Keluarga di pusaran korupsi: Dari Riza Chalid hingga Ratu Atut
Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid (MCR) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023. Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR), putra Riza Chalid, sebelumnya sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
Meski berstatus tersangka, Riza Chalid belum ditahan karena diyakini masih berada di luar negeri. Total sudah ada 18 tersangka dalam kasus yang ditaksir merugikan negara hingga Rp285 triliun itu. Sebelum tersandung kasus ini, Riza Chalid juga disebut-sebut sebagai salah satu sosok yang terlibat dalam kasus suap PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) pada 2014.
Ini bukan kali pertama kasus korupsi melibatkan keluarga terjadi. Pada 2013, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka kasus penyuapan. Bersama adiknya, Tubagus Chairi Wardana, Atut belakangan terbukti menyuap Ketua MK Akil Mochtar untuk memenangkan sengketa Pilkada Lebak, Provinsi Banten.
Lalu, ada pula kasus Tubagus Iman Ariyadi yang divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp 1,5 miliar terkait izin amdal pembangunan Transmart di kawasan industri Cilegon. Iman ialah anak dari mantan Wali Kota Cilegon 2000-2005 dan 2005-2010 Aat Syafaat. Sebelumnya, Aat juga terjerat kasus korupsi.
Kasus korupsi yang melibatkan pasangan juga marak, semisal kasus Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin, kasus mantan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya Encek UR Firgasih, serta kasus rasuah yang melibatkan eks Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyitoh.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana mengatakan kasu-kasus korupsi yang melibatkan keluarga di Indonesia merupakan pola yang berulang. Ia mengingatkan agar aparat penegak hukum mewaspadai pola-pola semacam itu.
"Jika merujuk pantauan ICW benar adanya bahwa telah terjadi tren peningkatan terhadap kasus korupsi yang melibatkan anggota keluarga Dari 2015-2023, total ada 46 kasus korupsi yang melibatkan anggota keluarga, dengan peningkatan 6 kasus dari tahun 2022 ke 2023," kata Bagus kepada Alinea.id, Senin (14/7).
Selama periode 2015-2023, menurut Bagus, ada sebanyak 87 tersangka kasus korupsi yang memiliki hubungan keluarga dengan tersangka lainnya pada kasus yang sama. Modus utama pelibatan keluarga biasanya adalah pencucian uang hasil korupsi. Secara antropologis, keluarga dianggap bisa menyimpan rahasia "busuk" pelaku.
"Dalam konteks ini, anggota keluarga seorang koruptor itu di Indonesia posisinya rawan menjadi pelaku korupsi juga entah menjadi pelaku aktif pendukung karena diajak atau diseret ataupun pelaku pasif yang berperan sebagai penampung hasil korupsi. Di situlah letak kerawanannya," kata Bagus.
Menurut Bagus, karakter nepotisme di Indonesia yang kental pada ikatan keluarga belum begitu disadari para penyidik di lembaga antikorupsi. Padahal, aliran uang hasil korupsi punya kemungkinan menjelma menjadi aset lain yang kepemilikannya atas nama keluarga pelaku.
Di lain sisi, korupsi yang melibatkan keluarga juga potensial kain marak setelah KPK dilemahkan lewat revisi, revisi UU BUMN, dan normalisasi rangkap jabatan pada posisi-posisi jabatan publik. "Itu menjadi momentum penguatan kembali budaya nepotisme di Indonesia," kata Bagus.
Untuk memberantas praktik korupsi keluarga, Bagus menyarankan agar pengungkapan kasus-kasus rasuah disertai penggunaaan delik tindak pidana pencucian uang (TPPU). Selain itu, TII juga mengusulkan agar praktik korupsi tidak dibatasi dalam ruang diskusi berapa rupiah uang negara yang dicuri, tetapi juga pada bagaimana kekuasaan atau jabatan dipakai untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
"Maka, kasus-kasus seperti penunjukan vendor proyek pemerintah ke perusahaan keluarga pejabat, penempatan anggota keluarga pejabat sebagai direksi atau komisaris BUMN/BUMD, jabatan politik yang diturunkan secara turun temurun juga bisa kena. Sayangnya, di Indonesia masih limitasi di kasus TPPU saja," kata Bagus.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini membenarkan pola korupsi melibatkan keluarga terus berulang. Ia sepakat penyidik antikorupsi di setiap lembaga perlu mengaitkan kasus-kasus korupsi yang terjadi dengan delik TPPU.
"Jika case-nya melibatkan keluarga yang menerima hasil korupsi, tapi anggota keluarga tersebut tidak berada di lingkar kekuasaan, maka bisa dikenakan pasal TPPU sebagai penerima pasif," kata Orin kepada Alinea.id.
Penggunaan delik TPPU, kata Orin, tak hanya dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian negara, tetapi juga memberikan efek jera. "Kita mendorong agar penanganan kasus korupsi tidak hanya berfokus pada delik tipikor tapi juga diikuti dengan delik TPPU. Ini penting," imbuhnya.


