Hujan belum musim, Mumbai sudah banjir: Siapa yang bertanggung jawab?
Pertanyaan “Siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan ini?” kembali menggema di Mumbai, ibu kota finansial India. Warga resah. Hujan lebat menyebabkan lumpuhnya kota bahkan sebelum musim hujan resmi dimulai.
Jalanan berubah menjadi sungai, kendaraan mogok, dan kawasan dataran rendah terendam air hanya dalam hitungan jam. Bahkan, stasiun metro bawah tanah yang baru dibangun tak mampu menahan derasnya air. Foto dan video stasiun yang dibanjiri air berlumpur menyebar luas di media sosial.
Bencana ini kembali menyorot rapuhnya infrastruktur Mumbai. Kemarahan publik pun memuncak, terutama di dunia maya.
Brihanmumbai Municipal Corporation (BMC), lembaga sipil terkaya di India yang bertugas mengelola infrastruktur Mumbai, awalnya menyalahkan sampah yang menyumbat saluran air dan puing proyek metro sebagai penyebab utama banjir, seperti dilaporkan The Hindustan Times.
Namun, tekanan publik membuat BMC akhirnya mengerahkan pompa penyedot air dan melakukan pembersihan saluran drainase secara manual di wilayah-wilayah rawan banjir. Bagi warga, langkah ini dinilai terlambat dan tidak menyelesaikan akar masalah.
Masalah banjir bukan hal baru di Mumbai, dan juga bukan masalah yang hanya terjadi di kota ini. Kota-kota besar lain seperti Delhi dan Bengaluru turut mengalami hal serupa setiap musim hujan. Jalan rusak, saluran air meluap, lalu lintas macet total, dan warga terjebak dalam kekacauan tahunan.
Ahli tata kota menilai bahwa akar persoalan ada pada pembangunan yang cepat dan tidak terencana, infrastruktur yang sudah usang, serta pengabaian terhadap lingkungan. “Ekspansi kota lebih cepat daripada evolusi sistem pendukungnya, terutama dalam sistem air dan drainase,” ujar arsitek dan perencana kota asal Delhi, Dikshu Kukreja.
Ia menambahkan bahwa banyak kota masih menggunakan sistem drainase lama yang dirancang puluhan tahun lalu. Sementara itu, lahan basah dan badan air yang dulunya menyerap air hujan kini telah ditimbun dan dibangun.
Di sisi lain, Bengaluru yang dulu dikenal karena sistem danau yang saling terhubung kini juga mengalami masalah serupa. Banyak danau di kota itu telah diserobot dan dijadikan kompleks apartemen serta pusat bisnis. “Lembah-lembah yang dulunya menjadi jalur air alami kini telah dipenuhi bangunan,” kata Ram Prasad, aktivis konservasi danau.
Prasad menyebut, Bengaluru sebenarnya berada di atas perbukitan dan tidak semestinya banjir. Namun, pembangunan yang melanggar aturan, seperti mendirikan bangunan di atas saluran air, memperburuk situasi.
Kondisi di Delhi pun tak kalah pelik. Jembatan Minto setiap tahun menjadi simbol kekacauan saat hujan lebat melanda. Bus dan truk kerap terjebak banjir di bawah jembatan tersebut. Tahun ini, Delhi mencatat curah hujan tertinggi di bulan Mei sejak 1901, dengan lebih dari 185 mm air turun, menurut data dari badan cuaca India.
Sedikitnya empat orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat dua badai besar yang melanda ibu kota pada bulan yang sama.
Hujan lebat tahun ini juga datang lebih awal di beberapa wilayah selatan India, menyusul terbentuknya depresi di Laut Arab bagian timur tengah yang menarik arus musim hujan, kata Mahesh Palawat, wakil presiden di Skymet, perusahaan prakiraan cuaca.
Bagi India, musim hujan membawa berkah sekaligus bencana. Sekitar 80 persen curah hujan tahunan terjadi antara Juni hingga September. Hujan ini sangat penting bagi jutaan petani yang tidak memiliki akses irigasi. Namun, perubahan iklim membuat hujan tak lagi bisa diprediksi. Banjir bandang, kekeringan, dan badai ekstrem kini terjadi lebih sering.
Tidak hanya kota besar yang terdampak. Di wilayah timur laut India, sedikitnya 30 orang tewas dalam banjir dan tanah longsor akibat hujan lebat akhir pekan lalu. Puluhan ribu warga terdampak dan operasi penyelamatan masih berlangsung.
Mumbai sendiri menghadapi tantangan geografis. Banyak wilayahnya berada di dataran rendah dan dekat dengan laut. Ditambah lagi, hutan bakau yang seharusnya menjadi penghalang alami kini banyak ditebang, dan lahan banjir diubah menjadi kawasan permukiman.
“Kerusakan ini sistemik – mulai dari perencanaan yang abai terhadap iklim masa depan, pelaksanaan yang buruk, hingga lemahnya penegakan aturan,” kata Kukreja. “Kemauan politik cenderung reaktif – baru bergerak setelah bencana, bukan mencegah dari awal.”
Lalu, mungkinkah masalah ini dicegah? Kukreja percaya bisa, asalkan pemerintah menerapkan strategi jangka panjang yang terkoordinasi. Ia menyarankan penggunaan pemetaan risiko dan sensor real-time untuk mendeteksi potensi banjir dan memberi peringatan dini. Namun, menurutnya, teknologi saja tidak cukup.
“Teknologi harus diiringi dengan tata kelola yang responsif dan keterlibatan masyarakat,” pungkasnya. Kota-kota India, tegasnya, perlu melampaui sekadar perbaikan cepat. Mereka membutuhkan perencanaan matang untuk membangun ketahanan jangka panjang terhadap cuaca ekstrem.


