sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tantangan pemuda penggerak desa: Dipandang sebelah mata, tak dapat dana desa

Para pemuda desa resah karena dana desa yang mengalir dari pusat mayoritas hanya dipakai sebagai pembangunan fisik.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 04 Jan 2022 06:28 WIB
Tantangan pemuda penggerak desa: Dipandang sebelah mata, tak dapat dana desa

Buku agenda rencana pembentukan beberapa unit usaha desa menjadi pegangan Joko Ratmono dalam lima bulan belakangan. Pemuda Desa Labuhan Ratu VI, Lampung itu menyebut tiga agenda besar desanya, yakni membangun pasar tani, pasar ternak, dan merancang paket wisata safari tunggu gajah.

Joko mengatakan, tiga agenda besar tadi merupakan gagasan para pemuda yang sudah muak karena di Desa Labuhan Ratu VI terlalu menyasar pembangunan fisik.

“Seperti pembangunan jalan, selokan, dan lain sebagainya. Ide kami tidak tersalurkan,” ujar Joko saat dihubungi Alinea.id, Senin (27/12).

Gagasan itu muncul dari hasil rembuk para pemuda setelah melihat banyak warga desa yang kesulitan ekonomi imbas pandemi Covid-19. Ide mendirikan pasar misalnya, dipilih karena relevan memantik perputaran uang.

"Selain itu, kami berpikir banyak komoditas desa yang tidak bisa terjual karena tidak ada yang menyerap. Akhirnya kami merasa cocok buat pasar," ucap Joko.

Usaha para penggerak desa

Semula warga memandang remeh ide para pemuda untuk membuat pasar. Lantas Joko dan teman-temannya mencoba meyakini dengan menggelar pasar malam dan pasar rakyat.

“Warga awalnya enggak mau. Kami modalin Rp100.000 buat dagang. Pembeli kita cariin, mulai dari komunitas sepeda dan komunitas senam,” tuturnya.

Sponsored

Setelah merasakan keuntungan dari kegiatan pasar yang digelar, warga perlahan sadar nilai positif keberadaan pasar. "Warga malah minta diadakan lagi pasar, supaya mereka bisa berjualan," kata Joko.

 Petani membajak sawah menggunakan traktor tangan di Desa Samahani, Kecamatan Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Sabtu (2/5/2020). Foto Antara/Ampelsaj.

Melihat antusiasme warga, Joko dan teman-temannya mulai menghitung dana untuk membangun pasar permanen. Sedangkan ide wisata safari tunggu gajah, kata Joko, timbul dari pengalaman warga yang lahannya kerap dirusak gajah. Letak Desa Labuhan Ratu VI memang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Way Kambas.

“Mau kami kelola sebagai daya tarik wisata,” kata dia.

Konsep safari tunggu gajah bakal melibatkan satgas gajah yang telah dibentuk desa khusus menangani gajah yang “tersesat”. Nantinya, wisatawan bisa melihat gajah di alam liar menggunakan mobil, didampingi satgas gajah.

Gagasan itu muncul pula lantaran banyak warga dari luar desa yang datang jika mendengar kabar gajah masuk permukiman. Joko menyadari, untuk mewujudkan semua ide itu tak bisa dilakukan dengan cepat. Sebab, agak sulit mengubah pola pikir warga yang cenderung ingin hasil instan. Perangkat desa pun menganggap remeh gagasan para pemuda.

“Kami sudah beberapa kali menyampaikan, agar ide kami masuk ke dalam rencana pembangunan desa,” ujar dia.

“Tapi, selalu dilihat, ‘ah paling enggak akan jadi’. Akhirnya kerja-kerja yang kami lakukan belum tersentuh dana desa. Padahal sebagian sudah jalan.”

Sejauh ini, kata dia, segala pembiayaan masih mengandalkan iuran dari pemuda. “Kami sadar, desa kami harus punya sumber pendapatan lain ke depan agar tidak terpuruk berkepanjangan,” ucapnya.

Di desa lain, Wasis Wardhana—seorang pemuda Desa Karang Nangka, Banyumas, Jawa Tengah—punya keresahan soal ketahanan pangan usai melihat warga desanya antre bantuan sembako dari pemerintah. Mentalitas warga desa itu, di mata Wasis, sangat itonis.

