sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Politik sindiran jelang pencoblosan

Saling sindir politikus jelang pemilihan makin santer. Tak hanya di panggung kampanye, tapi juga di media sosial.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 14 Jan 2019 21:09 WIB
Politik sindiran jelang pencoblosan

Pada 12 Januari 2019, sejumlah alumni Universitas Indonesia (UI), yang berkumpul di Plaza Tenggara Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, mendeklarasikan dukungan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo.

Ketika berbicara di atas panggung, Jokowi sempat mengungkapkan pengalamannya memimpin dari tingkat kota hingga negara. Dia berkisah, pengalamannya memenangkan pemilihan kepala daerah Solo pada 2005.

“Saat itu, saya banyak terkaget-kaget, karena belum memiliki pengalaman pemerintahan. Itu yang saya sampaikan, diperlukan pengalaman memerintah. Apalagi untuk Indonesia yang besar ini. Jangan coba-coba dong,” kata Jokowi, Sabtu (12/1).

Pernyataan Jokowi itu seolah-olah menyindir Prabowo Subianto, yang menjadi lawannya dalam Pilpres 2019. Selang sehari kemudian, calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno memberi tanggapan. Dia berujar, sangat aneh bila ada pernyataan tidak boleh mencalonkan diri kalau belum memimpin negara.

Saling serang

Menanggapi sindiran Jokowi itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai, kubu Prabowo jangan terpancing dengan gaya komunikasi Jokowi yang reaksioner.

“Santai saja dalam menghadapi serangan-serangan lawan politik. Buktikan saja kalau Prabowo berpengalaman. Lebih baik tak membalas sindiran Jokowi,” kata Ujang saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (14/1).

Namun, Ujang mengatakan, dalam mengelola pemerintahan, pengalaman memang sangat penting. Dia melanjutkan, di level daerah saja butuh pemimpin yang berpengalaman, apalagi di level negara.

“Pengelolaan negara harus baik. Karena itu, dibutuhkan orang yang berpengalaman dalam mengelolanya,” ujar dia.

Joko Widodo saat menghadiri deklarasi oleh sejumlah alumni Universitas Indonesia di kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/1). (Antara Foto).

Bila dibandingkan dengan kampanye pada Pemilu 2014 lalu, gaya komunikasi Jokowi terlihat berubah. Ujang melihat, gaya komunikasi politik Jokowi yang berubah, dengan menyindir lawannya ini, dipengaruhi oleh isu-isu yang berkembang.

“Karena banyak isu hoaks yang menyerang dirinya, maka gaya komunikasinya pun menyanggah,” ujar Ujang.

Tak hanya Jokowi, beberapa kali pidato Prabowo pun menyerang lawan politiknya. Misalnya saja pernyataan kontroversial, seperti Indonesia akan punah jika dia tak jadi presiden dan Indonesia akan mengalami krisis air bersih serta bahan bakar minyak pada 2025.

“Memang, tidak ada kata lain bagi Prabowo selain bermain ofensif. Karena yang dia lawan adalah incumbent yang sudah berpengalaman. Sepertinya Prabowo akan mempertahankan gaya kampanyenya tersebut,” katanya.

Ujang melihat gaya kampanye Prabowo tersebut bertujuan untuk mendegradasi petahana. Tak hanya di level para capres-cawapres. Para politikus pun saling sindir jelang pencoblosan April 2019 mendatang. Saling sindir lawan politik itu pun ada yang terkesan “bercanda”.

Kontestan baru dalam pemilu seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misalnya. Beberapa waktu lalu, mereka menggelar acara pemberian “Kebohongan Award” kepada Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, dan politikus Partai Demokrat Andi Arief.

Ketiganya adalah kubu lawan para politikus PSI—yang sudah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Ujang menanggapi, langkah PSI itu sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi, secara etika memang kurang baik, karena berkampanye menyerang lawan.

“Sebagai partai baru PSI butuh publikasi dan butuh perhatian. Mungkin dengan cara menyerang lawan politik, memberikan ‘Kebohongan Award’ kepada Prabowo, Sandi, dan Andi Arief merupakan cara untuk meraih publikasi dan perhatian publik,” kata Ujang.

Namun, Ujang mengatakan, langkah itu tak tepat dan kurang baik dilakukan partai baru seperti PSI. Partai berlambang bunga dalam genggaman tangan itu kerap melakukan politik ofensif, sehingga banyak yang gerah terhadap PSI.

“Termasuk dari internal koalisi Jokowi,” kata doktor ilmu politik itu.

Miskin gagasan

Selain di dunia nyata, para politikus juga sindiran-menyindir di ranah media sosial. Politikus seperti Andi Arief dan Fadli Zon misalnya, acapkali menyindir pemerintahan Jokowi di akun Twitter mereka.

Menanggapi hal ini, pengamat media sosial Ismail Fahmi mengatakan, sindiran yang dilakukan para politikus di media sosial, karena mudah menarik minat publik.

“Ketika ada kontestasi, ada dua cara untuk menarik massa. Yang positif dengan gagasan, sedangkan yang negatif dengan nyinyir (menyindir),” kata Ismail saat dihubungi, Senin (14/1).

Menurut Ismail, isu-isu publik yang berat, hanya bisa dinikmati oleh kelas elite saja. Sedangkan mayoritas masyarakat, kata Ismail, masih belum bisa menangkap isu-isu semacam itu.

“Massa pemilih tidak cerdas-cerdas amat, makanya nyinyiran (sindiran) lebih laku daripada gagasan,” ujar Ismail.

Hasil riset Ismail Fahmi terhadap pengguna Twitter yang difokuskan pada Universitas Indonesia. (Dokumentasi Ismail Fahmi).

Lebih lanjut, dia berujar, selama masa kampanye ini, kubu nomor urut 02 lebih sering menyindir daripada kubu nomor urut 01. Alasannya, menurut Ismail, kubu nomor urut 02 belum ada capaian. Maka, yang dilakukan hanyalah mengejek.

“Di Twitter, saya lihat omongan (warganet) tentang capaian (pemerintahan Jokowi) tidak menarik dibandingkan sindiran yang sifatnya emosional,” ujar Ismail.

Budaya sindir-menyindir ini tidak Ismail temui saat dia berkunjung ke beberapa negara di Eropa, seperti Estonia dan Finlandia. Menurutnya, sistem pendidikan dan perguruan tinggi ikut andil dalam menciptakan budaya saling sindir di Indonesia.

Ismail mengisahkan, dia pernah meriset tiga akun Twitter universitas di Amerika Serikat, seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT), Harvard University, dan Stanford University. Percakapan warganet dalam akun-akun tersebut masih terkait dengan keilmuan, seperti artificial intelligence (kecerdasan buatan) ataupun teknologi.

“Sebaliknya, di akun-akun Twitter universitas-universitas di Indonesia, percakapannya tak ada yang berbicara soal keilmuan. Percakapan kita miskin gagasan,” ujarnya.

Di sisi lain, menurut Ujang Komarudin, politik menyindir kubu lawan itu akan berbahaya. Sebab, bila lawannya menyerang balik, yang terjadi adalah politik akan diisi dengan pertentangan.

Lebih lanjut, Ujang menuturkan, saling sindir dan serang para politikus tak akan berpengaruh terhadap elektabilitas. Namun, berpengaruh terhadap psikologi masyarakat.

“Misalnya, masyarakat menjadi jenuh dan bosan atas kampanye yang ada,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid