sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Benarkah Indonesia krisis BBM dan air bersih pada 2025?

Prabowo mengungkapkan segala permasalahan bangsa. Salah satu yang disinggung adalah masalah ketahanan energi dan air bersih.

Robi Ardianto Laila Ramdhini
Robi Ardianto | Laila Ramdhini Rabu, 02 Jan 2019 22:06 WIB
Benarkah Indonesia krisis BBM dan air bersih pada 2025?

Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan ceramah kebangsaan akhir tahun di Hambalang, Bogor. Dalam ceramah yang diunggah di laman resmi Facebooknya itu, Prabowo mengungkapkan segala permasalahan bangsa. Salah satu yang disinggung adalah masalah ketahanan energi dan air bersih.

“Saya baru dari Jawa Tengah minggu lalu. Anggota-anggota kami mengatakan, mereka butuh air (bersih). Sebentar lagi di Indonesia, kalau tidak hati-hati, kita akan krisis air (bersih),” kata Prabowo, Minggu (30/12).

Prabowo pun menyinggung soal air bersih yang sulit didapat warga di Tanjung Priok dan air laut yang akan naik pada 2025. Menurutnya, rakyat di wilayah Tanjung Priok tidak dapat air bersih. Bahkan, orang yang secara keuangan berada juga harus membeli air bersih.

“PBB juga mengatakan, tahun 2025 pantai utara Tanjung Priok itu airnya akan sampai Bundaran HI. Berapa puluh ribu orang yang akan kehilangan rumah,” kata Prabowo.

Selain masalah krisis air bersih, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) ini juga menyinggung ketahanan energi. Dalam hal ini ketersediaan bahan bakar minyak (BBM).

“Tahun 2025 Indonesia akan impor 100% bahan bakar minyak. Kita habis. Dua juta barel per hari kita impor,” ujar Prabowo. “Kalau tidak dipersiapkan dari sekarang, tahun 2025 kita krisis air (bersih), air laut naik, juga krisis bahan bakar.”

Namun, benarkah pernyataan Prabowo itu?

Masalah BBM

Karyawan melakukan pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax di salah satu SPBU di Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (08/12/2018). Antara Foto.

Menanggapi apa yang dilontarkan Prabowo dalam ceramah akhir tahunnya, juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, pernyataan tersebut hanya berupa asumsi yang tak berdasar. Sebab, kata dia, tak memuat bukti-bukti yang relevan.

“Prabowo kembali menunjukkan sikap pesimisnya dalam melihat kemampuan bangsa ini. Bahkan, lagi-lagi Prabowo berbicara pesimisme tanpa fakta, tanpa solusi pula,” kata Ace, ketika dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (2/1).

Faktanya, merujuk data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), sejak 2015 konsumsi BBM nasional terus naik hingga 2017. Pada 2015, jumlah konsumsi BBM mencapai 73,7 juta kiloliter per tahun, atau setara dengan 436,3 juta barel per tahun.

Dengan kata lain, dalam sehari konsumsi nasional mencapai 1,2 barel. Konsumsi ini disumbang dari jenis BBM umum (JBU) 46,7 juta, jenis BBM khusus penugasan (JBKP) 12,2 juta, dan jenis BBM tertentu (JBT) 14,8 juta.

Sementara itu, pada 2016 mencapai 71,4 juta kiloliter (450 juta barel) per tahun, atau setara 1,2 juta barel per hari. Konsumsi ini disumbang dari JBU 48,6 juta, JBKP 12,2 juta, dan JBT 10,6 juta.

Terakhir, pada 2017 konsumi BBM mencapai 77,4 juta kiloliter barel (486,8 juta barel) per tahun, atau setara 1,3 juta barel per hari. Konsumsi ini terdiri atas JBU 55,4 juta, JBKP 7 juta, serta JBT 15 juta.

Menurut Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute) Komaidi Notonegoro, saat ini kapasitas produksi BBM nasional hanya mencapai 800.000 barel per hari.

