sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Simalakama program kompor induksi PLN

Program konversi kompor LPG ke kompor induksi yang digagas pemerintah dihentikan lantaran banjir kritik.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Jumat, 07 Okt 2022 12:39 WIB
Simalakama program kompor induksi PLN

Dua bulan menggunakan kompor induksi, Suyatmi langsung "jatuh cinta". Dibandingkan kompor berbahan bakar elpiji yang sebelumnya ia gunakan, menurut Suyatmi, kompor induksi jauh lebih efisien, hemat energi, dan aman.   

"Itu kemarin saya juga lupa ndak saya matikan, tapi sudah netral (otomatis). Alhamdulillah, enggak apa-apa," ucap perempuan berusia 50 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (6/10).

Suyatni tinggal di Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Ia mendapat satu unit kompor listrik dua tungku secara cuma-cuma dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), Agustus lalu. 

Saat ini, penggunaan kompor listrik memang tengah diuji coba PLN di Surakarta dan Denpasar, Bali. Di dua kota itu, PLN dilaporkan telah menyalurkan sekitar 2.000 unit kompor listrik berdaya 1.600 watt kepada warga.   

"Kalau yang dapat dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) seperti saya itu, saya terima. Tapi tidak semuanya menerima. Ada beberapa orang yang menolak," terang Suyatmi. 

Menurut Suyatmi, tak semua warga di kampungnya mau beralih menggunakan kompor induksi. Kebanyakan warga yang menolak menganti kompor gas, kata dia, takut bakal kelimpungan membayar biaya listrik bulanan karena penggunaan kompor induksi. 

Karena kebutuhan energinya cukup besar, warga harus menambah daya terlebih dahulu sebelum menggunakan kompor listrik. Suyatni sendiri harus menambah daya menjadi 1.300 volt ampere (VA). Sebelumnya, daya listrik di rumah dia hanya 900 VA. 

"Itu nanti VA-nya dinaikkan jadi 2.200, tapi banyak warga yang kurang paham karena VA-nya banyak, nanti bayar listriknya besar juga. Kenyataan saya beli Rp50 ribu (listrik token) waktu belum ada kompor (induksi) ini, Rp50 ribu itu beli dapatnya cuma 36 kWh. Setelah subsidinya berlaku, saya beli Rp50 ribu, dapatnya 75 (kWh)," ucap dia. 

Sponsored

Selain lebih hemat, Suyatmi mengaku lebih senang menggunakan kompor induksi lantaran lebih mudah dibersihkan. Durasi memasak juga bisa ditentukan menggunakan opsi temperatur berdasarkan watt, yakni 200, 400, 800, dan 1.000. 

"Tapi kalau mau cepat, pakainya yang 1.000 enggak apa-apa," kata ibu dua anak itu.

Kedua anak Suyatmi telah menikah dan merantau. Ia hanya tinggal bersama suami di rumah. Untuk keluarga kecil, Suyatmi merasa kompor induksi cocok digunakan. 

"Kalau rumahan (kompor listrik) itu cocok, tapi kalau untuk pedagang apa lagi untuk katering, ya, enggak cocok," katanya. 

Pengalaman serupa diutarakan Supeni Suwito, 26 tahun. Perempuan yang tinggal di Cempaka Putih, Jakarta itu sudah menggunakan kompor listrik sejak April 2022. Sudah ada tiga jenis kompor listrik yang pernah ia gunakan. Tak seperti Suytami, Supeni tak menggunakan kompor gratis dari PLN. 

Dibandingkan kompor LPG, Peni, sapaan Supeni, membenarkan kompor listrik punya beragam keunggulan. Semakin mahal kompornya, semakin canggih fiturnya. Ia mencontohkon pengalamannya memasak daging menggunakan salah satu kompor induksi berteknologi tinggi yang ia punya. 

“Misalnya, masak daging frozen. Kalau pakai kompor listrik biasa itu masih mengeluarkan bau menyengat. Misal, daging oseng, kadang lengket juga bisa jadi,” ucap Peni kepada Alinea.id, Kamis (6/10).

Kompor listrik, kata Peni, hanya bikin ribet lantaran tak semua peralatan memasak bisa "klop" dengan kompor jennis itu. Karena tungkunya datar, hanya peralatan memasak tertentu yang bisa nyambung dengan kompor listrik. 

“Saya pernah iseng pakai alat masak lain, mau coba, ternyata enggak semua cocok buat kompor listrik. Terus saya browsing di Google, (ternyata) kalau misalkan (wajan) menempel dengan magnet itu, si alat masaknya pasti cocok di kompor listrik,” terang Peni.

