sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yang tersisa dari kasus suap ekspor benih lobster

Kebijakan ekspor benih bening lobster Edhy Prabowo tersangkut suap. Banyak pekerjaan rumah terkait pengelolaan hasil laut itu.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 04 Des 2020 15:43 WIB
Yang tersisa dari kasus suap ekspor benih lobster

Dua masa kepemimpinan berbeda di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)—Susi Pudjiastuti ( 2014-2019) dan Edhy Prabowo (2019-2020)—memperlihatkan pertentangan kebijakan yang mencolok. Salah satunya soal ekspor benih bening lobster atau benur.

Di masa Susi, ada aturan pelarangan ekspor benur, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan atau Pelarangan Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Kebijakan itu bertujuan melindungi kelestarian dan keberlangsungan ekosistem laut, serta mendorong industri lobster tanah air agar semakin bertumbuh.

Di masa Edhy, aturan terkait larangan itu masuk daftar revisi. Lantas, terbit Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia. Aturan tersebut diteken Edhy pada 4 Mei 2020.

Dengan terbitnya aturan tersebut, penangkapan dan ekspor benih lobster kembali diizinkan. Alasannya, untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menyumbang devisa negara.

Namun, kebijakan ekspor benur mengantarkan Edhy menjadi pesakitan di balik jeruji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditetapkan sebagia tersangka, setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (25/11) dini hari di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Edhy diduga menerima uang suap sebesar Rp3,4 miliar dan US$100.000 terkait izin ekspor benih lobster. Selain Edhy, KPK menetapkan enam orang tersangka dalam kasus ini, antara lain staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Misanta Pribadi dan Safri, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito, dan seorang pihak swasta Amiril Mukminin.

Akan tetapi, tampaknya kebijakan ini akan diteruskan. Hal itu dinyatakan Menteri Kelautan dan Perikanan ad interim—sebelum digantikan Syahrul Yasin Limpo—sekaligus Menteri koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu. Sebelum melanjutkan ekspor benih lobster, kebijakan yang diterbitkan di masa Edhy akan dievaluasi.

Menteri Kelautan dan Perikanan nonaktif, Edhy Prabowo, salah satu tersangka kasus dugaan suap izin ekspor benur pada KKP. Dokumentasi KKP.

Sponsored

Bernilai tinggi

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP Antam Novambar mengatakan, kebijakan pengelolaan lobster adalah wujud misi menjadikan Indonesia sebagai negara pemasok terbesar benih lobster. Ia menyebut, rencana itu sebenarnya sudah ada menjelang akhir kepemimpinan Susi.

“Sebenarnya potensi perikanan kita sudah sangat besar. Maka perlu didorong secara aktif,” kata Antam saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (1/12).

Komoditas utama lobster yang menjadi andalan ekspor, antara lain jenis lobster pasir dan lobster mutiara. Adapun sasaran utama tujuan ekspor adalah negara pembudi daya lobster, seperti Vietnam dan Filipina.

Seturut Edhy, Antam menuturkan, pelarangan ekspor benih lobster justru merugikan nelayan. Terutama nelayan yang secara khusus membudi dayakan benih lobster.

“Misalnya di NTB, sepanjang pantai selatan, baik yang di selatan Bali, juga selatan Jawa. Hampir semua perairan Indonesia kaya dengan benur,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto pun sepakat ekspor benur membawa manfaat ekonomi untuk nelayan. Selain itu, kebijakan Edhy juga bertujuan menaikkan harga jual benih lobster dan sebagai bentuk investasi hasil laut.

“Saya dengar justru harga jual benur dari nelayan ke pengepul cukup adil, tapi saya lupa angkanya,” ucapnya ketika dihubungi, Rabu (2/12).

Meski begitu, penerapan kebijakan izin ekspor benih lobster itu, kata Yugi, hanya satu tahun. Ia juga menyarankan, implementasi kebijakan harus diperbaiki. “Dengan cara yang lebih transparan dan adil,” tutur Yugi.

Sejak terbit Permen KP 12/2020, penerimaan dari hasil ekspor benih lobster memang melonjak signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Juni 2020 nilai ekspor benur sebesar US$112.900 dengan volume 32 kilogram. Lalu, naik pada Juli 2020 menjadi US$3,67 juta dengan volume 1.789 kilogram.

Penyimpangan dan budi daya

Meski demikian, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai ada kejanggalan kebijakan ekspor benur. Hal itu, setidaknya terlihat saat Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengundurkan diri pada Juli lalu. Ia pun menganggap, terbitnya Permen KP 12/2020 didorong berdasarkan pesanan pihak tertentu.

“Edhy seperti berperan sebagai ‘makelar’ yang ditunjuk untuk memenuhi keinginan para pengusaha yang menjalankan bisnis hasil laut,” kata Susan saat dihubungi, Selasa (1/12).

“Di masa Edhy, perwujudan pengelolaan malah menjadi ekspor, bukan budi daya. Pembudi dayaan lobster malah dikesampingkan.”

Reporter Alinea.id berusaha menghubungi Zulficar Mochtar untuk melakukan konfirmasi. Namun, tak ada respons. Lebih lanjut, Susan menganggap, kebijakan yang diambil Edhy terkesan populis, tetapi dalam penerapannya sangat menyimpang. Ia pun menyayangkan praktik ekspor benur yang melanggar ketentuan dalam Permen KP 12/2020.

Merujuk aturan di dalam beleid itu, kata dia, eksportir baru diperkenankan mengekspor benih lobster, setelah melalui proses budi daya selama dua siklus. Setiap siklus memerlukan waktu enam hingga delapan bulan.

“Tapi, praktiknya memang disengaja boleh dalam jangka waktu singkat, bahkan dalam hitungan hari sudah mengekspor,” tuturnya.

“Permen itu hanya pemanis, seolah-olah negara sudah menjalankan mandat, tapi hanya basa-basi.”

Nelayan memperbaiki jaring di atas perahunya di perkampungan nelayan Cilincing, Jakarta, Jumat (17/4/2019). Foto Antara/Indrianto Eko Suwarso.

Ke depan, Susan menyarankan, ada mekanisme pengawasan terhadap prosedur ekspor hasil laut. Lalu, perlu juga dibangun sebuah sistem yang terpadu, menghubungkan para pelaku industri hasil laut. Tak lupa, ia mengingatkan agar hak-hak nelayan yang menangkap benur, pembudi daya, koperasi nelayan, dan pasar dipastikan terjamin.

“Jangan sampai nelayannya baku hantam, tapi yang menikmati hasilnya hanya negara tujuan hasil lobster yang diekspor,” katanya.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rianta Pratiwi mengakui, lobster adalah salah satu hasil laut yang punya potensi ekonomi cukup besar, terutama bagi nelayan.

Ia menyebut, berdasarkan riset lapangan yang dilakukannya terhadap nelayan lobster di Pulau Weh, Aceh, komoditas laut ini punya harga jual lebih tinggi ketimbang hasil perikanan lainnya.

“Maka penting sekali mengelola budi daya lobster dengan terpadu dan ramah lingkungan untuk menjamin ketersediaannya,” kata Rianta saat dihubungi, Selasa (1/12).

Permintaan pasar dalam dan luar negeri pun tinggi. Akan tetapi, pengelolaan lobster masih menghadapi beberapa tantangan. Terutama pada aspek pembenihan.

Produksi benih lobster yang masih tergantung dari alam, kata dia, belum bisa diandalkan. Sebab, ketersediaan benur alami di laut semakin terancam, sehingga berkurang jumlahnya.

“Ini agak sulit mengelolanya,” tuturnya.

“Sementara kelestarian lobster harus dijamin agar tetap lestari, tapi juga menjadi tantangan bagi kebutuhan konsumen yang meningkat.”

Di sisi lain, beberapa cara pengelolaan, justru riskan merusak kehidupan lobster. Salah satunya pengambilan benur dari alam untuk dibudi dayakan di lahan khusus secara swadaya. Metode ini, sebut Rianta, menyebabkan berkurangnya plasma nutfah di alam.

“Dapat berdampak buruk bagi alam. Maka harus diberikan batasan untuk izin penangkapannya,” kata dia.

Infografik kebijakan kontroversial Edhy Prabowo. Alinea.id/Bagus Priyo.

Di samping itu, Rianta mengingatkan, risiko pengambilan benih lobster yang tak ramah lingkungan bisa merusak terumbu karang, sebagai habitat lobster. Akibatnya, ketersediaan makanan bagi lobster berkurang.

“Apalagi jenis makanan lobster juga dipanen oleh manusia, jadi stoknya otomatis akan semakin berkurang,” ucapnya.

Kemudian, perairan tempat penangkapan benur mayoritas memiliki daya dukung yang terbatas. Hal ini membuat area penangkapan hanya bisa menghasilkan jumlah benur yang sedikit. Rianta mengingatkan, upaya pembenihan dan pembesaran lobster harus didukung tata kelola perikanan yang baik dan terpadu.

“Bisa pula memperbaiki ketersediaan data perikanan yang selama ini masih kurang lengkap,” katanya.

“Jangan sampai menimbulkan persoalan baru, kalau tata cara pengelolaannya belum baik.”

Berita Lainnya
×
tekid