sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Reaksi keras buruh tolak kebijakan new normal

KSPI beberkan lima alasan menolak kebijakan new normal

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 28 Mei 2020 10:47 WIB
Reaksi keras buruh tolak kebijakan new normal

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak new normal atau kenormalan baru karena dianggap membingungkan buruh. Pasalnya, peloranggaran via new normal justru akan meningkatkan mobilitas dan bisa memicu bertambahnya jumlah positif terpapar coronavirus disease 2019 atau Covid-19.

“Saat ini saja ketika masih diberilakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) banyak yang tidak patuh. Apalagi jika diberi kebebasan,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis (28/5).

Untuk itu, KSPI meminta pemerintah melawan penyebaran Covid-19 dengan tetap mengampanyekan physical distancing dan meliburkan buruh secara bergilir.

Said menambahkan, pengurangan jumlah orang beraktivitas di luar rumah justru bisa mendorong physical distancing, dan bisa memutus mata rantai penularan Covid-19 tanpa mematikan perekonomian.

Said lantas membeberkan lima alasan menolak kebijakan new normal tersebut. Pertama, jumlah orang yang positif corona masih terus meningkat. Bahkan, pertambahan kasus positif baru setiap hari masih mencapai ratusan.

Kedua, sejumlah buruh yang tetap bekerja berakibat positif Covid-19. Misalnya, di PT Denso Indonesia dan PT Yamaha Music, Sampoerna, dan PEMI Tangerang. Yang dilaporkan bukan hanya berstatus ODP, PDP, tetapi juga kasus pasien positif meninggal dunia.

Ketiga, saat ini telah banyak pabrik merumahkan dan melakukan PHK akibat bahan baku material impor semakin menipis atau tidak ada. Salah satunya terjadi pada industri tekstil, otomotif, elektronik, farmasi, hingga pertambahan.

“Fakta ini menjelaskan, new normal tidak akan efektif. Percuma saja menyuruh pekerja untuk kembali masuk ke pabrik. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akibat tidak adanya bahan baku,” ucapnya.

Sponsored

Keempat, PHK besar-besaran telah terjadi pada industri pariwisata, UMKM, hingga sepinya order transportasi online yang hingga kini belum ada solusi. Di industri manufaktur pun ancaman PHK terhadap ratusan ribu buruh sudah di depan mata.

Menghadapi situasi ancaman PHK besar-besaran, sambung Said, yang dibutuhkan bukan new normal, tetapi mempersiapkan solusi agar jutaan buruh bisa bekerja kembali. Tidak dengan meminta masyarakat mencari kerja sendiri.

“Seharusnya pemerintah memaksimalkan pemberian bantuan langsung tunai dan memberikan subsidi upah. Bukan meminta bekerja kembali di tengah pandemi yang mengancam hilangnya nyawa. Lagi pula, bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan, akan kembali bekerja di mana?” tutur Said.

Kelima, tanpa new normal pun sebenarnya masih banyak perusahaan masih meminta buruhnya tetap bekerja. Sehingga yang butuhkan bukan new normal, tetapi regulasi dan strategi untuk memastikan bahan baku impor bisa masuk dan selalu tersedia di industri.

“Di sisi lain penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar. Karena sebagian perusahaan meliburkan karyawan atau melakukan PHK akibat profit perusahaan menipis bahkan negatif, akibat mereka harus membeli bahan baku dari impor dengan harga dollar dan menjual dengan rupiah yang sudah terpuruk,” pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid