sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengikat belalai Gajah Perang

Entah bagaimana manajer tajir Thailand memenuhi nafsu makan bagi seluruh anggota rombongannya.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Minggu, 02 Jan 2022 14:00 WIB
Pengikat belalai Gajah Perang

Ajang AFF Suzuki Cup 2020 mundur setahun karena pandemi. Kentara fobia akut dari otoritas Singapura akan bahaya virus Covid-19, semua tim peserta bagaikan terkungkung dalam kurungan. Shin Tae-yong sempat mengeluh bahwa dia dan timnya merasa terpenjara.

Turnamen dua tahunan ini disponsori produsen otomotif Suzuki. Karena itu, hak ciptanya dinamakan Piala Suzuki. Tapi yang tersedia, anehnya, bukan seperti memenuhi prosedur standar kenyamanan berkendara ala Jepang. Apalah artinya sekadar pelayanan kelas kaki lima: konsumsi nasi kotak. Cukup jauh dari syarat kelayakan kesehatan.

Tuan rumah Singapura mengurus piala ini dalam paradoks yang pantas dipertanyakan. Karena panitia takut Covid-19, pemain bisa-bisa terjangkit hepatitis sehabis pertandingan. Siapa yang akan jadi korban? Ada yang mungkin penasaran.

Entah bagaimana manajer tajir Thailand memenuhi nafsu makan bagi seluruh anggota rombongannya. Barangkali dia telah menjual kemolekan bibirnya semanis madu kepada oknum panitia buat berkomplot sepihak kongkalikong menyelundupkan aneka rupa panganan lezat di luar jatah resmi kejuaraan. Si Madam tentu pintar mengurus lobi-lobi begitu.

Bicara soal kesebelasan Thailand, bukan Vietnam yang telah merepotkan Chanathip cs dalam perhelatan kejuaraan 'nasi kotak' Suzuki, kali ini. Tapi kuda hitam, Filipina, di penyisihan Grup A.

Tim berjuluk The Azkals hanya bisa ditekuk Gajah Perang dari titik putih. Hadiah wasit itu juga kontroversial sebagaimana banyak keputusan ganjil lain dari para pengadil.

Adegan sandiwara yang dibalas dengan hadiah wasit malah sungguh tidak heroik. Thitiphan Puangchan membuat diving di kotak terlarang menyusul manuver bek Filipina yang tak sedikitpun menyentuh badannya.  Jika opsi penilaian melalui Video Assistant Referee saat itu diterapkan, penalti tak mungkin diberikan. Thailand menang tipis 2-1. Sejak penyisihan grup, keanehan sudah dimulai. Jangan heran kalau mereka berpeluang paling besar akan menjadi juaranya.

Resep manjur Filipina menjinakkan Gajah Perang seperti mengikat belalainya dengan tali agar binatang besar itu tak bisa berkoar. Mereka memakai skema ofensif 3-4-3 menghadapi 4-4-2-nya Thailand. 

Sponsored

Kunci utama The Azkals, mata rantai permainan lawan, Messi Jay (Chanathip), selalu mereka awasi dalam zona marking yang ketat. Pengawalnya cukup satu-dua gelandang saja. Bukan ditempel habis oleh satu pemain tertentu yang bertindak konstan sebagai penjaga.

Gelandang kerdil itu selalu kalah bodi setiap kali ditekan dengan cepat tanpa sempat berkelit lagi. Ia tak mampu menguasai bola sepenuhnya lebih dari tiga detik tanpa diburu musuh. Dia bahkan terprovokasi main kasar, diganjar kartu kuning, masih untung tidak dikartumerah. Sebab wasitnya masih orang yang sama dengan yang memberi penalti tadi.

Kelemahan mereka terlihat nyata: barisan belakang yang lamban ternyata agak canggung mengantisipasi umpan-umpan terobosan yang menyerang langsung jantung pertahanan. Selebihnya Thailand pun tidak dibekali kecepatan. Mereka lebih terbiasa dengan ritme permainan stabil.

Justru Siwarak dkk jarang mengubah irama, sehingga tampilannya membosankan, begitu monoton. Lebih mengutamakan penguasaan bola dalam ruang permainan yang tersistem rapi demi mendikte lawannya supaya tertekan berada di bawah atmosfer yang mereka ciptakan. Ruang permainan Thailand yang tersistem rapi itu yang dihancurkan jajaran gelandang Filipina.

Selain Chanathip, yang cepat hanya Supachok, dua gelandang saja. Nanti kalau Theerathon juga diturunkan, dari kakinya Teerasil mengintai umpan silang. Sesederhana itu konsep mereka, maka pantas Gajah Perang cuma sibuk berkutat merajai kawasan regional serumpun Melayu tanpa pernah maju jauh ke papan atas Asia.

Berita Lainnya
×
tekid