sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yang "tua di jalan" karena horor kemacetan Jakarta

Kemacetan panjang bikin para pengguna sepeda motor yang tinggal di luar Jakarta merana setiap berangkat kerja.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 20 Nov 2022 17:00 WIB
Yang

Mengarungi titik-titik macet di ruas-ruas jalan antara Tangerang-Jakarta sudah jadi rutinitas saklek bagi Rio, 29 tahun. Tinggal di Bitung, Tangerang, Banten, Rio bekerja sebagai tukang servis ponsel di salah satu gerai di pusat belanja elektronik ITC Roxy Mas, kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Jarak rumah Rio ke kantor sekitar 40 kilometer. 

Namun, hidup Rio kian terasa berat selama dua bulan terakhir. Tiap hari, selepas azan subuh, Rio harus sudah memacu sepeda motornya untuk berangkat kerja. Berangkat lebih dini mesti dilakoni Rio lantaran jalur-jalur di kawasan Daan Mogot sedang "musim" macet. Biang keroknya antara lain karena digelarnya proyek-proyek galian dan perbaikan jalan.

"Tetapi, tetap aja kena macet parah (meskipun sudah berangkat lebih pagi). Kadang jadi enggak fokus bekerja karena sudah capek duluan di jalan," kata Rio saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, Rabu (16/11)

Rio semula tinggal di Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari ITC Roxy Mas. Setelah menikah empat tahun lalu, ia pindah ke rumah sang istri di Bitung. 

Saat baru menikah, ia kerap menganggap enteng perjalanan dari Bitung ke tempat bekerja. Seiring bertambahnya usia, Rio merasa perjalanan pulang-pergi dari rumah ke kantor dan dari kantor ke rumah bak neraka. 

"Tambah umur semakin tambah capek. Ke tempat kerja macet-macetan itu bikin enggak sehat. Psikologi juga terganggu. Wah, berasa banget kalau macet. Apalagi, hari Senin sama Jumat," kata Rio.

Setidaknya ada beberapa titik kemacetan yang harus dilalui Rio saat berangkat kerja. Pertama, dia harus melepaskan diri dari jerat kemacetan di kawasan Bitung dan Jatake. 

Di kawasan itu, kata Rio, arus lalu lintas kerap tersendat lantaran hilir-mudik kendaraan berat. "Bisa sejam sendiri itu buat lolos dari Bitung sama Jatake," imbuh dia.

Sponsored

Rintangan selanjutnya kemacetan di ruas-ruas jalan dekat Terminal Kalideres. Laju kendaraan kerap tersendat di kawasan itu lantaran antrean kendaraan yang keluar-masuk terminal dan maraknya angkutan kota yang ngetem di bahu jalan.

Lepas dari Kalideres, Rio harus melewati titik-titik kemacetan di sepanjang Jalan Daan Mogot, mulai dari Cengkareng hingga Jembatan Gantung. Di kawasan itu, terdapat banyak persimpangan dan penyempitan jalan yang tidak diatur dengan baik sehingga arus lalu lintas semerawut.

"Di sini (Daan Mogot), parah macetnya kalau pagi. Saya bisa berhenti dulu saking macetnya," kata Rio. 

Rintangan terakhir ialah titik-titik kemacetan di sekitar jalan layang Pesing dan persimpangan menuju Angke, Jakarta Utara. Selain dipenuhi penyempitan jalur, dua-ruas jalan di kawasan itu marak dilintasi truk-truk pengangkut barang yang hendak masuk tol Sedyatmo. 

"Tapi, setidaknya kalau sudah sampai Pesing, mulai ada harapan sampai kantor walaupun badan sudah capek," kata Rio.

Rio mengaku sudah dua kali tidak masuk kerja dalam dua bulan terakhir. Badannya kerap pegal-pegal lantaran harus mengendarai motor selama berjam-jam. Saat tengah berkendara, ia juga berulang kali diguyur hujan yang datang tiba-tiba. "Badan sakit-sakit semua," kata dia. 

Rio sebenarnya punya mimpi untuk berhenti bekerja dan membuka jasa servis di rumahnya. Namun, tabungannya belum cukup untuk itu. "Apalagi, besok 2023 juga kelihatannya suram. Jadi, ya, udahlah terima dulu aja pahitnya," kata dia. 

Nestapa serupa dirasakan Aditya Kurniawan, 28 tahun. Warga Teluk Naga, Tangerang, Banten itu setiap hari menempuh jarak hingga 20 kilometer untuk tiba di kantornya di kawasan Kembangan, Jakarta Barat. Setidaknya sekitar dua jam dihabiskan Aditya di jalanan. 

"Kita sudah lelah saat di kantor. Kita enggak bisa langsung kerja. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk meredakan kelelahan baru bisa kerja," kata Aditya kepada Alinea.id, Selasa (15/11). 

Setidaknya ada dua kawasan rutin macet yang harus dilalui Aditya sebelum tiba di kantor, yakni di kawasan Dadap, Tangerang dan kawasan industri di Kapuk, Cengkareng. Kemacetan di ruas-ruas jalan di kedua kawasan itu belakangan bertambah parah lantaran kian maraknya truk-truk pengangkut tanah proyek reklamasi yang melintas. 

"Macet itu memang berasa begitu sampai rumah. Badan pada sakit. Kalau lagi jalan sih, enggak berasa. Paling emosi aja di jalan," kata pria yang berprofesi sebagai teknisi IT itu. 

Kemacetan yang semakin parah, kata Aditya, bikin dirinya jadi "bersumbu pendek". Aditya mengaku beberapa kali ribut dengan rekan sekantor lantaran "dipaksa" langsung bekerja saat tiba di kantor. Padahal, ia butuh rehat sejenak untuk mengeringkan keringat.