Saat ini, program konversi kompor induksi ke kompor listrik tengah dibekukan. Salah satu alasannnya ialah lantaran ramainya kritik publik soal ketidaksesuaian spesifikasi kompor listrik dengan jenis masakan Indonesia. Penggunaan kompor listrik disebut bakal mengubah rasa masakan-masakan khas Indonesia. 

Berbasis pengalamannya sebagai pengguna kompor listrik, Peni membantah anggapan itu. Menurut dia, tak ada perubahan rasa masakan saat dimasak menggunakan kompor listrik dan kompor elpiji. 

“Saya enggak tahu itu hoaks atau enggak, (katanya) ada perbedaan (rasa masak di) kompor listrik sama kompor gas. Nyatanya saya masak opor enggak ada perubahan dengan bahan dan kualitas yang sama. Mungkin ada, tapi enggak siginifikan," ucap dia. 

Perbedaan lain yang dialami Peni saat menggunakan kompor induksi adalah durasi masak yang lebih cepat dibandingkan dengan kompor gas. Menurut dia, memasak dengan kompor listrik lebih cepat karena ada fitur pengaturan durasi memasak. 

Akan tetapi, teknologi tersebut tidak selalu ada di setiap kompor induksi. “Kemudian antara jenis dan merk kompor listrik, kalau kompor listrik yang mahal itu enggak akan mengeluarkan bau gosong,” kata Peni.  

Peni meyakini kompor induksi juga mampu menghemat listrik. Namun, itu sangat tergantung pada intensitas pemakaiannya sehari-hari.

“Kenapa? Karena ada setting waktunya juga. Kalau (kompor) listrik ada fitur yang bisa membantu untuk durasi, tergantung yang mau dimasak. Jadi, enggak mengira-ngira waktunya. Kalau (kompor) gas kan mengira-ngira,” jelasnya. 

Cerita berbeda disampaikan Diaz Khisnayoga, 26 tahun. Pegawai salah satu perusahaan swasta itu mengaku jarang menggunakan kompor induksi karena daya listrik yang digunakan besar. Ia punya pengalaman mati listrik lantaran menggunakan kompor induksi.

Berbeda dengan yang diutarakan Peni, menurut dia, memasak dengan menggunakan kompor listrik juga tergolong "lelet". 

"Pas tengah malam pernah terpaksa masak mie instan, itu matangnya lama banget. Beda kalau pakai kompor gas,” kata Diaz kepada Alinea.id, Rabu (5/10). 

Diaz mengatakan kompor induksi hanya dijadikan sebagai kompor cadangan di rumahnya di Tanggerang Selatan, Banten. Sehari-hari, ia tetap menggunakan kompor berbahan bakar elpiji.

Ilustrasi pengguna kompor listrik. Alinea.id/Firgie Saputra

Hitung-hitungan kompor induksi 

Program konversi kompor LPG ke kompor induksi didorong PLN sejak awal 2022. Peralihan ke kompor induksi tersebut diharapkan dapat mengurangi penggunaan LPG yang saat ini pemenuhannya masih mengandalkan impor. Namun, program itu dihentikan lantaran banjir kritik. 

Selain dianggap mengubah cita rasa masakan, peralihan ke kompor listrik juga dinilai bakal membebani masyarakat. Pasalnya, masyarakat harus menambah daya di rumah masing-masing supaya bisa menggunakan kompor tersebut. 

Meskipun program konversi dihentikan, uji coba di Surakarta dan Denpasar jalan terus. Menurut Direktur PT PLN Darmawan Prasodjo, hasil evaluasi dari uji coba di dua kota itu bakal menjadi dasar pertimbangan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan selanjutnya terkait konversi kompor LPG ke kompor induksi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai wajar jika publik waswas dengan program konversi kompor LPG yang diwacanakan pemerintah. Pasalnya, daya 450 VA tidak dapat meng-cover kebutuhan daya kompor listrik. 

“Kalau harga listriknya enggak disubsidi, memang jadinya lebih mahal dibandingkan dengan harga LPG 3 kilogram. Makanya, enggak apa-apa dayanya dinaikkan, misalnya jadi 2.200 (VA) karena kompor listriknya 1.800 (watt), tapi tarifnya itu tetap disubsidi dengan menggunakan ID pelanggan,” ujar Fabby kepada Alinea.id, Rabu (5/10). 

Menurut Fabby, cara tersebut sebetulnya sudah pernah dilakukan oleh PLN terhadap kelompok masyarakat pengguna daya listrik 900 VA. Di kelompok daya tersebut, kata dia, ada harga per kWh khusus subsidi dan harga yang nonsubsidi. 

"Yang 2.200 VA subsidi itu yang dapat program kompor listrik. Itu kan sasarannya orang miskin. Kan berarti enggak ada masalah naikin dayanya, ID pelanggannya saja yang di-tag. Kan 900 VA bisa begitu, kenapa daya yang lain enggak bisa? Kan aneh?" cetus dia. 

Berdasarkan beberapa penelitian, Fabby mengungkapkan, memasak pakai kompor listrik lebih hemat energi. Ia mencontohkan memasak satu liter air yang jauh lebih cepat mendidih menggunakan kompor induksi ketimbang kompor gas. 

“Kompor listrik itu lebih efisien karena dia mengubah listrik jadi panasnya itu efisiensinya kira-kira 75%-80%. Sementara efisiensi kompor LPG, itu efisiensinya 45-48%,” terang dia. 

Ia berharap program konversi bakal jalan terus. Jika rencana konversi dan targetnya tercapai, menurut Fabby, akan ada banyak manfaat bagi pemerintah. Selain mengurangi subsidi LPG, permintaan listrik dari PLN juga bakal naik.

Publik pengguna kompor induksi, kata Fabby, juga terbantu karena bisa mengeluarkan biaya lebih murah apabila memasaknya menggunakan listrik yang disubsidi. 

“Kan program itu untuk tahun 2023 dan anggarannya sedang dibahas bersama DPR. Ketika orang bilang, kan bukan program hari ini, yang sekarang berlangsung itu uji cobanya PLN di Bali dan Jawa Tengah itu," kata dia. 

Berbasis Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), pemerintah menargetkan 19 juta pengguna kompor induksi pada 2030. Rinciannya, sebanyak 1 juta pengguna di tahun 2021 dan 2 juta pengguna setiap tahunnya mulai tahun 2022.

Ilustrasi penerima kompor induksi PT PLN. /Foto dok. PT PLN

Kurangi beban impor

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengapresiasi langkah pemerintah meneruskan uji coba kompor induksi di sejumlah daerah. Menurut dia, program PLN itu ramai dikritik lantaran kurang sosialisasi. 

“Nanti kan dari evaluasi bisa dilihat seberapa lebih menguntungkan bagi negara, seberapa menguntungkan bagi masyarakat. Maka nanti bisa menjadi salah satu indikator untuk pengembangan program selanjutnya seperti apa,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (5/10). 

Secara hitung-hitungan, Mamit menjelaskan, keuntungan konversi ke kompor induksi bisa mengurangi beban impor. Saat ini sekitar 80% LPG kebutuhan dalam negeri bersumber dari impor. 

“Terus harganya juga fluktuatif, sangat tinggi, mengikuti harga minyak dunia,” ucapnya. 

Pengalihan ke kompor listrik, kata Mamit, juga bisa mengurangi subsidi dan memperkuat ketahanan energi nasional. Mamit berpendapat demikian karena energi listrik yang dihasilkan Indonesia sumber utamanya berasal dari batubara. 

“Batubara masih cukup mampu di dalam negeri. Jadi, lebih tahan energi kita dan lebih mandiri karena tidak mengandalkan impor,” katanya. 

Terkait kekurangan kompor induksi, Mamit berpendapat, itu hanya terletak dari peralatan memasaknya berbeda dengan alat masak kompor gas. 

"Akan tetapi, jika rencana konversi pemerintah disertai peralatan memasak, maka seharusnya kekurangan tersebut tak menjadi soal. Kedua, kalau nanti, misalnya, listriknya mati, itu bagaimana? Kan perlu ada back-up,” ucap Mamit. 

Berbasis hitung-hitungannya, menurut Mamit, penggunaan kompor induksi jauh lebih murah jika dibandingkan dengan kompor yang menggunakan gas 12 kilogram. Akan tetapi, hal ini sangat tergantung pada intensitas pemakaian. 

Namun demikian, Mamit mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan pengguna kompor induksi tak jauh berbeda jika dibandingkan dengan pengguna kompor gas 3 kilogram di rumah tangga dengan daya 900 VA dan tarif listrik subsidi. 

Perhitungan ini, kata dia, berlaku apabila dalam sebulan menggunakan tiga tabung dengan asumsi harga gas 3 kilogram per tabung Rp20 ribu. "Perbandingannya imbang dengan penggunaan kompor induksi," jelas dia. 

Berita Lainnya
×
tekid