Dari jumlah tersebut, yang bisa dipakai untuk konsumsi nasional hanya 60%, atau maksimal 500.000 barel per hari. Dengan demikian, masih ada kekurangan BBM nasional sekitar 800.000 hingga 1 juta barel per hari.

“Saat ini saja sudah bisa dibilang kita mengalami krisis BBM,” kata Komaidi, saat dihubungi, Rabu (2/1).

Selanjutnya, Komaidi mengatakan, ada dua masalah besar yang dihadapi saat ini. Pertama, tidak adanya cadangan energi baru yang ditemukan dalam 15 tahun terakhir. Menurut Komaidi, hal ini disebabkan biaya yang besar, teknologi tinggi, dan sumber daya manusia yang mumpuni untuk melakukan eksplorasi cadangan minyak bumi.

“Kemampuan APBN terbatas. Kalaupun diserahkan ke BUMN akan sulit, karena terbentur dengan regulasi. Sehingga, tidak bisa terlalu ekspansif,” ujar dia.

Masalah kedua, lanjut Komaidi, energi bumi yang tersedia sudah semakin berkurang. Saat ini tambang minyak bergeser ke arah timur Indonesia. Padahal, bagian timur sangat sulit dieksplorasi, karena terkait infrastruktur yang tidak memadai dan kontur alam yang sulit.

“Pada 2025, diprediksi ketersediaan BBM hanya mencapai 400.000 hingga 500.000 barel per hari,” kata dia.

Dengan demikian, kata Komaidi, pemerintah harus segera melakukan langkah strategis untuk mengatasi krisisi BBM di dalam negeri.

Berkaca kepada Jepang dan Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam memadai, pemerintah di sana harus bekerja keras untuk menggenjot pendapatan di sektor lain. Sehingga mampu menyediakan BBM untuk masyarakatnya.

“Mereka tidak punya sumber daya alam, tapi mampu membeli. Kalau kita sekarang harus memaksimalkan sumber daya alam yang masih ada. Tapi, jika cadangan sudah menipis, harus segera dicarikan solusi baru,” ujar Komaidi.

Krisis air bersih?

Wakil Ketua TKN Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding memberikan tanggapan menyoal krisis air bersih yang disinggung Prabowo. Menurutnya, data yang disampaikan Prabowo salah, lemah, dan menyesatkan.

Karding mengatakan, di era pemerintahan Joko Widodo, hutan sebagai penyangga air reboisasinya semakin baik. Selain itu, pembakaran hutan berhenti total, dan populasi hutan yang dimiliki perusahaan semakin berkurang.

“Kemudian air-air yang ada, misalnya bendungan, sudah termanfaatkan dan dikelola secara baik. Jadi, sudahlah kita tidak usah percaya lagi (omongan Prabowo). Karena track record-nya sejak awal soal data pasti keliru,” kata Karding, ketika dihubungi, Rabu (2/1).

Embung Pandanduri di Nusa Tenggara Barat. (www.facebook.com/KemenPUPR).

Sementara itu, menurut Direktur Indonesia Water Institute Firdaus Ali, sebenarnya krisis air bersih memang sudah terjadi saat ini di hampir seluruh daerah di Indonesia. Hal itu terlihat dari aksesibilitas air bersih bagi masyarakat yang sangat minim. Sedangkan pembangunan bendungan dan embung pun sangat lamban dilakukan.

Firdaus mengatakan, kendala saat ini adalah kapasitas fiskal pemerintah sangat terbatas, baik pusat maupun daerah, untuk menyediakan sistem penyediaan air minum. Dalam empat tahun terakhir, baru terbangun empat bendungan di seluruh Indonesia.

“Kita lambat membangun infrastruktur. Contohnya di Jakarta ada 13 sungai, tapi tidak ada satupun yang layak untuk air minum,” kata Firdaus, saat dihubungi, Rabu (2/1).

Selain itu, kata Firdaus, pemerintah daerah juga tidak menjadikan penyediaan air bersih sebagai prioritas. Akibatnya, tidak ada upaya terintegrasi antara pusat dan daerah, untuk memproduksi sekaligus mendistribusikan air bersih.