“Padahal desa saya 60% lebih adalah lahan pertanian. Pekarangan bisa menjadi modal dasar membangun ketahanan pangan,” kata Wasis, Senin (27/12).

“Namun, kami krisis penggarap karena usia produktif desa malah keluar desa dan tak punya pemahaman dalam mengelola lahan.”

Arah pembangunan desa yang terlalu bertumpu pada pembangunan fisik, disebut Wasis, membuat kesejahteraan warga luput dari rencana pembangunan desa. Kepala desa yang tak cakap menyusun rencana pembangunan desa, kata Wasis, jadi biang keladi lain pembangunan tak sejalan dengan kebutuhan warga.

"Dari dulu apa pun visinya, nomenklatur pembanguan ya munculnya pengerasan jalan, paving gang, pembangunan saluran aspalisasi, dan rehab alun-alun," kata Wasis.

"Masyarakat tidak memiliki ruang untuk mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya kepada pemerintah desa."

Perlahan, Wasis melakukan gebrakan menyadarkan warga supaya aktif terlibat merancang pembangunan desa. Wasis merangkul para pemuda yang punya hasrat tinggi membangun desa. Namun, terlebih dahulu ia membangun kepercayaan diri para pemuda yang kerap dipandang sebelah mata karena pendidikannya rendah.

“Lulusannya paling SD atau SMP. Profesinya tukang ngarit, tukang angon, jualan pulsa, dan pembantu rumah tangga,” ucapnya.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar dalam peringatan puncak Hari Anak 2021, Jumat (23/7/2021). Foto kemendesa.go.id.

Setelah dilibatkan dalam banyak kegiatan sesuai keahlian masing-masing, para pemuda yang dirangkul Wasis tumbuh kepercayaan dirinya. Mereka pun mulai berani mengemukakan pendapat. Sejak itu, perangkat desa tak bisa seenaknya merancang pembangunan desa, apalagi bermain dengan dana desa.

“Sebab, masyarakat sudah punya kesadaran ambil bagian dalam pembangunan,” ujarnya.

Perjuangan beberapa tahun akhirnya membuahkan hasil berupa peraturan desa, yang mencerminkan kepentingan warga. Lalu, muncul wisata ketahanan pangan yang dirancang sebagai pemasaran produk desa.

"Serta hidupnya sanggar budaya dan kesenian desa karena adanya manajemen kelola dan dukungan pembiayaan dari APBDes,” katanya.

“Dalam bidang kesehatan, penanganan Covid-19, menjadi desa yang lolos STBM (sanitasi total berbasis masyarakat), dan fasilitas kesehatan dari balita hingga lansia.”

Di dalam peraturan desa pun termuat masalah lingkungan, yang menjamin kelompok nelayan sungai, lalu penyertaan modal yang memberi jaminan usaha BUMDes. Teranyar, Wasis menyebut, desanya tengah sibuk membangun beragam destinasi wisata, seperti wisata edukasi ketahanan pangan dan susur sungai.

Paling tidak, dari destinasi wisata yang dibangun, ia menargetkan pemasukan Rp10 juta per hari bagi BUMDes. Kini, ia pun sedang merancang kriteria pertumbuhan ekonomi desa untuk mengukur kesejahteraan masyarakat.

Upaya mendongkrak kesejahteraan warga desa juga tengah diperjuangkan seorang penggerak pemuda di Desa Dagan, Purbalingga, Jawa Tengah bernama Wahyu Priyo Anggono. Untuk menggerakkan perekonomian di desanya yang terpuruk karena pandemi, Wahyu kini sedang berusaha membuka perkebunan anggur. Sudah setahun ini Wahyu mengembangkan bibit anggur sebagai komoditas unggulan desanya.

“Rencananya, kalau kebun anggur sudah jadi, kami mau buat destinasi wisata juga,” ujar Wahyu, Senin (27/12).

Ide membuat perkebunan anggur tercetus usai gagal mencoba budidaya nanas dan melon. Meski belum menunjukkan hasil panen yang memuaskan, Wahyu optimis kebun anggur di desanya bakal meningkatkan taraf ekonomi warga.

