sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Vonis pengadilan terhadap koruptor relatif ringan

ICW memantau putusan pengadilan tingkat pertama di tipikor, banding di pengadilan tinggi, kasasi maupun upaya peninjauan kembali di MA

Robi Ardianto
Robi Ardianto Jumat, 04 Mei 2018 11:12 WIB
Vonis pengadilan terhadap koruptor relatif ringan

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2017, rata-rata vonis pengadilan terhadap koruptor, hanya dua tahun, dua bulan saja atau tergolong dalam kategori ringan. 

Sepanjang 2017, ICW mencatat total kasus korupsi yang ditangani KPK dan Kejagung sebanyak 1.249 perkara dengan 1.381 terdakwa.  Dari jumlah itu, pada perkara yang ditangani KPK, sebanyak 60% divonis ringan atau 1-4 tahun, 33,33% divonis sedang (lebih dari 4 tahun-10 tahun) dan berat (lebih dari 10 tahun) 1,96%.  Adapun vonis bebas dan lepas masing-masing 0% dan tidak teridentifikasi 3,92%. 

Sementara pada perkara yang ditangani Kejagung, 82,40% divonis ringan, sedang 11,20%, bebas 2,46%, lepas 0,4%, tidak teridentifikasi 0,82%, dan di bawah pidana minimal 2,56%. Adapun N.O atau cacat formil mencapai 0,10%. 

Namun, ada perbedaan tajam antara jumlah vonis ringan dan vonis sedang yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi. Dari keseluruhan perkara yang ditangani, rata-rata vonis pengadilan yang penuntutannya dilakukan KPK adalah empat tahun. Sementara jaksa pada Kejagung rata-rata menuntut terdakwa koruptor selama dua tahun, satu bulan. Dengan demikian, rata-rata vonis tiap pengadilan tidak lebih tinggi dari dua tahun, dua bulan.

ICW memantau putusan pengadilan tingkat pertama di tingkat tipikor, banding di pengadilan tinggi, kasasi maupun upaya peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Kemudian, ICW membaginya menjadi tiga kategori, yaitu kategori ringan yang hukumannya dalam rentan 1-4 tahun. Kategori sedang, dari 4-10 tahun. Sedangkan kategori berat yaitu yang dijatuhkan hakim tipikor lebih dari 10 tahun. 

Peneliti ICW, Lalola Easter, mengatakan putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi sepanjang 2017 masih sangat mengecewakan. Begitupula dengan vonis perkara korupsi pada tahun sebelumnya. 

Sebagai perbandingan, pada 2015 sebanyak 392 terdakwa divonis ringan. Kemudian pada 2016, 479 terdakwa mendapatkan divonis ringan. 

Hal ini dapat dipengaruhi juga oleh penggunaan pasal yang didakwakan jaksa yaitu, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Di mana, pidana minimal yang terdapat pada kedua pasal tersebut adalah empat tahun dan satu tahun.

Sponsored

"Ringannya keputusan pidana penjara ini sangat disayangkan, terpidana korupsi tidak akan mengalami efek jera yang diharapkan. Selain itu, upaya penjeraan melalui denda maupun pidana tambahan uang pengganti juga tidak maksimal. Hal ini diperburuk dengan minimnya upaya pemiskinan terhadap koruptor berupa penggunaan pasal pencucian uang untuk memaksimalisasi pengembalian aset dari tindak pidana korupsi," katanya di sekertariat ICW, Kamis (3/5).

Kendati begitu, ICW mengakui, dari 1381 terdakwa, empat terdakwa yang dituntut menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Yaitu, Joresmin Nuryadin pada perkara korupsi Pembangunan Jalan Hotmiks Kabupaten Seluma tahun 2011 (8/Pid.Sus-TPK/2017/PT BGL). M Rozali Djafri (6/Pid.Sus-TPK/2017/PT BGL) pada perkara Korupsi Pengadaan Lahan MAN 2 Bengkulu. Christopher O Dewabrata (10/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Bgl) pada perkara korupsi proyek  tanggul uruk Teluk Radang. Serta Sunoto pada kasus Korupsi dana Rumah Sakit Bhayangkara (8/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Bgl). 

Di sisi lain, ada masalah yang serius terkait standar bagi jaksa penuntut maupun bagi hakim dalam memutuskan perkara. Akibatnya, sebuah keputusan cenderung subjektif. Terlihat dari alasan yang meringankan, seperti terdakwa bersifat kooperatif, masih punya tanggungan,  berumur muda.  Akan tetapi disisi lain, terdakwa yang umurnya sudah tua pula dianggap sebagai alasan yang meringankan. 

Sedangkan, hal-hal yang sifatnya lebih terukur dan objektif seperti kerugian negara, latar belakang profesi, peran dari orang yang memiliki keterkaitan dengan terdakwa, tidak diperhatikan. Apalagi menjadi alasan yang memberatkan.

Selanjutny, minimnya pidana tambahan uang pengganti yang dibebankan terhadap koruptor juga menjadi catatan tersendiri dari ICW. 

Pada 2017, jumlah kerugian keuangan negara yang berhasil diidentifikasi dari terdakwa yang diadili sebesar Rp 29,419 triliun. Tetapi, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dibebankan terhadap terdakwa hanya Rp1,446 triliun atau sebesar 4,91% kerugian negara.

Adanya ketimpangan jumlah ini, patut disayangkan. Padahal pidana tambahan uang pengganti untuk perkara yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, dapat memaksimalisasi upaya pengembalian aset dan kerugian negara. Akan tetapi, belum tercermin dari total pidana tambahan uang pengganti dalam putusan perkara korupsi sepanjang 2017.

Berita Lainnya
×
tekid