sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sengkarut dana desa dan eksistensi ‘desa fiktif’

Kemenkeu menyebut, ada dana desa yang mengalir ke desa tak berpenduduk alias desa fiktif.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Senin, 18 Nov 2019 21:20 WIB
Sengkarut dana desa dan eksistensi ‘desa fiktif’

Awal bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di hadapan Komisi XI DPR mengatakan, muncul desa baru yang tidak berpenduduk hanya untuk mendapatkan dana desa. Desa ini kemudian diduga sebagai desa fiktif.

"Kita berharap dengan anggaran yang lebih tinggi seperti dana desa, DAK (dana alokasi khusus) bisa betul-betul dirasakan masyarakat karena ini anggaran di pemerintah daerah yang langsung ke masyarakat, langsung ke desa, langsung dalam bentuk pembangunan jalan, pasar, irigasi. Itu semuanya adalah anggaran dalam bentuk DAK fisik maupun dana desa," kata Sri Mulyani, seperti dikutip dari Antara, Jumat (4/10).

Alokasi dana desa terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2015 dana desa Rp20,67 triliun, 2016 sebesar Rp46,98 triliun, 2017 dan 2018 sebesar Rp60 triliun, 2019 dan 2020 sebesar Rp72 triliun. Dana itu untuk sekitar 74.900 desa di seluruh Indonesia.

"Kita sekarang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa untuk benar-benar mengidentifikasi beberapa yang diidentifikasi atau yang disinyalir bukan merupakan desa-desa yang legitimate untuk mendapatkan dana desa," ucap Sri di di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (14/11).

Sri mengatakan, ada beberapa kriteria yang menggambarkan sebuah desa tergolong desa fiktif. Menurut dia, indikator dasar yang merupakan ciri-ciri dari sebuah desa nonfiktif, yaitu harus memiliki minimal 5.000 penduduk untuk di Jawa dan 3.000 penduduk untuk di luar Jawa.

“Tapi tidak ada yang lebih kecil di bawah seribu,” katanya.

Berdasarkan laporan Pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), ada 75.436 desa di Indonesia. Dari jumlah tersebut, berdasarkan indeks pembangunan desa (IPD), ada 5.606 (7,43%) yang termasuk desa mandiri, 55.369 (73,40%) desa berkembang, dan 14.461 (19,17%) desa tertinggal.

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kedua kanan) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) serta Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2020 kepada Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/11). /Antara Foto.

Sponsored

Tak ada desa fiktif, hanya cacat hukum

Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Suhardi Buyung mengatakan, ia tak percaya ada desa fiktif yang menerima aliran dana desa. Ia berkilah, jika benar ada desa fiktif pasti ketahuan.

Menurutnya, penyaluran dana ke desa tak berpenghuni tak mungkin terjadi karena diajukan pemerintah daerah kabupaten kepada pemerintah pusat.

“Sehingga, secara administrasi, sebuah desa diawasi dan dikontrol oleh pemerintah di daerah,” ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Jumat (15/11). "Desa itu tidak bisa kita fiktifkan karena data sudah jelas, kalau ada desa tidak berpenghuni lantas siapa yang mengajukan desa ke atas?"

Suhardi merasa aneh. Kemunculan desa fiktif justru baru diusut saat ini. Padahal, dana desa sudah disalurkan sejak 2015. Ia mengaku, pihaknya beberapa kali juga terlibat dalam melakukan pengawasan. Menurut dia, pihaknya belum pernah menemukan satupun desa yang diduga fiktif.

"Kami juga melakukan pengawasan, kami menyampaikan kepada seluruh kepala desa supaya dana desa dijalankan sesuai dengan juklak dan juknisnya, jangan sampai tersenggol dengan hukum," katanya.

Di samping itu, Suhardi menyebut, pemerintah daerah sudah dilengkapi dengan perangkat kerja yang lengkap. Bila terdapat desa fiktif, maka dipastikan akan sangat mudah diketahui.

"Di situ kan ada camat, ada PMD (pemberdayaan masyarakat dan desa) kabupaten, PMD pusat, fasilitator desa, ada pendamping desa," ucap Suhardi. “Sekarang kalau fiktif yang terima siapa? Yang tanda tangan siapa? Sedangkan laporan itu kan harus menyertakan bukti berupa stampel dan tanda tangan.”

Ia mengklaim, selama lima tahun dana desa digulirkan, tak pernah ada hambatan. Kata dia, sangat mudah melacak desa fiktif. Sebab, jumlah desa sifatnya baku dan sudah pasti terdata di setiap pemerintahan daerah dan beberapa lembaga, seperti BPS dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

"Jadi, bilang Bu Sri Mulyani, panggil saja Ketua Apdesi untuk menangkap (oknum) desa fiktif," katanya.

Suhardi menyarankan, kementerian yang terkait mengurus desa, terutama Menteri Keuangan, agar tak membuat gaduh. Seharusnya, kata dia, bila terdapat dugaan penemuan desa fiktif, tidak dibuka ke publik terlebih dahulu.

“Tapi diusut secara internal dengan kementerian terkait untuk memastikan kebenarannya,” tuturnya.

Dua orang kepala desa mengumpulkan kunci mobil operasional kepala desa yang diparkir di halaman kantor Bupati Tasikmalaya, Bojong Koneng, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (7/11). Asosiasi Perangkat Desa (Apdesi) se-Kabupaten Tasikmalaya mengembalikan mobil operasionalnya sebagai aksi kekecewaannya terhadap pemerintah daerah lantaran tidak adanya bantuan hukum dan lambannya proses pencairan Alokasi Dana Desa (ADD) serta Dana Desa (DD) yang berdampak pada keterlambatan pembangunan di desa sehingga menjadi sasaran protes masyarakat. /Antara Foto.

Desa yang dianggap fiktif terdapat di Konawe, Sulawesi Tenggara. Namun, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nata Irawan mengatakan, empat desa di Konawe tidak fiktif.

Akan tetapi, tata kelola pemerintahannya tidak optimal karena cacat hukum. Pernyataan ini dilontarkan Nata, setelah diterjunkan tim investigasi ke sana.

“Hasil verifikasi kondisi riil di lapangan, baik secara historis dan sosiologis, dipastikan bahwa 56 desa tersebut ada,” kata Nata di Gedung Kemendagri, Jakarta, seperti rilis pers yang diterima Alinea.id, Senin (18/11).

Sebanyak 56 desa itu, kata Nata, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, jumlah desa di Konawe sebanyak 241.

Dua tahun kemudian, berdasarkan Permendagri Nomor 137 Tahun 2017, jumlah desa menjadi 297. Ada penambahan 56 desa. Dasar penambahan desa itu adalah surat Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 140/3188 tertanggal 10 Juli 2015, perihal rekomendasi kode wilayah desa di Kabupaten Konawe.

Tim gabungan Kemendagri terdiri dari Inspektorat Jenderal, Ditjen Bina Pemerintahan Desa, Ditjen Bina Administrasi Wilayah, dan Biro Hukum Setjen Kemendagri.

Namun, menurut Nata, timnya mendapatkan data dan informasi kalau penetapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe, tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.

Sebanyak 56 desa yang tercantum di dalam perda itu, secara yuridis dinyatakan cacat hukum. Oleh karenanya, diduga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Fakta yang didapat, ada 34 desa memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa, sedangkan 18 desa masih diperlukan pembenahan dari sisi administrasi dan kelembagaan, serta kelayakan sarana dan prasarana.

Sementara empat desa, yakni Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma dalam proses pendalaman hukum karena terdapat inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah.

Nata mengatakan, terkait anggaran, timnya mendapat data dan informasi empat desa itu sudah disalurkan dana desa sebesar Rp9,32 miliar. Meski begitu, baru sebesar Rp4,35 miliar yang sudah disalurkan dari rekening kas umum daerah (RKUD).

Tim pun menemukan, aktivitas pemerintahan desa tidak berjalan dengan baik. Sebab, kepala desa dan perangkat desa tidak mendapat penghasilan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, ada kesenjangan antara kepala desa dan perangkatnya terhadap penghasilan yang diterima oleh pendamping lokal desa, yang sebenarnya tak membantu dan tak selalu hadir di lapangan.

Nata mengatakan, sebagai solusi agar tidak terjadi hal serupa, pihaknya tengah mempersiapkan surat edaran terkait penataan desa. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Persoalan dana desa

Darmayanti bersama tiga orang anak yang belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari Dana Desa berada di pintu rumahnya di Desa Andobeu Jaya, Kecamatan Anggomoare, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (7/11). /Antara Foto.

Mantan Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kemendes PDTT Ahmad Erani Yustika mengatakan, selama dirinya menjabat pada 2015-2016, tidak pernah muncul persoalan desa fiktif.

Erani memaparkan, ada pembagian peran antara Kemendes PDTT, Kemendagri, dan Kemenkeu dalam mengurus desa. Kemendes PDTT, menurutnya, fokus pada pemanfaatkan dana desa dan penyediaan pendamping desa.

Sementara Kemendagri, sebutnya, konsentrasi pada pelatihan perangkat desa dan pelaporan keuangan desa, sedangkan Kemenkeu bertugas merumuskan formulasi alokasi dana desa dan penyalurannya. Penyaluran dana desa dilakukan Kemenkeu langsung ke rekening pemda, setelah itu disalurkan ke rekening desa.

"Meski banyak persoalan, namun pada tahun pertama dana desa (yang disalurkan secara bertahap pada Juli 2015) bisa terserap sekitar 85%. Itu prestasi spektakuler untuk sebuah program baru yang dijalankan secara masif. Pada saat itu, total dana desa sekitar Rp 20,6 triliun," kata Erani saat dihubungi, Senin (18/11).

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya itu pun menyebutkan, di awal penyaluran, memang ada sejumlah desa yang tidak menerima dana desa. Misalnya, Kota Batu, Jawa Timur.

"Pada dua tahun pertama, tidak mau menerima dana desa karena merasa desa-desa belum siap menjalankan," ujar mantan staf khusus presiden bidang ekonomi itu.

Menurutnya, beberapa desa kabupaten di Provinsi Papua saat itu juga belum bisa menerima dana desa karena belum melengkapi dokumen persyaratan.

"Jadi, lebih ke soal administratif," tuturnya.

Ia mengisahkan, selama menjabat sebagai Dirjen PPMD Kemendes PDTT paling tidak ada lima hal yang dilakukan. Pertama, melakukan sosialisasi masif ke seluruh kabupaten dan desa-desa, terkait pemanfaatan dana desa.

Kedua, mengaktifkan sekitar 10.000 pendamping desa mantan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk membantu mengawal pelaksanaan dana desa. Ketiga, melakukan pelatihan pendamping desa agar kompatibel dengan paradigma baru pembangunan desa. Keempat, menyusun kerangka kebijakan pembangunan desa.

“Kelima, membuat IDM (indeks desa membangun) sebagai peta status atau kondisi desa, dan memandu pemanfaatan dana desa pada masing-masing desa,” ujarnya.

Erani menuturkan, ia kerap menemukan kendala dalam mengelola perdesaan. Salah satu masalah yang dijumpainya adalah pengetahuan pemerintah daerah dan kapasitas perangkat desa terhadap program pemerintah pusat yang minim.

Erani mengungkapkan, hal itu wajar karena kebijakan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 baru pertama kali diterapkan.

"Persoalan utama program ini ialah tidak ada masa transisi, tetapi langsung dieksekusi. Kami berjibaku dengan dua kementerian lain untuk mengawal pembangunan dan dana desa," katanya.

Di samping itu, tantangan lainnya, belum semua desa bisa membuat dokumen rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) desa, rencana kerja pemerintah (RKP) desa, dan anggaran pendapatan dan belanja (APB) desa.

"Seluruhnya merupakan dokumen yang dipersyaratkan agar dana desa bisa dikucurkan," ucapnya.

Selain itu, pemda juga harus membuat beberapa perda. Misalnya, perda alokasi dana desa di masing-masing desa, serta aturan belanja barang dan jasa. Erani mengatakan, tidak semua pemda siap mengerjakan hal itu.

Menurut Erani, penyimpangan yang terjadi saat ia menjabat, lebih karena soal administratif.

“Misalnya laporan keuangan pemanfaatkan dana desa tidak sesuai dengan aturan karena pengetahuan yang terbatas,” ujarnya.

Sementara itu, menurut pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah, keberadaan desa yang diduga fiktif disebabkan karena lemahnya pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah.

Trubus melihat, pemerintah pusat pasif dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Padahal, untuk mengawal penyaluran dana desa seharusnya pemerintah proaktif melakukan pengecekan dan bukan hanya menerima laporan.

“Dengan begitu, dana desa dapat disalurkan dan digunakan secara tepat sasaran. Selama ini kan karena adanya otonomi daerah, seakan-akan dana desa ini jadi wewenang pemda sepenuhnya,” ucapnya saat dihubungi, Sabtu (16/11).

Trubus mengatakan, keberadaan desa sangat dinamis. Dalam perjalanannya, bukan tidak mungkin muncul desa-desa baru karena ada pemekaran wilayah dan beberapa hal lainnya.

“Dahulu di Sidoarjo misalnya, wilayah desa yang terdampak lumpur. Jadi, memang desanya sengaja ditinggalkan, atau di Merapi itu desa ditinggal karena letusan Gunung Merapi waktu itu, tapi nama desanya masih ada,” katanya.

Erani pun menyebut, jumlah desa yang tak sesuai adalah hal yang wajar. Sebab, jumlahnya terus mengalami perubahan setiap tahun karena pemekaran. Ia mengatakan, tahun pertama penerima dana desa sebanyak 74.073. Lalu, pada 2016 meningkat menjadi 74.754.

Infografik. Alinea.id/Oky Diaz.

“Urusan ini merupakan otoritas dari pemerintah daerah dan Kemendagri,” kata dia.

Terlebih lagi, lanjut Trubus, daerah di Konawe atau Papua. Di sana, menurutnya, penduduknya jarang, tetapi lahannya luas.

“Jadi, sangat rentan untuk dimanipulasi,” ujarnya.

Trubus menuturkan, hal ini juga disebabkan lemahnya koordinasi yang baik dan tumpang tindihnya kebijakan di antara tiga kementerian. Kemendagri mengurus administrasi desa dan pemerintahan. Sementara Kemendes PDTT mengurus soal pembangunan dan pemberdayaan sumber daya manusia.

"Kemenkeu hanya transfer, tapi Kemenkeu sendiri juga kurang cermat. Padahal dia punya wakil-wakilnya di daerah, jadi harusnya bisa lebih awal melakukan pengawasan," ujar dia.

Trubus menyebut, ke depan kebijakan soal perdesaan harus dipusatkan pada satu kementerian, yakni Kemendes PDTT. Akan tetapi, Kemendagri harus ikut mengawasi.

"Biar lebih efektif, kebijakan desa, seperti administrasi dan pembangunan desa diserahkan pada satu kementerian saja," kata Trubus.

Berita Lainnya
×
tekid