“Pasar anggur di Purbalingga lumayan bagus,” katanya.

"Kami juga lagi berupaya membuat produk olahan anggur supaya punya nilai jual, kalau wisata jalan lebih bagus."

Problem yang sama dialami Wahyu. Perangkat desa belum menyambut baik ide kebun anggur dan dana desa masih fokus untuk pembangunan fisik. Wahyu menyebut, sejauh ini modal membuat perkebunan anggur masih berasal dari dana patungan.

Peran penting para pemuda desa

Menanggapi sulitnya pemuda penggerak desa memanfaatkan dana desa, Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan (PDP) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito mengatakan, dana desa tak boleh digunakan secara egois oleh perangkat desa dan harus melibatkan seluruh masyarakat.

Sugito menyebut, Kemendes PDTT sudah membuat aturan kebijakan pemanfaatan dana desa agar pembangunan sesuai kepentingan warga, seperti Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.

“Kemudian Permendes (PDTT) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa,” katanya, Rabu (29/12).

“Secara formulasi kebijakan semua warga punya hak dan harus melibatkan seluruh masyarakat."

Sugito pun mengatakan, Kemendes PDTT sudah berupaya agar penggunaan dana desa tidak dilandaskan pada ego perangkat desa, dengan membuat mekanisme pengawasan di tingkat kabupaten melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) serta menerjunkan pendamping desa.

Kemendes PDTT, sebut Sugito, sebenarnya juga sudah membuat skala prioritas penggunaan dana desa untuk pemulihan ekonomi, seperti tertera pada Permendes PDTT Nomor 13 Tahun 2020 dan Permendes PDTT Nomor 7 Tahun 2021.

“Dalam peraturan itu, fokus pada pemulihan ekonomi nasional (imbas pandemi) dan penanganan bencana alam,” ujar Sugito.

Sugito mengakui, peran pemuda penggerak desa sangat dibutuhkan untuk menemukan dan menggali potensi desa yang bisa dijadikan sumber pendapatan. Kata dia, ide para aktivis desa itu diperlukan agar dana desa tak dianggap sekadar uang transfer dari pemerintah pusat ke desa.

Warga menerima bantuan langsung tunai dana desa (BLT-DD) di Balai Desa Tanjungkarang, Jati, Kudus, Jawa Tengah, Senin (18/5/2020). Foto Antara/Yusuf Nugroho.

Staf pengajar di Departemen Sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Sudarso melihat, peran pemuda desa yang berupaya menggali sumber pendapatan baru di desanya adalah sinyal positif bagi pembangunan desa.

“Tidak mudah menyelesaikan masalah di perdesaan,” katanya, Rabu (29/12).

“Selama Orde Baru, menitikberatkan pada pertumbuhan desa itu ditinggal. Desa hanya diopeni (diurus) dalam konteks swasembada beras saja.”

Di mata Sudarso, peran pemuda sebagai motor pembangunan desa bisa sedikit menggerus cara usang desa yang cenderung melihat dana desa dari pemerintah sebagai bantuan, bukan stimulasi pembangunan.

"Bila pemuda itu masuk ke BUMDes, dia bisa jadi alternatif di luar sektor-sektor mainstream perdesaan,” ucapnya.

“Semisal, bagaimana mengelola tidak hanya beras. Apa alternatif lain dan tidak dijual mentah, tapi dikelola untuk memperoleh nilai tambah."

Sudarso membenarkan bila selama ini banyak kepala desa yang hanya menggunakan dana desa untuk pembangunan fisik karena lebih mudah pertanggung jawabannya ketimbang program membangun sumber daya manusia. Atas dasar itu, ia merasa wajar jika sejauh ini banyak desa yang belum maju, meski sudah diguyur dana desa setiap tahun.

Kendati demikian, Sudarso masih pesimis banyak pemuda desa yang mampu konsisten mengawal dana desa di luar perangkat desa. Kasus yang mayoritas terjadi, katanya, terkadang mereka hanya menjadikan agendanya sebagai proyek untuk mendapat keuntungan semata.

"Jangan sampai anak-anak muda itu pragmatis. Gerakannya harus sustainable," kata Sudarso.

Berita Lainnya
×
tekid