sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Resah di balik tujuan mulia jalan berbayar elektronik

Setelah terus menerus molor, wacana jalan berbayar elektronik kembali mengemuka. Tapi, belum diimbangi sistem transporasi publik yang baik.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 29 Des 2021 15:44 WIB
Resah di balik tujuan mulia jalan berbayar elektronik

Dodi Bimo, seorang petugas keamanan di sebuah gedung yang ada di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, mengernyitkan dahi ketika membaca berita soal rencana Pemprov DKI Jakarta yang bakal memberlakukan jalan berbayar elektronik (JBE) atau electronic road pricing (ERP). Pria 34 tahun itu takut bila kebijakan menyasar pula untuk pengendara sepeda motor seperti dirinya.

Jika kebijakan itu diberlakukan, ia mengaku harus mengalkulasi pengeluarannya karena penghasilannya terbilang pas-pasan. “Mau enggak mau harus ngirit,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id di Tangerang Selatan, Senin (27/12).

Sebelum dimulai operasional jalan berbayar pada 2023, rencananya Pemprov DKI Jakarta bakal mengadakan lelang dan pembangunan ERP di 18 ruas jalan Ibu Kota sepanjang 174,04 kilometer pada 2022.

Koridor jalan berbayar yang diwacanakan itu, di antaranya simpang TB Simatupang-Bundaran Hotel Indonesia, Kuningan, Harmoni-Cawang, Cawang-simpang Perintis Kemerdekaan, dan simpang Pramuka-Gunung Sahari.

Nantinya, penerapan jalan berbayar eletronik dilakukan bertahap. Sebagai tahap awal, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan lelang untuk pembangunan di simpang CSW, dekat Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) ASEAN hingga Bundaran HI sepanjang 6,7 kilometer.

Tarif memberatkan

Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Zulkifli, dalam focus group discussion “Percepatan Penerapan Jalan Berbayar Elektronik” di kanal YouTube Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) pada Rabu (15/12) mengatakan, tarif kendaraan yang melintas di jalan berbayar antara Rp5.000 hingga Rp19.900.

Namun, tarif itu berbeda dengan usulan DTKJ. Menurut Ketua Komisi Hukum dan Humas DTKJ, Sudaryatmo, tarif akan fluktuatif. Tarif tertinggi diberlakukan pada jam sibuk. Penentuan tarif ini bertujuan mengatur arus kendaraan agar tak menumpuk di jalan. Skema tersebut diklaim sama seperti yang diberlakukan di Singapura.

Sponsored

Kendaraan melintas di bawah ERP di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (11/9/2019). Foto Antara//Galih Pradipta

Rank-nya itu antara Rp15.000 sampai Rp25.000. Jadi, enggak ada tarif pasti,” ujar Sudaryatmo saat dihubungi, Senin (27/12).

Bagi Dodi, besaran tarif itu terbilang tinggi. Ia berhitung, jika tarif ditentukan Rp5.000 sekali melintas, maka dalam pergi-pulang selama 26 hari kerja ia bakal merogoh kocek sebesar Rp240.000 per bulan.

“Mending jalan tol, bebas macet. Lah ini, bisa jamin enggak bakal macet emang?” kata dia.

Dengan usulan tarif itu, Sudaryatmo mengakui tak bisa menjamin kenyamanan warga yang mengakses jalan berbayar. Untuk itu, ia menilai, strategi komunikasi menjadi tantangan dalam menerapkan kebijakan ini.

“DTKJ minta pada Pemprov DKI untuk melakukan komunikasi publik dari sekarang,” ujarnya.

“Komunikasi publik itu mencakup manfaatnya apa. Sama pesan ke publik bahwa dana dari JBE itu dikembalikan lagi ke transportasi.”

Demi mengakali agar pengeluarannya tak bengkak, Dodi berencana mencari jalan tikus atau menggunakan transportasi umum. Namun, ia tetap berharap Pemprov DKI meninjau ulang wacana itu.

“Banyak pekerja di Jakarta yang pasti enggak mampu bayar. Kalau bisa, enggak usah diterapin,” tutur Dodi.

Selain Dodi, Yogi Dwi Prasetyo pun merasa keberatan bila kebijakan jalan berbayar elektronik diterapkan. Pria berusia 26 tahun yang menjadi kurir daring itu kerap melintas ruas jalan yang akan ditetapkan sebagai jalan berbayar elektronik untuk mengantar barang.

Menurutnya, pemasukan yang didapat setiap hari, antara Rp150.000 hingga Rp200.000 digunakan untuk memenuhi kebutuhan, seperti makan, sewa kamar kos, dan servis sepeda motornya. Bila aturan itu jadi diberlakukan, Yogi mengaku terpaksa memotong sebagian kecil pemasukannya untuk mengakses jalan berbayar.

“Saya kan sering antar paket ke daerah pusat (Jakarta). Lumayan juga kalau sekali jalan bayar Rp5.000,” ujar Yogi, Senin (27/12).

Ia berharap, sepeda motor dapat dikecualikan dari aturan itu. “Banyak loh kendaraan roda dua itu. Apalagi sebagian besar ojek online atau masyarakat kurang mampu. Pasti berat buat kita,” tuturnya.

Kendati begitu, Sudaryatmo mengatakan, kendaraan roda dua belum pasti akan masuk ke dalam jenis kendaraan yang dikenakan tarif jalan berbayar. Ia menyebut, DTKJ bersama Dishub DKI Jakarta masih menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) terkait ERP. Menurut dia, perencanaan kebijakan yang sudah digagas sejak 2006 itu belum mencapai kesepakatan, terutama soal penentuan tarif dan jenis kendaraan.

