sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Para eks gubernur yang tersungkur di pentas Pileg 2024

Nama besar sebagai gubernur tak membuat Viktor dan kawan-kawan mulus melenggang ke Senayan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Rabu, 13 Mar 2024 12:01 WIB
Para eks gubernur yang tersungkur di pentas Pileg 2024

Calon anggota legislatif (caleg) berlatar belakang mantan gubernur berguguran di pentas Pileg 2024. Terbaru, hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (10/3), menunjukkan mantan Gubernur NTT Viktor Laiskodat tak bakal lolos ke Senayan. 

Viktor baru lima bulan melepas jabatan sebagai Gubernur NTT. Ia sudah dua periode jadi kepala daerah. Pada pileg kali ini, Viktor bertarung di daerah pemilihan NTT II yang meliputi Pulau Sumba, Timor, Rote, Sabu, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Hanya ada 7 kursi diperebutkan di dapil tersebut. 

Mengantongi 65.359 suara, Viktor kalah dari rekan separtainya di NasDem, Rambu Wulla. Rambu mampu meraup 76.331 suara. Meskipun raihan suaranya cukup tinggi, Viktor tak mungkin berkantor di DPR menggunakan hitung-hitungan kuota kursi berbasis Sainte Lague. 

Nasib serupa dialami mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sulteng) Ali Mazi. Seperti Viktor, ia takluk di tangan rekan separtainya sendiri di NasDem, Tina Nur Alam. Tina ialah istri gubernur Sulteng periode sebelum Ali. Tina juga berstatus sebagai petahana. 

Hasil rekapitulasi KPU Sulteng menunjukkan Tina unggul tipis dari Ali. Tina memperoleh 68.683 suara, sedangkan Ali mendapat 68.099 suara. Dengan total kuota 6 kursi, Ali hampir pasti gagal di Pileg 2024.  

Di Kalimantan Timur (Kaltim), mantan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak juga dipastikan gagal melenggang ke Senayan. Di Jawa Barat (Jabar), mantan Wakil Gubernur Jabar, Uu Ruzhanul Ulum yang maju melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga hampir pasti gagal meraih kursi DPR RI. 

Analis politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Budiman merinci sejumlah faktor yang membuat para mantan gubernur tersungkur di pentas pileg. Pertama, eks para penguasa daerah gagal membangun basis massa meskipun kinerjanya tergolong ciamik. 

"Itu terjadi kepada Awang Faroek Ishak yang kalah dari Nabil Husein yang merupakan pemilik Borneo FC. Dia juga anggota ormas Pemuda Pancasila yang punya basis massa yang besar. Kalau kinerja tidak ada yang meragukan Awang Faroek," ucap Budiman kepada Alinea.id, Selasa (12/3).

Sponsored

Ketiga, kinerja caleg eks gubernur justru dianggap buruk. Budiman mencontohkan kebijakan kontroversial Viktor untuk mewajibkan jam sekolah pukul 5 pagi di NTT saat menjabat gubernur. Kebijakan itu dianggap merugikan peserta didik dan orang tua. 

Terakhir, efek pilpres dan karakter pemilih. "Ini juga terjadi pada kasus Viktor Laiskodat. Secara kultur, NTT itu basis suara Jokowi. Prabowo-Gibran menang di sana. Partai Viktor, yaitu NasDem, lebih mendukung pasangan 01 Anies-Muhaimin," kata Budiman. 

Argumentasi serupa juga bisa diterapkan pada kasus gagalnya Uu Ruzhanul Ulum. Sepak terjang Uu saat menjabat Wagub Jabar tak menonjol. Ia kalah bersinar dari Ridwan Kamil. "Belum lagi kalau dia (UU) di dapil itu bertarung dengan nama beken," ucap Budiman. 

Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro menilai caleg berlatar belakang mantan gubernur terpuruk di pileg lantaran gagal menguasai dukungan di dapil. Nama besar saja tak cukup untuk menjamin kemenangan. Caleg harus rajin-rajin turun akar rumput. 

"Dalam pileg, penguasaan teritori ke dapil itu menjadi penting. Kalau ini tidak dilakukan, maka dia sedang merancang kekalahan. Misalkan Awang Farouk kalah Nabil Husein. Nabil Husein itu lebih banyak blusukan dan memiliki basis dan logistik yang kuat di Kalimantan Timur," ujar Agung kepada Alinea.id, Selasa (12/3).

Strategi pemenangan di ranah pileg, menurut Agung, seharusnya berbeda dengan kompetisi tingkat pilkada. Cakupan umumnya pilkada lebih luas, sedangkan pileg lebih spesifik. Caleg harus memberikan perlakuan berbeda kepada konstituen di dapil. 

"Ada berapa kecamatan dan berapa desa (harus didatangi). Sampai berapa RT/ RW, dia harus blusukan di situ. Kalau dia terlalu luas, ya, enggak bisa. Artinya, kalau tidak ingin spesifik, ya, dia ikut pilkada aja, jangan pileg karena ini beda kamar dan beda treatment," kata Agung.

Agung menilai banyak eks gubernur gagal di pentas pileg lantaran tak merawat basis massa. Padahal, perebutan suara di pentas pileg jauh lebih sengit ketimbang di pilkada. Pasalnya, para kandidat bertarung dengan banyak kontestan. 

"Pilkada itu lawannya dikit. Kalau pileg, lawannya banyak. Bahkan, ada dari internal sendiri, berhadap-hadapan. Belum lagi lawan dari eksternal. Otomatis mereka harus punya nilai tambah supaya dilirik konstituen," ucap Agung. 

 

Berita Lainnya
×
tekid