close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pengangguran. Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi pengangguran. Alinea.id/Firgie Saputra.
Nasional
Sabtu, 23 April 2022 09:28

Problem pengangguran tak berkesudahan

Berdasarkan catatan BPS, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2021 sebanyak 140,15 juta orang.
swipe

Sejak memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai penagih utang di perusahaan peminjaman uang di Jakarta pada awal 2020, hingga kini Intan Unzira belum mendapat pekerjaan baru. Ia pernah mencoba peruntungan melamar pekerjaan secara daring dan lewat bursa kerja. Namun, tak pernah ada yang menerima hingga membuatnya patah arang.

Sebulan belakangan, perempuan berusia 22 tahun itu kembali mencari pekerjaan. Ia terpicu lagi mencari kerja lantaran Ramadan dan Lebaran ia membutuhkan uang.

“Lebaran kan paling enggak kita harus pegang duit,” kata Intan kepada Alinea.id, Rabu (13/4).

Menganggur lama

Akan tetapi, berulang kali ia harus gigit jari karena belum ada satu pun perusahaan yang menerimanya. Sudah tak terhitung lagi lamaran kerja yang Intan kirim ke berbagai perusahaan.

"Paling mereka ngomongnya nanti dipanggil lagi ya. Tapi nyatanya sampai sekarang enggak dipanggil-panggil," kata Intan.

Perempuan yang kini tengah kuliah kelas karyawan di salah satu perguruan tinggi di Jakarta ini mengaku khawatir bakal menjadi pengangguran lama. Apalagi, ia melihat kondisi ekonomi belum akan pulih dalam waktu dekat.

Ia pun mengatakan, banyak perusahaan yang melakukan PHK karyawan karena pandemi Covid-19. Hal itu berdampak besar pada peluang kerja yang semakin sulit ditembus.

 Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4/2020). Foto Antara/Akbar Nugroho Gumay.

“Kalau saya melamar (posisi) admin nyarinya. Masalahnya, saat ini admin banyak sekali saingan, tapi lowongan kerjanya sangat terbatas,” ujarnya warga Cengkareng, Jakarta Barat itu.

Faizal Andriansyah, 28 tahun, juga sudah menganggur sejak 2018, usai kontraknya di perusahaan leasing kendaraan bermotor habis. Faizal merasa menjadi beban keluarga karena menganggur sangat lama.

“Saya sudah sering banget lamar-lamar, datang juga ke bursa kerja. Tapi enggak ada yang nerima,” kata warga Kalideres, Jakarta Barat itu, Rabu (13/4).

Ijazahnya yang hanya SMA, dirasa semakin sulit bersaing dengan lulusan S1. Walau begitu, sebenarnya beberapa kali ia mendapat panggilan kerja di luar kota. Namun, selalu ia tolak karena merasa tak cocok dengan gaji yang ditawarkan.

"Gajinya jauh dari UMP (upah minimum provinsi) Jakarta. Terus juga berat di ongkos," kata Faizal.

Ia mengaku, banyak juga perusahaan yang mematok biaya, bila ingin diterima sebagai pekerja kontrak. "Tapi saya enggak pernah mau," tutur Faizal.

Naiknya harga bahan pokok belakangan ini, membuat Faizal kian berat menjalani hari-hari sebagai pengangguran. Belum lagi jika orang tuanya meminta bantuan keuangan, membuat ia semakin bingung.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2021 sebanyak 140,15 juta orang, naik 1,93 juta orang dibanding Agustus 2020. Sementara penduduk yang bekerja sebanyak 131,05 juta orang pada Agustus 2021, naik sebanyak 2,60 juta orang dari Agustus 2020.

Sedangkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 sebesar 6,49%, turun 0,58% poin dibandingkan Agustus 2020. Lalu, terdapat 21,32 juta orang (10,32% penduduk usia kerja) yang terdampak pandemi Covid-19.

Jumlah itu terdiri dari pengangguran karena Covid-19 sebanyak 1,82 juta orang, bukan angkatan kerja karena Covid-19 sebanyak 700.000 orang, tidak bekerja karena Covid-19 sebanyak 1,39 juta orang, serta penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 sebanyak 17,41 juta orang.

Masih merujuk data BPS, provinsi dengan persentase pengangguran terbuka terbanyak pada Agustus 2021 terdapat di Kepulauan Riau sebesar 9,91%, Jawa Barat 9,82%, dan DKI Jakarta 8,50%.

Segudang persoalan

Menurut Ketua Umum Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, maraknya pengangguran karena tiadanya kepastian kerja akibat sistem kontrak. Sehingga banyak angkatan kerja yang menganggur setelah putus kontrak dengan perusahaan.

Nining mengatakan, kondisi ini sudah terjadi sejak lama. Terlebih, kini ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menurutnya, semakin melanggengkan kerja kontrak yang cenderung informal dan tanpa jaminan.

