Seberapa berpengaruh capres gaet suara gen Z dari media sosial?
Media sosial dimanfaatkan para capres sebagai wadah menyebar segala aktivitas mereka.

Putra Ramadhan, 23 tahun, sudah menjatuhkan pilihannya kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 mendatang. Ia menilai, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut sebagai sosok yang kuat karakter dan mentalnya, fasih berbahasa Inggris, dan mumpuni dalam berpolitik.
“Dari ucapan mantan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Prabowo yang paling ikhlas terhadap rakyat,” ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (15/10).
Namun, pekerja lepas itu mengakui, tak melihat sosok capres dari media sosial mereka. “Saya tidak mengikuti aktivitas para calon presiden itu melalui media sosial,” katanya.
“Kalau pun saya melihat mereka dari media sosial, saya tidak memperhatikan postingan yang aesthetics, feeds Instagram yang rapi, atau video-video lucu mereka. Tapi saya lebih memperhatikan Twitter mereka.”
Suara generasi Z
Putra memandang, semua tampilan yang dimunculkan di Instagram capres, baik Prabowo, Anies Baswedan, maupun Ganjar Pranowo merupakan cara untuk mendapatkan citra semata dari warga.
“Jadi, bukan informasi. Postingan yang mereka upload itu tentang kegiatan-kegiatan yang sedang atau setelah mereka lakukan,” tuturnya.
Di sisi lain, Putra percaya, semua unggahan di Twitter para capres berasal dari mereka sendiri. “Bukan dikerjakan oleh admin dari para capres tersebut,” kata dia.
Menurut Putra, selain dari media sosial, beberapa hal yang perlu dilakukan capres untuk menggaet generasi Z, antara lain debat atau diskusi, pendekatan dengan para tokoh senior atau terkenal, dan personal branding. Sedangkan yang terkait media sosial, ia menyarankan para kandidat melibatkan generasi Z dalam membuat konten.
“Gen Z dapat berpartisipasi dalam membuat video, gambar, atau tulisan, yang dapat memperkuat keterlibatan mereka dalam kampanye politik dan memberikan saran terkait karakter dari para capres,” ujarnya.
Di samping itu, ia menyarankan capres membuat platform aplikasi. “Jadi, dalam platform aplikasi ini, seorang capres dan gen Z dapat saling berkomunikasi dengan mudah dan aman. Dari sini, apres akan semakin mengerti apa yang dibutuhkan gen Z,” ucapnya.
Terpisah, Ravie, 23 tahun, berbeda pilihan dengan Putra. Karyawan swasta di Jakarta ini mantap menjatuhkan pilihan kepada Anies Baswedan di pilpres mendatang. Alasannya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu dalam pembuktian kerja, tak gembar-gembor seperti kandidat lainnya.
“Ibaratnya, beliau terlihat diam-diam, namun menghasilkan sesuatu yang bermanfaat,” kata dia, Jumat (13/10).
Ravie mengakui sebagai salah satu generasi Z yang melihat capres dari media sosialnya. Ia menilai, tampilan media sosial capres sudah cukup bermanfaat dalam memberikan informasi kepada masyarakat.
“Hampir seluruh anak muda Indonesia pasti memiliki media sosial. Hal ini bisa menjadi pembelajaran dalam berpolitik,” ujarnya.
Menurut Ravie, untuk mendapatkan hati anak muda memang harus mengikuti perkembangan zaman, salah satunya lewat media sosial. “Dengan hal tersebut, bisa mendapatkan suara dari anak muda, terutama gen Z,” kata dia.
Para capres, baik Ganjar, Anies, maupun Prabowo memang menggunakan media sosial untuk mengunggah aktivitas keseharian dan kegiatan politiknya. Di Instagram, akun Ganjar menjadi yang paling banyak diikuti dibandingkan dua kandidat presiden lain. Hingga Kamis (19/10) Ganjar punya pengikut 6,3 juta dan 7.532 unggahan.
Anies punya pengikut 6 juta dengan 4.767 unggahan. Sedangkan Prabowo memilki 5,9 juta pengikut dengan 1.015 unggahan. Di Twitter atau X, Anies lebih unggul jumlah pengikutnya dibanding Ganjar dan Prabowo. Anies punya 4,9 juta pengikut, Prabowo 4,6 juta pengikut, dan Ganjar punya 3,4 juta pengikut.
Di YouTube, Prabowo punya 23,8 ribu pelanggan dengan 147 video. Sementara Anies memiliki 387 ribu pelanggan dengan 1,1 ribu video. Jumlah tersebut sangat jauh dengan Ganjar yang punya 2,11 juta pelanggan dengan 2,2 ribu video.
Data Reportal menyebut, tahun 2023 terdapat 167 juta pengguna media sosial di Indonesia. Sebanyak 153 juta merupakan pengguna di atas usia 18 tahun.
Apakah efektif?
Pemerhati teknologi, telekomunikasi, dan informatika Heru Sutadi mengungkapkan, generasi Z sebagai kelompok yang melek teknologi, sudah terbiasa melakukan segala hal berbasis media baru. Termasuk melakukan analisis dan pencarian rekam jejak serta profil para capres di media sosial.
“Jadi, mereka sebetulnya generasi yang cukup kritis,” ujarnya, Jumat (13/10). “Sehingga mereka bisa menentukan mana yang menjadi pilihannya,” tuturnya.
Ia melanjutkan, setiap jenis media sosial yang dimanfaatkan capres punya kelebih dan kekurangan. Bagi Heru, saat ini Twitter sudah “masa lalu”. Alasannya, banyak robot dan anorganik, sehingga tak bisa dipertanggung jawabkan.
“Apa yang disampaikan di Twitter, hanya meraih isu tertentu saja, ada hoaks segala macam,” kata dia.
Lalu, Instagram bisa terlihat seperti apa kiprah capres. Lantas lewat TikTok, generasi Z bisa melihat pemikiran capres, walau sepotong-sepotong karena hanya video pendek. Sedangkan generasi Z lebih ingin melihat segala pemikiran capres secara utuh.
“Kalau saya melihat, YouTube ini yang bisa lebih dipakai untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran masa depan dari capres-cawapres dibanding yang soft video, ya,” kata Heru.
Dari media sosial, menurut Heru, generasi Z tak hanya melihat tampilannya saja. Akan tetapi, melihat secara menyeluruh.
“Melihat program-programnya. Perlu dicatat, gen Z akan menjadi generasi yang sangat peduli nasib Indonesia ke depan, khususnya dalam pembangunan berkelanjutan,” ucapnya.
Karenanya, kata Heru, generasi Z tak mau diwarisi program capres-cawapres yang akan memberatkan mereka di masa depan. “Jadi, tentunya dengan menggunakan media sosial, dapat menjadi hal yang cukup efektif dimanfaatkan capres-cawapres karena memang gen Z senang untuk menganalisis rekam jejak yang mereka dapatkan,” tuturnya.
Menurut Heru, tampilan media sosial capres yang bisa memengaruhi generasi Z adalah yang banyak mengungkapkan program-program mereka.
Sementara itu, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, penggunaan media sosial dari para capres masih belum dipastikan efektif menggaet suara generasi Z. Alasannya, konten yang dihasilkan di media sosial dilakukan pihak ketiga.
“Itu lebih digerakan secara profesional daripada ekspresi personal dari capres-capres yang ada,” ujarnya, Kamis (18/10).
“Tentu di sini berpengaruh terhadap engagement (interaksi) dari para capres dengan gen Z karena konten yang dihasilkan pihak ketiga bisa jadi belum merepresentasikan ikatan emosional antara capres dengan pemilih.”
Padahal, katanya, generasi Z ingin interaksi langsung dengan para capres. “Engagement yang dihasilkan akan berbeda karena bukan capres itu sendiri yang meng-upload postingan di media sosial,” ujarnya.
Wasisto menekankan, jika bicara potensi meraup suara lewat media sosial tergantung dari konten yang dihasilkan para capres. Ia melanjutkan, dalam memanfaatkan media sosial, tim dari capres pun perlu menyesuaikan platform media sosialnya. Sebab, konten di TikTok, Instagram, atau Facebook berbeda-beda. Setelah itu, baru dikreasi kembali, konten seperti apa yang cocok dan menarik.
“Dari situ, baru bisa menyentuh si gen Z. Karena gen Z itu sendiri juga beda-beda, kan. Ada yang mengharapkan interaksi visual maupun narasi di Facebook atau Twitter,” ucapnya.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Potret kebijakan stunting dan pertaruhan Indonesia Emas 2045
Senin, 27 Nov 2023 16:01 WIB
Euforia tanggal kembar: Bertabur diskon dan bebas ongkir di e-commerce
Kamis, 23 Nov 2023 14:19 WIB