“Bahkan 60% perusahaan daerah air minum (PDAM) sebagai pengelola air juga dalam kondisi tidak sehat,” katanya.

Di sisi lain, pada September 2018, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengklaim, selama lima tahun terakhir peningkatan akses air minum sekitar 4,5% per tahun. Hingga 2017, menurutnya, capaian layanan air minum baru sekitar 72% atau hanya naik sedikit dari 2014.

Basuki memprediksi, untuk mencapai 100% akses aman air minum diperlukan biaya yang sangat besar, sekitar Rp253,8 triliun, dengan komposisi 20% dari APBN dan 80% non-APBN. Mengingat keterbatasan dana APBN, maka skema kerja sama pendanaan dari BUMN dan BUMD sangat diperlukan untuk meningkatkan akses layanan air minum bagi masyarakat.

Basuki mengatakan, untuk penyediaan air bersih ini, Kementerian PUPR sudah memiliki program untuk membangun beberapa sistem penyedian air minum (SPAM), yaitu SPAM regional, SPAM kawasan perkotaan, SPAM kawasan khusus, SPAM kawasan rawan air, dan SPAM berbasis masyarakat.

Sementara, Kepala Sub Direktorat Air Minum dan Limbah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Eko Wiji Purwanto dalam laman Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Pamsimas) mengatakan, Indonesia menargetkan akses 100% air bersih pada 2019.

Eko mengatakan, Bappenas selaku perumus kebijakan ini sudah mendapat masukan dari Kementerian PUPR, yang memiliki program 100-0-100 atau 100% akses air minum, 0% kumuh, dan 100% akses sanitasi.

Eko menambahkan, pengertian 100% yaitu pemenuhan aksesibilitas air bersih sebesar 85% bagi masyarakat, dengan angka 60 liter per hari. Sisanya, 15% untuk standar minimal, yaitu 15 liter per orang per hari.

Selain itu, dalam 100% ini juga diturunkan lagi menjadi dua, yaitu 60% jaringan perpipaan dan 40% nonperpipaan. Perpipaan ini juga tidak semuanya PDAM, ada SPAM perdesaan dan SPAM khusus.

“Jadi 100% itu tidak seolah-olah semua dapat yang sama. Minimal punya air bersih untuk makan dan minum. 100-0-100 itu gampangnya tidak ada orang yang mati karena air,” kata Eko, dikutip dari laman Pamsimas.

Eko mengatakan, target ini sudah disimulasikan oleh Bappenas. Dari hasil simulasi tersebut, pada 2019 tidak lebih dari 12 provinsi yang bisa mencapai komposisi 85-15, dari target 100% tersebut. Provinsi di Kalimantan atau Sulawesi akan sulit untuk mencapainya.

Sehingga, menurut Eko, program 100-0-100 merupakan sasaran antara Indonesia menuju the sustainable development goals (SDG) 2030, yaitu berupa akses aman dan layak air minum 100%.

Menanggapi hal itu, Firdaus Ali mengatakan, program 100-0-100 itu sebetulnya dicanangkan pemerintah sebelum era Joko Widodo. Kemudian, pemerintah Jokowi mengadopsinya, tanpa melakukan evaluasi.

“Sekarang biarkan target sudah terlanjur tinggi, yang penting harus bisa dicapai. Tapi kenyataannya, layanan air bersih memang sangat rendah sekali. Penambahannya tidak sampai 2% per tahun,” kata dia.

Lebih lanjut, Firdaus mengatakan, solusi yang bisa dilakukan pemerintah dalam tatanan kebijakan adalah segera merampungkan Revisi Undang-Undang Sumber Daya Alam. Dia mengatakan, kebijakan ini akan menjadi payung hukum yang penting bagi pengelolaan dan penyediaan air bersih, dari pusat sampai daerah.

“Saat ini masih ada 164 daftar inventaris masalah yang harus disepakati dalam RUU SDA tersebut. Setelah UU ini jadi, harapannya penyediaan air bersih bisa melibatkan swasta, karena terkait modal dan sumber daya manusia,” ujar Firman.

Berita Lainnya
×
tekid