“Tidak ada kepastian kerja dan tidak ada kepastian pendapatan,” ujar Nining, Rabu (13/4).

Rata-rata pekerja di Indonesia belum memiliki perlindungan, kata Nining, menyebabkan perusahaan bisa leluasa memecat bila dianggap tak dibutuhkan lagi. Banyak pekerja akhirnya menganggur dan sulit menembus dunia kerja karena harus bersaing dengan angkatan kerja baru, yang setiap tahun muncul.

“Dengan situasi kerja kontrak, alih daya, dan magang itu bentuk dari sektor formal menjadi informal,” ucapnya.

Selain itu, pengalihan tenaga kerja manusia ke teknologi yang dilakukan pada berbagai bidang industri, dinilai Nining juga turut memperbesar angka pengangguran. Sebab, cukup banyak buruh kehilangan pekerjaan akibat pengalihan tersebut.

Ia mengatakan, kondisi ini tak semestinya dibiarkan pemerintah. Perusahaan cepat atau lambat, ujar dia, bakal bertindak sewenang-wenang memecat pekerjanya karena merasa teknologi menjamin ongkos produksi yang lebih murah ketimbang tenaga manusia.

“Kalau pemerintah sudah memprediksi ada otomatisasi (teknologi) sebenarnya yang harus diantisipasi adalah langkah-langkahnya untuk kemudian menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat,” ucapnya.

“Itu seharusnya ada langkah-langkah antisipasi.”

Nining memprediksi, kondisi ini masih akan menjadi persoalan di masa mendatang. Karena ia melihat, pemerintah tak memberi perlindungan dan kepastian bagi pekerja.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, persoalan pengangguran merupakan masalah struktural yang terkait dengan penurunan kapasitas industri.

“Kalau industri manufakturnya terus anjlok, maka pengaruh ke serapan tenaga kerja,” ujar Bhima saat dihubungi, Rabu (13/4).

Fenomena ekonomi digital yang tak diiringi dengan peningkatan serapan kerja di bidang digital, juga ikut mencatat banyaknya angka pengangguran. “Kita masih kurang sembilan juta pekerja di bidang data science sampai AI (artificial intelligence),” ucapnya.

“Institusi pendidikan juga belum sepenuhnya bisa fasilitasi kecepatan perubahan pasar tenaga kerja, akibatnya ada skill gap.”

Pandemi Covid-19 turut memperburuk pasar tenaga kerja. Bhima menaksir kondisi angkatan kerja akan semakin berat karena adanya inflasi yang efeknya membuat perusahaan menunda melakukan rekrutmen besar-besaran.

Sejumlah calon pelamar kerja melamar pekerjaan pada Job Fair di Gedung Sukapura, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (19/10/2018). Foto Antara/Adeng Bustomi.

“Contohnya adalah sektor retail saat ini kena dampak dari naiknya harga dan PPN (pajak pertambahan nilai) 11%, itu pengaruh ke omzet, mau tidak mau pekerja yang ada bisa terancam PHK," kata Bhima.

Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti melihat, pengangguran di Indonesia terjadi lantaran masih banyaknya angkatan kerja tanpa skill.

“Sejauh ini hanya 12% tenaga kerja berpendidikan tinggi,” tutur dia, Kamis (14/4).

Selain itu, ia menilai ada kondisi yang kurang selaras antara keahlian yang ada di level angkatan kerja dengan kebutuhan industri. "Tidak heran lebih dari 80% tenaga kerja bekerja di sektor informal," kata Esther.

Nining menganggap, pemerintah perlu mengevaluasi sejumlah persoalan yang membekap angkatan kerja. Pengangguran yang semakin banyak, kata dia, bakal membuat daya beli masyarakat menurun dan berimbas pada pertumbuhan ekonomi.

"Seharusnya negara hadir membuat suatu aturan hukum yang betul-betul memberikan keadilan," kata Nining.

Sedangkan Bhima memandang, pemerintah seharusnya fokus pada pemberian insentif ke industri padat karya dan menekan kenaikan harga energi. Terutama yang berkaitan dengan daya beli dan biaya produksi pelaku usaha, untuk meringankan beban masyarakat menengah ke bawah dan tak semakin banyak pengangguran.

"Dalam situasi saat ini UMKM juga perlu mendapat perhatian dengan bantuan pemerintah dan percepat digitalisasi UMKM," kata Bhima.

Di sisi lain, persoalan pengangguran, menurut Esther, belum akan terpecahkan bila tak ada terobosan serius dari pemerintah. "Kondisi unskilled labor tetap berlangsung setelah pandemi, bila tidak ada upgrade skill labor," ujar Esther.

Ia pun melihat, kartu prakerja belum bisa diharapkan memberikan efek signifikan. "Program itu lebih masif jika ada kolaborasi antara private sector, pemerintah, serta akademisi," ujar Esther.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan