sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yang terjadi jika pandemi tak juga berakhir 

PDB hingga ribuan triliun rupiah potensial hilang. Angka kriminalitas juga bakal naik.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 05 Mei 2020 18:30 WIB
Yang terjadi jika pandemi tak juga berakhir 

Sejak DKI Jakarta memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran virus Covid-19, Mira tak lagi murah senyum. Kepada para pengunjung salon kecantikannya, perempuan berusia 31 tahun itu juga hanya sesekali bersendau gurau. 

"Uang semakin menipis. Sewa tempat (salon) ini juga tak murah," kata Mira mengisahkan dampak PSBB terhadap usahanya saat berbincang dengan Alinea.id di salonnya di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, Jumat (1/5) pagi.

Sebelum PSBB berlaku, biasanya salon Mira ramai pengunjung. Sehari, ia mengaku bisa meraup keuntungan bersih hingga Rp500 ribu. Namun, sejak PSBB diketok pada 10 Maret, Mira harus menelan pil pahit. 

Perlahan-lahan, jumlah pengunjung ke salonnya terus surut. Agar tidak terus menangguk rugi, Mira pun terpaksa merumahkan tiga karyawannya pada pertengahan Maret lalu.  

Nasib tak jauh berbeda dialami Desy Rahmawati yang sehari-hari bekerja sebagai pengasuh anak di sebuah unit apartemen di Jakarta Barat. Perempuan yang kini genap 40 tahun itu menganggur karena bosnya sedang tak butuh jasa dia. 

"Kata bos, enggak usah kerja dulu. Nanti dipanggil lagi kalau udah normal. Ya, enggak tau. Mungkin karena sekarang juga pada kerja di rumah. Jadi, bisa sekalian urus anak," kata Desy kepada Alinea.id, Minggu (3/5) lalu.

Desy berstatus sebagai orangtua tunggal dan memiliki tiga anak. Selain dari pekerjaannya selama ini, Desy tak punya pemasukan tambahan. Selama ini, ia juga bergantung pada bantuan pemerintah via Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP)

Kini, Desy juga telah mengajukan nama untuk mendapatkan bantuan sosial senilai Rp600 ribu yang dijanjikan pemerintah bagi warga terdampak Covid-19. Nominal itu, kata Desy, tentu saja tidak bakal cukup untuk menggantikan upahnya yang hilang. 

Sponsored

"Ya, mudah-mudahan (pandemi) cepet berlalu. Kalau sampe tiga bulan sih bisa gawat. Mudah-mudahan enggak sampe deh kita kenapa-napa nanti. Kita mah berdoa aja bisa cepet kerja lagi," kata dia. 

Gangguan terhadap roda ekonomi tak hanya dialami Mira dan Desy. Menurut survei lembaga Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), setidaknya ada 77% warga yang menyatakan Covid-19 telah mengancam pemasukan atau penghasilan mereka. 

Sekitar 25% responden yang disurvei menyatakan sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pokok tanpa pinjaman dan 15% responden menyatakan tabungan yang dimiliki hanya cukup untuk beberapa minggu. Sekitar 15% responden menyatakan tabungan yang dimiliki hanya cukup untuk satu minggu.

Kalangan yang paling parah terkena dampak pemberlakuan PSBB ialah mereka yang bekerja di sektor informal, kalangan kerah biru, dan kelompok masyarakat yang digaji per hari. 

Dalam survei yang digelar pada periode 9-12 April terhadap 1.200 responden via telepon itu, hanya 24% responden yang menyatakan pandemi Covid-19 tak mengganggu pendapatan mereka. Sebanyak 5% menyatakan kondisi ekonominya lebih baik pada masa pandemi. 

Buruh membersihkan gabah yang baru dipanen di persawahan Blimbingsari, Banyuwangi, Sabtu (2/5). /Foto Antara

Potensi hilangnya PDB hingga ribuan triliun 

Total sudah ada lebih dari 20 kabupaten dan kota yang memberlakukan PSBB untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19. Akibat PSBB, sejumlah aktivitas perekonomian di kota dan kabupaten itu terganggu. Perusahaan-perusahaan tutup dan pekerja di bisnis nonesensial diwajibkan bekerja dari rumah. 

Untuk mengatasi pandemi, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 atau Perppu Covid-19. 

Dalam Perppu itu, pemerintah menetapkan bakal menggelontorkan anggaran sebesar Rp405,1 triliun yang sebagian besar bersumber dari APBN. Sebesar Rp70,1 triliun dialokasikan untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat. 

Selain itu, sebanyak Rp110 trilliun akan dialokasikan untuk jaring perlindungan sosial yang mencakup anggaran Kartu Prakerja, cadangan logistik sembako, dan subsidi listrik bagi pelanggan prabayar golongan 450 VA dan 900 VA. Pemerintah hanya mengalokasikan Rp75 triliun untuk kesehatan.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan seharusnya pemerintah mengalokasikan anggaran lebih banyak ke sektor kesehatan. Ia menyarankan realokasi anggaran infrastruktur sebagai solusi. 

"Pemerintah Jokowi seharusnya mengalokasikan dana untuk kesehatan lebih besar," kata Esther saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Esther mengapresiasi langkah pemerintah untuk meringankan beban masyarakat yang terdampak Covid-19. Namun demikian, ia meminta pemerintah berhati-hati menyalurkan dana jaring pengaman sosial dan bansos. 

"Harus dimonitor dan jelas siapa penerimanya. Masyarakat yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja) dan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan (harus jadi prioritas)," katanya.

Khusus untuk insentif dunia usaha, Esther menyarankan agar pemerintah mengevaluasi lagi alokasi anggaran tersebut. Menurut dia, anggaran itu potensial mubazir.

"Perusahaan yang mem-PHK-kan karyawannya tidak berhak mendapat dana ini. Dana dukungan ini juga menurunkan tax ratio," kata dia.

Layar menampilkan pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (22/4). /Foto Antara

Menurut analisis INDEF, pandemi Covid-19 potensial menggerus produksi domestik bruto (PDB) Indonesia hingga ribuan triliun. Setidaknya ada tiga skenario yang disajikan INDEF, yakni PDB tergerus hingga 50%, 60%, dan 70%.

Pada skenario pertama, INDEF memprediksi kerugian ekonomi sebesar Rp693 triliun per bulan akibat pandemi Covid-19. Kedua, pandemi bertahan hingga tiga bulan dan mengakibatkan kehilangan PDB senilai Rp2.078 triliun. Terakhir, pandemi berlangsung hingga enam bulan dan menyebabkan hilangnya PDB hingga senilai Rp4.157 triliun.

Meski begitu, Esther berharap pemerintah tak sembarangan mencabut kebijakan PSBB. "Selama masih ada korban, saya menyarankan PSBB. Kalau PSBB dicabut sebelum waktunya, maka berapa pun dana yang digelontorkan pemerintah tidak akan bisa mengatasi pandemi ini," jelas dia. 

Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels) Ubedilah Badrun menilai pemerintah cederung sembrono dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan penanganan pandemi. Ia mencontohkan Perppu Nomor 1/2020 yang kini digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Perppu itu diuji materi lantaran dianggap memberikan kekebalan hukum kepada para pejabat pemerintah yang bertugas menangani pandemi. "Itu kan public pollicy yang cenderung berpihak pada oligarki ekonomi. Contoh buruk public policy," ujar Ubedilah.

Ia juga mengkritik kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) membebaskan 30.000 narapidana dari penjara. Menurut dia, kebijakan itu justru memperbesar risiko gangguan kemanan dan ketertiban di masyarakat selama masa pandemi.

"Dan itu public policy yang tidak tepat dan kelihatan pertimbangannya pada ekonomi. Penghematan. Karena dikeluarkan 30 ribu itu negara hemat Rp300 miliar. Padahal, risikonya lebih besar karena kejahatan mengakibatkan ekonomi terpuruk," ujar dia. 

Sejumlah petugas mengamati mesin ATM yang terbakar di Pedurenan, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (29/4). /Foto Antara

Angka kriminalitas jalanan naik 

Menurut catatan Polri, angka kriminalitas justru menurun pada masa pemberlakukan PSBB. Pada Maret, total ada 19.128 kasus kejahatan yang digarap Polri. Namun, pada April tercatat hanya ada 15.322 kasus kejahatan. Artinya, ada penurunan hingga 19.90%. 

Meskipun secara umum angkanya turun, jumlah kriminalitas jalanan cenderung naik. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Adi Asep Saputra mengatakan, rata-rata kasus kriminalitas jalanan yang naik angkanya didominasi kasus penjambretan, perampokan, pencurian kendaraan bermotor dan pembongkaran minimarket. 

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon memprediksi angka kriminalitas bakal kembali melonjak. Menurut Josias, kenaikan bakal dipicu himpitan ekonomi dan kesempatan yang muncul karena berlakunya PSBB, semisal sepinya kondisi jalanan di Jakarta. 

"Kriminalitas kan istilahnya ada kesempatan, ya. Nah, PSBB ini membantu memperbesar kesempatan bagi pelaku kejahatan. Di satu sisi, tidak ada lagi yang bisa didapatkan. Untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari, ya, itu (PSBB) jadi pemicu. Jadi, saling terkait," kata Josias kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (30/4).

Menurut Josias, angka kriminalitas akibat pandemi bisa ditekan bila penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat tepat sasaran. "Dalam pelaksaannya memang harus jelas, bantuan, pendataan. Bantuan terkait PSBB itu," kata dia.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Di sisi lain, Josias juga menyarankan agar kepolisian mengintensifkan patroli selama PSBB diberlakukan. Bila perlu, kepolisian menggandeng masyarakat setempat untuk memantau daerah-daerah yang rawan kejahatan. 

"Jadi ada koordinasi dengan (menggunakan) perangkat elektronik, tidak hanya CTTV, tapi HT (handy talky) dan WhatsApp. Jadi, namanya siskamling online," kata Josias.

Komisoner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti sepakat alasan ekonomi bisa jadi motif utama pemicu maraknya kejahatan selama masa pandemi. Namun demikian, ia berharap personel Polri di lapangan tetap mengedepankan upaya-upaya pencegahan. 

"Kapolri juga sudah berpesan agar anggota melakukan tindakan preventif dan preemtif terlebih dahulu dan penegakan hukum sebagai upaya terakhir," ujar Poengky. 

Berita Lainnya
×
tekid