Di lautan tropis yang hangat, ada satu makhluk raksasa yang selalu membuat manusia terpukau: hiu paus. Ia adalah ikan terbesar di dunia, bertubuh bisa mencapai 10 meter lebih, bertotol putih bak gugusan bintang di malam hari. Namun, di balik keanggunannya itu, terselip sebuah tragedi yang jarang disadari: benturan dengan kapal-kapal besar.
Selama ini, perhatian dunia lebih banyak tertuju pada paus kanan Atlantik Utara yang rentan tertabrak kapal karena sering berenang di permukaan untuk bernapas. Namun, riset baru mengungkap kenyataan lain: kapal-kapal yang sama juga mengancam hiu paus.
Dalam sebuah studi terbaru yang melibatkan lebih dari 75 peneliti lintas negara, para ilmuwan berusaha menghitung seberapa besar ancaman pelayaran terhadap hiu paus. Mereka memetakan titik-titik kumpulan hiu paus di 26 negara—disebut “konstelasi” karena totol putih di punggung hiu ini mirip gugusan bintang.
Peta itu kemudian dipadukan dengan jalur pelayaran kapal besar yang dipantau Global Fishing Watch, sebuah organisasi nirlaba yang menggunakan teknologi satelit untuk membuka transparansi tentang aktivitas laut.
Hasilnya? Ada tujuh wilayah utama di dunia yang paling berisiko: perairan Ekuador, Meksiko, Malaysia, Filipina, Oman, Seychelles, dan Taiwan. Di kawasan itu, jalur kapal niaga bertabrakan dengan habitat utama hiu paus.
“Untuk pertama kalinya, kami bisa memetakan sebagian besar konstelasi hiu paus secara global berkat kontribusi komunitas peneliti hiu paus,” kata Freya Womersley, penulis utama studi ini sekaligus peneliti dari Marine Research and Conservation Foundation dan University of Southampton, Inggris, seperti dikutip dari National Geographic, Kamis (2/10).
Paus dan hiu paus memang sama-sama sering berenang di permukaan laut. Bedanya, paus perlu ke permukaan untuk bernapas, sedangkan hiu paus tidak. Meski begitu, sekitar separuh hidup hiu paus dihabiskan di permukaan untuk mencari makan—terutama plankton. Dan di situlah risiko tabrakan dengan kapal meningkat drastis.
Michael Heithaus, ahli ekologi hiu dari Florida International University yang tidak terlibat dalam penelitian itu, mengatakan, “Data dari penandaan satelit hiu paus di berbagai belahan dunia menunjukkan betapa banyak waktu yang mereka habiskan di zona berisiko tinggi itu.”
Namun, ada satu alasan besar kenapa kematian hiu paus jarang disadari: tubuh mereka tenggelam begitu mati. Berbeda dengan mamalia laut yang mengapung atau terdampar di pantai, bangkai hiu paus hilang ke dasar laut. Karena itu, jumlah korban tabrakan mungkin jauh lebih besar dari yang bisa diamati.
“Hiu paus memang besar dan cukup tangguh. Kalau hanya luka ringan akibat kapal kecil, mereka bisa bertahan,” kata Heithaus. “Tapi kalau sudah ditabrak kapal kargo raksasa, mereka hampir pasti tidak selamat.”
Belum ada data pasti apakah jumlah kematian akibat kapal sudah memengaruhi populasi global hiu paus. Namun, para ilmuwan tahu satu hal: hiu paus berkumpul dalam jumlah besar di lokasi-lokasi tertentu. Misalnya, lebih dari 400 ekor muncul setiap tahun di Semenanjung Yucatán, Meksiko. Selain itu, hampir 500 individu telah diidentifikasi di perairan Madagaskar.
“Kami sedang berusaha menyusun kepingan puzzle satu per satu untuk melindungi spesies ini sebelum terlambat,” ujar Womersley.
Antisipasi tabrakan
Ada dua strategi sederhana yang terbukti efektif mencegah tabrakan dengan mamalia laut. Pertama, memperlambat kecepatan kapal. Kedua, mengubah jalur pelayaran kapal-kapal besar.
Dalam simulasi komputer, para peneliti menemukan bahwa menurunkan kecepatan kapal hingga 75% hanya menambah waktu perjalanan sekitar 5%. Namun, dampaknya signifikan: kapten kapal punya lebih banyak waktu untuk melihat hiu paus dan menghindarinya.
Simulasi lain menunjukkan bahwa mengalihkan rute kapal dari habitat inti hiu paus bahkan lebih efisien: rata-rata waktu perjalanan hanya bertambah 2,4 jam per kapal—hanya 0,5 persen dari total.
Heithaus sendiri terkejut dengan betapa kecilnya kompromi itu bagi industri pelayaran. “Ini benar-benar win-win solution. Kita bisa selamatkan hiu paus tanpa mengganggu roda ekonomi secara besar-besaran,” katanya.
Selain itu, hiu paus adalah spesies karismatik yang punya nilai ekonomi besar lewat ekowisata. Di banyak negara, wisata berenang bersama hiu paus menghasilkan jutaan dolar per tahun bagi komunitas pesisir. Maka, menjaga mereka hidup bukan hanya urusan ekologi, tapi juga keberlanjutan ekonomi lokal.
Pemerintah, kata Womersley, bisa menetapkan habitat hiu paus sebagai kawasan bebas kapal besar—baik permanen, musiman, atau berdasarkan jumlah hiu paus yang terpantau. Kebijakan semacam ini sudah berhasil diterapkan di Pantai Timur Amerika Serikat untuk melindungi paus kanan Atlantik Utara.
“Kita punya kewajiban moral untuk melindungi salah satu spesies paling indah dan karismatik di dunia,” tegas Womersley.
Ia mengingatkan, hiu paus sudah menghuni lautan selama jutaan tahun—jauh sebelum manusia ada. Kini, ironi pahitnya, justru manusia yang bisa menjadi alasan mengapa raksasa lembut ini menghilang dari muka bumi.