sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terjadi 4 pelanggaran HAM pada kasus Brigadir J

Komnas HAM menyebut, pembunuhan Brigadir Yosua atau Brigadir J dikategorikan sebagai tindakan extrajudicial killing.

Gempita Surya
Gempita Surya Kamis, 01 Sep 2022 19:52 WIB
Terjadi 4 pelanggaran HAM pada kasus Brigadir J

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut, peristiwa pembunuhan Brigadir Yosua atau Brigadir J dikategorikan sebagai tindakan extrajudicial killing. Pembunuhan terjadi dengan perencanaan di rumah pribadi bekas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo (FS), di Jalan Saguling III, Jakarta Selatan.

"Pembunuhan Brigadir J merupakan extrajudicial killing atau pembunuhan terhadap seseorang tanpa proses peradilan atau di luar proses hukum dan merupakan pelanggaran terhadap hak yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam konferensi pers, Kamis (1/9).

Berdasarkan konstruksi peristiwa dan temuan faktual dalam perkara ini, Beka mengatakan, pembunuhan terhadap Brigadir J memiliki latar belakang adanya dugaan kekerasan seksual. Namun, peristiwa pembunuhan yang terjadi tidak dapat dijelaskan secara detail karena terdapat banyak hambatan, seperti adanya obstruction of justice oleh berbagai pihak. 

"Kalau kita melihat rekonstruksi kemarin, itu kita benar-benar membutuhkan waktu dan teliti, apalagi kemudian polisi selalu bilang harus scientific crime investigation, apalagi TKP-nya juga sudah dirusak. Jadi, ini yang kemudian menghambat penjelasan-penjelasan detail dan ini harus ditunggu di pengadilan," ujarnya.

Beka menambahkan, terdapat 4 poin pelanggaran HAM yang dilaporkan Komnas HAM dalam perkara ini. Keempat poin tersebut meliputi hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, obstruction of justice, dan hak anak.

Menurutnya, pembunuhan terhadap Brigadir J melanggar hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Adapun untuk pelanggaran hak memperoleh keadilan tidak sejalan dengan Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999.

"Brigadir J yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap saudari PC (Putri Candrawathi), telah 'dieksekusi' tanpa melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan seterusnya (fair trial). Selain itu, terhadap saudari PC, terhambat kebebasanya untuk melaporkan kejadian dugaan kekerasan seksual yang dialaminya ke kepolisian tanpa intervensi siapa pun," tutur Beka.

Kemudian, berdasarkan fakta yang ditemukan, terdapat tindakan-tindakan yang diduga merupakan obstruction of justice. Beka mengatakan, tindakan tersebut di antaranya sengaja menyembunyikan dan/atau melenyapkan barang bukti sebelum atau sesudah proses hukum serta dengan sengaja mengaburkan fakta peristiwa.

Sponsored

"Tindakan obstruction of justice tersebut berimplikasi pemenuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang merupakan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam hukum nasional maupun internasional," paparnya.

Beka melanjutkan, terjadi pelanggaran, khususnya hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis atau mental, terhadap anak-anak dari pasangan Irjen Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi akibat dari peristiwa kematian Brigadir J. Padahal, anak-anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik maupun mental sebagaimana mandat Pasal 52 dan 58 UU HAM dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

"Kita mendapat keterangan bahwa anak-anak Ferdy Sambo dan PC mendapat perundungan ancaman cyber bullying, yang kemudian menyerang akun sosmed yang bersangkutan dan tentu saja menjadi concern bersama supaya anak-anak itu bisa bertumbuh kembang dengan baik," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid