Ketergantungan terhadap teknologi artificial intelligence (AI) bisa bikin kemampuan otak menurun atau yang ngetren disebut brain rot. Studi terbaru yang digelar sejumlah peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan "pecandu" AI potensial mengalami kemalasan metakognitif.
Dalam studinya, para peneliti melibatkan 54 partisipan yang dibagi ke dalam tiga kelompok. Selama empat bulan, para partisipan diberikan tugas untuk membuat tiga esai. Kelompok pertama, menggunakan bantuan (AI). Kelompok kedua, mengandalkan mesin pencarian. Kelompok ketiga menggunakan otak mereka sendiri.
Tim peneliti lantas mengukur tiga hal, aktivitas otak sebagaimana diukur electroencephalography atau EEG, penggunaan bahasa, dan skor pengakuan mandiri. Hasilnya, tingkat EEG para partisipan yang menggunakan AI cenderung jauh lebih rendah.
"Kelompok ini (pengguna AI) juga punya kesulitan mengingat kutipan-kutipan dalam esai-esai yang mereka buat dan hanya sedikit merasa memiliki esai-esai itu," kata Nataliya Kosmyna, salah satu peneliti dalam riset itu.
Riset bertajuk "Your Brain on ChatGPT: Accumulation of Cognitive Debt when Using an AI Assistant for Essay Writing Task" dipublikasi di Jurnal Arxiv pada 10 Juni 2025. Selain Kosmyna, para peneliti dalam riset itu ialah Eugene Hauptmann, Ye Tong Yuan, Jessica Situ, Xian-Hao Liao, Ashly Vivian Beresnitzky, Iris Braunstein, dan Pattie Maes.
Pada tes terakhir atau pembuatan esai keempat, para partisipan diminta berganti posisi. Para partisipan yang menggunakan AI diminta hanya memakai otak mereka untuk membuat esai. Sebaliknya, yang sebelumnya tak memanfaatkan AI untuk membuat esai diperkenankan menggunakan AI pada tes terakhir.
Hasilnya, neural engagement atau pertukaran pikiran eks pengguna AI tetap rendah. Tingkat EEG mereka yang sebelumnya tak menggunakan AI selama produksi tiga esai pertama tetap tinggi. Artinya, ketergantungan terhadap AI mengakumulasi utang kognitif pada partisipan.
"Ketika mereka akhirnya diberi kesempatan untuk menggunakan otak mereka, para partisipan tak mampu mereplikasi engagement atau menunjukkan performa yang lebih baik ketimbang dua kelompok lainnya," tulis para peneliti.
Apakah temuan itu mengindikasikan pengguna AI cenderung semakin bodoh? Dalam sebuah artikel di The Conversation, dua peneliti dari University of South Australia, Vitomir Kovanovic dan Rebecca Marrone mengatakan kesimpulan riset tak bisa disederhakan seperti itu.
Kovanovic dan Marrone menilai desain riset yang disusun peneliti MIT mengakibatkan para partisipan yang dibantu AI cenderung rendah tingkat EEG-nya. Kelompok pengguna AI yang awal memproduksi tiga esai selama tiga kali tes. Kelompok itu keburu familiar dengan bantuan AI sebelum menghadapi tes terakhir.
"Ketika kelompok itu akhirnya diminta menggunakan otak, mereka hanya melakukannya sekali. Hasilnya, mereka tak mampu mengimbangi pengalaman kelompok lainnya," kata Kovanovic dan Marrone.
Tes terakhir juga menguntungkan kelompok "pengguna otak" di awal. Pasalnya, dalam tes itu, para partisipan diminta untuk menulis esai dengan menggunakan tema-tema yang sebelumnya sudah dijadikan esai.
"Mereka hanya menggunakan AI untuk mencari informasi baru atau memperbaik apa yang sudah ditulis," jelas Kovanovic dan Marrone.
Namun demikian, Kovanovic dan Marrone mengingatkan ketergantungan terhadap AI tetap berdampak buruk terhadap kemampuan seseorang memperoleh pengetahuan baru, terutama di dunia pendidikan. Apalagi, jika para pengajar tak memperharui standar kesulitan dalam tes untuk para siswa.
Sebagai ilustrasi, keduanya mencontohkan dampak penemuan kalkulator terhadap tingkat kesulitan tes. Setelah kalkulator diperbolehkan dijadikan alat bantu, tes untuk para siswa dipersulit supaya para siswa bisa memeras otak untuk menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks.
AI, kata mereka, bisa bikin brain rot jika tingkat kesulitan tes tak didongkrak. "Para siswa bisa membebankan tugas-tugas belajar krusial pada AI yang pada akhirnya menyebabkan kemalasan metakongnitif," imbuh Kovanovic dan Marrone.