“Yang jelas roda empat (akan diberlakukan). Roda dua masih debatable karena dalam (draf) perda itu masuk pengecualian,” ucap Sudaryatmo.

“Cuma memang ada kekhawatiran, kalau sepeda motor tidak diberlakukan, nanti orang akan beralih ke sepeda motor.”

Lebih lanjut, Sudaryatmo mengatakan, raperda akan mulai dibahas bersama DPRD DKI Jakarta tahun depan. Rencana yang tengah disusun itu, disebut bakal berubah bila ada revisi dari para anggota legislator di Balai Kota.

“Kalau (pembahasan) perdanya lancar, mestinya 2022 itu bisa mulai jalan. Entah itu lelang, desain, atau operasional,” tutur Sudaryatmo.

Pelaksanaan operasionalnya, kata Sudaryatmo akan dilakukan bertahap. Setidaknya ada 12 ruas jalan yang bakal dibuka pada tahap awal. DTKJ mengusulkan, ruas jalan yang dibuka harus sudah siap terhubung dengan angkutan umum, seperti TransJakarta, MRT, Lintas Raya Terpadu (LRT), atau commuterline.

“Tujuannya untuk memudahkan warga menjangkau kendaraan umum,” kata dia.

Dalam focus group discussion di kanal YouTube DTKJ, Zulkifli menyebut tujuan mulia penerapan jalan berbayar elektronik. Pertama, meningkatkan minat warga untuk beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.

Kedua, meningkatkan kualitas udara di Jakarta, sehingga polusi berkurang. Ketiga, akan terjadi paradigma baru dalam penindakan di jalan dari yang bersifat on the spot menjadi elektronik.

“Tahun depan, ada dua kebijakan yang sebenarnya menaungi secara komprehensif mengenai ERP,” kata Zulkifli.

Pertama, perda rencana induk transportasi Jabodetabek. Kedua, perda jalan berbayar.

“Lebih spesifik lagi, kita bicara mengenai kelembagaan, kriteria, jenis kendaraan, bentuk pendanaan, kerja sama, termasuk mitigasi risiko,” ujar Zulkifli.

Sebuah bus TransJakarta melintas di bawah papan informasi electronic road pricing (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (11/9/2019). Foto Antara/Galih Pradipta.

Perbaiki pelayanan angkutan umum

Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Anthony Winza Prabowo mengatakan, sebaiknya Pemprov DKI memperbaiki sistem jaringan dan pelayanan transportasi umum terlebih dahulu, sebelum memberlakukan jalan berbayar elektronik.

“Jika moda transportasi publik belum baik, lalu jalur jalanan dikenakan biaya tinggi, nanti yang diuntungkan hanya orang-orang kaya saja, yang mampu membayar JBE,” ujar Anthony, Selasa (28/12).

Ia menilai, kebijakan ini memang efektif memecah masalah kemacetan di Ibu Kota, bila jaringan dan pelayanan transportasi umum sudah diperbaiki dan merata. Anthony menyoroti LRT yang belum sama sekali terbangun dan rentetan kecelakaan yang melibatkan bus TransJakarta.

Ia khawatir, jika sistem jalan berbayar elektronik dipaksakan, mobilitas warga Jakarta akan terhambat. Hal ini bakal berimbas pada produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta dan penerimaan pajak di sektor lain yang tersumbat.

“Biaya transportasi juga cukup vital berkontribusi pada biaya produksi,” katanya.

“Jika ongkos transportasi naik akibat JBE, maka biaya produksi naik. Jika biaya produksi naik, maka harga jual barang dan jasa bisa naik. Akhirnya inflasi.”

Anthony menjelaskan, sebaik apa pun bentuk instrumen kebijakan publik, jika diimplementasikan di waktu yang salah, berakibat pada output yang juga salah.

Di samping harus membenahi pelayanan sistem transportasi publik, analis kebijakan transportasi dari Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan menyebut, Pemprov DKI perlu memperbaiki jaringan integrasi angkutan umum.

nfografik jalan berbayar elektronik. Alinea.id/Aisya Kurnia.

“Masih banyak akses (ke tempat transportasi publik) yang dijembatani oleh transportasi online. Nah, artinya ini kan masih belum efisien,” ujar Tigor saat dihubungi, Selasa (28/12).

Berkaca dari negara lain yang sudah menerapkan sistem jalan berbayar elektronik, seperti Singapura, Inggris, dan Swedia, Tigor setuju sistem itu bisa menjadi solusi masalah kemacetan di Jakarta. Aturan itu, sebut Tigor, dapat mengendalikan mobilitas kendaraan pribadi yang terbilang tinggi di Ibu Kota.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kendaraan pribadi terus mengalami peningkatan dari 2018 hingga 2020. Jumlah mobil penumpang pada 2018 ada 2.789.377 unit, pada 2019 meningkat menjadi 2.805.989 unit, dan pada 2020 menjadi 3.365.467 unit.

Sementara jumlah sepeda motor pada 2018 sebanyak 8.136.410 unit, meningkat pada 2019 menjadi 8.194.590 unit, dan pada 2020 menjadi 20.221.821 unit.

Selanjutnya, Tigor menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan analisis terhadap pergerakan warga Ibu Kota, sebelum memberlakukan jalan berbayar elektronik. Tujuannya, menentukan ruas jalan yang kerap mengalami kemacetan.

“Selain itu, lihat dulu angkutan publik di ruas jalan tersebut. Sudah mumpuni enggak?” ujar Tigor.

Berita Lainnya
×
tekid