Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tiga tersangka sudah ditahan dan satu lagi masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Para tersangka dalam kasus itu, yakni Direktur Sekolah Dasar Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 2020-2021, Sri Wahyuningsi, Direktur SMP Kemendikbudristek, Mulyatsyah (MUL), staf khusus Mendikbudristek Bidang Pemerintahan, Jurist Tan (JT/JS), dan konsultan Kemendikbudristek, Ibrahim Arief.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung RI Abdul Qohar mengatakan dua tersangka Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah sudah ditahan di rutan. Meskipun sudah berulangkali dipanggil Kejagung, Jurist Tan belum ditahan karena saat ini masih berada di luar negeri.
"IBAM (Ibrahim) penahanan kota karena berdasarkan hasil pemeriksaan dokter ada gangguan jantung kronis," jelas Qohar kepada wartawan di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/7)
Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook ditaksir merugikan negara Rp 1,9 triliun. Menurut Qohar, perencanaan pengadaan Chromebook bahkan sudah dimulai sebelum Nadiem Makarim diangkat menjadi Mendikbub di sebuah grup Whatsapp berjudul ”Mas Menteri Core Team” yang dibuat pada medio Agustus 2019.
Anggota grup tersebut hanya bertiga, yakni Jurist Tan, Nadiem Makarim, dan Fiona Handayani. Sekira dua bulan setelah grup WhatsAap itu dibuat, Nadiem resmi diangkat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) jadi Mendikbud.
Di grup itu, dibahas rencana pengadaan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbud--sebelum berganti nomenklatur jadi Kemendikbudristek--sebagai persiapan jika nanti Nadiem diangkat sebagai menteri. Beberapa bulan berselang setelah Nadiem jadi menteri, Jurist Tan diangkat sebagai staf khusus Nadiem.
Menurut Qohar, Jurist Tan sempat mewakili Nadiem untuk membahas hal teknis terkait pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berupa sistem operasi Chrome dengan Yeti Khim dan Ibrahim Arief dari lembaga Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK).
Belakangan, Ibrahim diangkat jadi konsultan Kemendikbud. Dalam rapat daring pada 17 April 2020, Ibrahim mendemonstrasikan penggunaan laptop Chromebook. Ia diduga mengarahkan tim teknis untuk mengeluarkan hasil kajian teknis terkait keunggulan sistem operasi Chrome.
Pada 6 Mei 2020, Nadiem lantas menggelar rapat kecil bersama Jurist Tan, Sri Wahyuningsih, Mulatsyah, dan Ibrahim Arief. Ketika itu, menurut Qohar, Nadiem memerintahkan agar dilaksanakan pengadaan TIK tahun 2020 sampai 2022 menggunakan sistem Chrome OS dari Google.
"Semuanya (Kemendikbud) diperintahkan NAM (Nadiem) menggunakan pengadaan laptop dengan software Chrome. Tetapi, Chrome OS tersebut dalam penggunaan untuk guru dan siswa ternyata tidak mencapai optimal karena sulit digunakan guru dan siswa,” ujar Qohar.
Lantas, mengapa Nadiem tak turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu? Qohar berdalih penyidik menyatakan masih mendalami bukti-bukti. Salah satu yang ditelusuri adalah keterkaitan antara kebijakan itu dengan investasi Google di Gojek, perusahaan yang didirikan Nadiem diangkat jadi Mendikbud.
“Apa keuntungan yang diperoleh oleh NAM. Ini yang sedang kami dalami. Penyidik fokus ke sana, termasuk yang tadi disampaikan, yakni terkait adanya investasi dari Google ke Gojek,” ujar Qohar.
Dipertanyakan DPR
Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan akan memanggil Kejagung untuk meminta penjelasan secara langsung dari kejaksaan mengenai perkembangan kasus-kasus dugaan korupsi yang sedang mereka tangani, termasuk kasus Chromebook.
"Sejauh ini, baru diumumkan beberapa tersangka (dalam kasus dugaan korupsi Chromebook). Kami percaya pada proses hukum dan tidak ingin berspekulasi. Mungkin saja ini strategi kejaksaan sebelum melangkah lebih jauh,” ujar Hinca kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/7).
Selain itu, Hinca meminta agar Kejagung transparan dalam menyampaikan perkembangan kasus-kasus yang mereka tangani, termasuk soal potensi kerugian negara. Dalam beberapa kasus, menurut Hinca, Kejagung terkesan membesar-besarkan angka kerugian negara dalam kasus korupsi.
“Penegakan hukum itu sebaiknya tidak dibangun dari sensasi angka besar. Lebih baik lambat tapi akurat. Kalau memang kerugiannya setelah dihitung hanya sekian, ya sampaikan saja dengan jelas. Publik butuh kejelasan, bukan kejutan,” jelasnya.