Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah mengevaluasi keberadaan ormas yang meresahkan masyarakat. Sanksi tegas perlu diberikan kepada ormas yang terbukti terlibat aksi-aksi premanisme.
"Kalau memang terlibat aksi premanisme, ya, segera bubarkan. Jangan sampai negara kalah dengan aksi-aksi premanisme," ujar Puan kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (26/5) lalu.
Legalitas ormas merupakan ranah kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum. Sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2107 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), pemerintah berwenang membubarkan ormas tanpa proses pengadilan.
Terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Wira Satya Triputra mengatakan kepolisian siap menyuplai data ormas-ormas yang berperilaku meresahkan publik. Data itu dikumpulkan selama Operasi Berantas Jaya 2025.
"Kita bisa mengajukan, 'Ini loh datanya.' Sarannya seperti ini... Tetapi, untuk prosesnya, semua berada di Kementerian Dalam Negeri," kata Wira kepada wartawan di Jakarta, Senin (26/5).
Belakangan, kasus-kasus dugaan aksi premanisme yang melibatkan ormas kian marak. Di Tangerang Selatan, Banten, misalnya, GRIB Jaya dituding menduduki lahan milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dalam kasus itu, polisi sudah menetapkan belasan tersangka, termasuk sejumlah petinggi GRIB Jaya di Tangsel.
Selain GRIB Jaya, kasus-kasus dugaan aksi premanisme juga membekap Pemuda Pancasila (PP). Baru-baru ini, polisi menangkap 30 anggota dan pengurus PP karena mengintimidasi vendor lahan parkir di RSUD Tangsel.
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansah sepakat pemerintah harus sigap menertibkan ormas-ormas yang bermasalah. Ia khawatir keresahan publik memuncak dan berujung pada aksi main hakim sendiri.
"Biasanya gerakan yang berbasis keresahan seperti itu akan menghasilkan amok. Amok adalah sebuah ekspresi ketidaksukaan yang kemudian bisa divisualisasikan dalam bentuk tindakan yang bisa berujung pada kekerasan karena mampetnya ruang untuk diskusi dan dialog atau tumpulnya pedang hukum," kata Tantan kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Namun demikian, Tantan mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam memutus sumber pendapatan ormas. Pasalnya, kader-kader ormas yang kehilangan mata pencaharian bisa saja bertindak nekat dan anarkis. Sejak awal, banyak warga yang bergabung ke dalam ormas karena alasan finansial.
"Seharusnya juga pemerintah mendampingi ormas ini agar dia memiliki desain yang jelas bagaimana menghidupi organisasi itu. Karena mekanisme yang terlihat sekarang itu jelas akan bermasalah. Banyak orang (anggota ormas) yang memanfaatkan kewenangan itu hanya untuk menjadi backing atau hal-hal yang tidak perlu atau negatif yang akhirnya memperburuk citra ormas," kata Tantan.
Ormas yang bermasalah, lanjut Tantan, jangan buru-buru dibubarkan oleh pemerintah. Pembubaran ormas potensial memunculkan persoalan-persoalan kriminalitas yang mungkin jauh lebih sulit ditangani oleh aparat keamanan.
"Pemerintah harus memikirkan langkah-langkah antisipatif supaya dampak penertiban ormas tidak mendatangkan kondisi yang lebih parah, seperti (anggota ormas) menjadi pembunuh bayaran atau menjadi perusak aset seseorang," kata dia.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi sepakat penertiban ormas harus dilakukan dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan persoalan baru. Untuk anggota ormas yang memang terbukti melakukan kejahatan, polisi harus tegas.
"Selain itu, pemerintah juga jangan tebang pilih dan harus berlaku adil terhadap kelompok lain. Apalagi, diketahui orang- orang kuat ada di belakangnya," kata Josias kepada Alinea.id.
Josias mengatakan pemerintah dan aparat penegak hukum perlu mengantisipasi dampak susulan dari penertiban atau bahkan pembubaran ormas. "Tetapi, jika memang kriminal, tetap perlu ketegasan penegakan hukum," imbuh dia.