"Kita baru datang, posisi capek, tapi langsung dikasih kerjaan. Ya, akhirnya timbul kesalahpahaman, ribut kita," kata Aditya. 

Selain bikin emosi, macet juga bikin boros. Setiap bulan, Aditya menghabiskan duit hingga Rp400 ribu untuk membeli bahan bakar bagi sepeda motornya. "Kadang suka lebih karena macet dan lain-lain," kata dia. 

Ilustrasi kemacetan di Jakarta. /Foto Antara

Bikin trauma
 
Bagi Rosvita Sari, kemacetan ibu kota tak hanya melelahkan, tetapi juga bikin trauma. Sejak satu setengah tahun lalu, Rosvita pensiun menggunakan sepeda motor saat pergi ke kantor. Saat berkantor memakai motor, ia mengaku nyaris depresi.

"Saya harus menempuh jalan yang sangat jauh dan sepanjang jalan macet parah. Saya bekerja di Studio Animasi di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara," kata Rosvita kepada Alinea.id, Sabtu (19/11).

Rosvita tinggal di Cilebut Timur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Untuk pulang-pergi dari Cilebut ke Kelapa Gading dan sebaliknya, Rosvita menghabiskan waktu hingga sekitar enam jam di jalan. 

Ada banyak titik kemacetan yang harus dilalui Rosvita jika menggunakan sepeda motor, semisal kawasan Jambu Dipa, Cilebut Timur, sekitar Stasiun Cilebut, Pasar Cibinong, serta ruas-ruas jalan di Jati Jajar dan PGC Cililitan.

"Sebenarnya, cuma dua jam lebih kalau enggak macet. Tapi, jadi empat jam-an kalau macet. Jadi, pulang-pergi itu bisa enam jam. Terus, motorku boros. Jadi, pulang-pergi aku isi Rp20 ribu. Jadi, per hari Rp40 ribu untuk bensin," ucap Rosvita.

Rosvita mengaku bukan tipikal pengendara motor yang tahan banting. Selain kemacetan, ada banyak hal yang membuat ia kesal saat berkendara di jalan raya. 

"Jadi emosi. Apalagi, kalau ada suara klakson. Padahal, mereka sudah tahu kalau lagi macet, asep knalpotnya enggak suka juga. Pengap. Terus sama motor-motor yang jalannya ngebut atau yang bikin kagok gitu," kata Rosvita.

Beragam pengalaman kelam dialami Rosvita saat bermotor ke kantor. Pada suatu hari, ia pernah kena tilang polisi lantaran nekat lewat jalur cepat di Jakarta. Di hari lainnya, ia pernah ketiduran saat mengantre di lampu merah. 

"Pernah juga ditabrak dari belakang padahal bawa motornya udah baik. Sama bahayanya kalau ngantuk sih. Soalnya, pernah ngantuk gitu, tapi tetep jalan bawa motor. Waktu itu, hampir nabrak pembatas jalan. Pokoknya, semua karena capek," ucap Rosvita.

Lelah karena kemacetan bikin Rosvita sakit-sakitan. Ketika itu, Rosvita berulang kali absen dari kantor. Merasa pulang pergi naik motor mengganggu produktivitasnya, Rosvita pun memutuskan berkantor mengandalkan KRL. 

"Sampai rumah itu kayak remuk badan dan sering masuk angin karena aku balik dari kantor itu kadang jam 2 malem. Aku sekarang lebih milih angkutan umum kayak naik kereta, bus, terus lanjut Grabbike. Sudah lelah dengan kemacetan saya," ujar dia. 

Ilustrasi kemacetan di Jakarta. /Foto Antara


Butuh diakomodasi 

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai macetnya ruas-ruas jalan DKI Jakarta pada jam-jam sibuk menunjukkan padatnya konsentrasi penduduk di ibu kota dan kawasan penyangga. Apalagi, kebanyakan pengguna jalan saat jam sibuk itu berasal dari luar DKI. 

"Oleh karena itu, secepatnya saja beberapa orang yang memang bakal menghuni Ibu Kota Negara di Kalimantan diberangkatkan ke sana untuk mengurai kemacetan harian di Jakarta. Ini langkah awal yang penting untuk mengurangi konsentrasi penduduk di DKI Jakarta," kata Djoko kepada Alinea.id, Jumat (18/11).

Di lain sisi, untuk mengakomodasi kalangan pekerja, Djoko berpendapat pemerintah perlu memperbanyak jumlah dan jenis transportasi publik di daerah penyangga. Menurut dia, transportasi publik yang bisa diakses masyarakat di daerah penyangga masih terbatas. 

"Itu (transportasi publik) sudah mendesak dan itu sangat minim sekali. Itu harus diperbanyak. Daerah penyangga itu harus menyediakan transportasi umum yang bagus dan banyak untuk ke Jakarta," kata Djoko.

Menurut Djoko, jumlah angkutan umum di daerah penyangga tidak mencukupi untuk mengangkut semua pekerja yang berasal dari daerah penyangga ke kantor mereka di Jakarta. Itulah kenapa banyak pekerja yang nekat menggunakan sepeda motor meskipun harus terjebak di berbagai titik kemacetan yang menguras tenaga dan emosi.

"Kemudian juga perlu dilakukan juga pembatasan sepeda motor, seperti dulu pada zaman Ahok jalan Sudirman-Thamrin enggak boleh digunakan untuk motor. Tapi, itu sebenarnya bagus buat mengurangi pengendara motor dan supaya beralih ke angkutan umum. Jadi, memang perlu ada semacam itu," ucap Djoko.
 

Berita Lainnya
×
tekid