres BRIN tidak selaras UU Sisnas-Iptek. Menurut dia, tugas BRIN sebagaimana tertera dalam UU Sisnas-Iptek seharusnya hanya sebatas mengoordinasikan sistem riset dan inovasi.

“Fungsi koordinator tidak bisa dicampuradukkan dengan fungsi pelaksana kegiatan pengkajian, penelitian, pengembangan, dan penerapan, serta invensi dan inovasi. Ini nanti akan berdampak pada munculnya konflik kepentingan,” terang Teguh.

Teguh juga mengkritik stuktur baru BRIN yang kini terdiri dari tujuh kedeputian. Menurut dia, struktur organisasi semacam itu terlalu kaku. Apalagi, pola hubungan dan teknis kerja antara organisasi riset, baik lembaga litbangjirap, perguruan tinggi, badan usaha, dan lembaga penunjang di dalam BRIN, belum tergambar dengan jelas.

“Pembentukan (struktur) seharusnya berdasarkan pola fokus penelitian nasional dan lebih agile karena masing-masing kedeputian akan menjadi dirigen pada fokus yang diselaraskan dengan rencana nasional. Pembentukan pemimpin klaster-klaster penelitian lebih fleksibel dibandingkan dibentuk kedeputian yang kaku,” terang Teguh.

Supaya eksistensi BRIN tidak terus dipersoalkan, Teguh setuju Perpres BRIN segera direvisi dan BRIN dibatasi tugasnya hanya sebagai koordinator lembaga riset dan balitbang. “Saya sangat sepakat kalau memang kita perlu melakukan upaya advokasi sehingga bisa mengoreksi kebijakan tersebut," tegas dia. 

Berita Lainnya
×
tekid