close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi situs PoliceTube. /Foto Canva-AI generated content
icon caption
Ilustrasi situs PoliceTube. /Foto Canva-AI generated content
Peristiwa
Rabu, 23 Juli 2025 13:00

Polemik PoliceTube: Saat polisi bekerja sambil "ngonten"

Kepolisian berdalih tidak akan ada yang ditutup-tutupi dalam PoliceTube.
swipe

Bertepatan dengan Hari Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli 2025, Kepolisian RI (Polri) resmi meluncurkan situs PoliceTube. Berfungsi layaknya media sosial YouTube dan TikTok, PoliceTube merupakan platform berbagi video buah kerja sama Polri dengan PT Digital Unggul Gemilang. 

"Ini merupakan quantum leap atau lompatan besar bagi Polri dalam penyebaran kebaikan polisi, informasi-informasi bakti kepolisian, prestasi kepolisian, serta kinerja kepolisian untuk meningkatkan efek kepercayaan publik serta branding bagi reputasi institusi,” ujar Kadivhumas Polri, Irjen Sandi Nugroho kepada wartawan di Jakarta Selatan. 

PoliceTube kini sudah bisa diakses di laman policetube.id. Dari penelusuran Alinea.id di platform itu, penampakan PoliceTube mirip dengan tampilan Youtube. Sudah ada ratusan video yang tayang di situs itu. Isinya kinerja kepolisian di tingkat Polri, polda, polres, dan polsek.

Menurut Sandi, video-video yang ditampilkan PoliceTube merupakan kiriman dari semua unit di kepolisian, termasuk juga dari masyarakat. “Kejelekan polisi tidak ditutup-tutupi. Begitu pula dengan kebaikannya, perlu kami tampilkan,” jelas Sandi. 

Hingga kini, belum terungkap berapa anggaran yang dikeluarkan Polri untuk membangun PoliceTube. Namun, Polri diketahui menyediakan anggaran hingga Rp47,2 miliar untuk situs-situs mereka pada 2025. Porsi terbesar atau Rp39,6 miliar digunakan untuk pemeliharaan dan peremajaan website mediahub.polri.go.id.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto berpendapat terdapat logika yang janggal pada inisiatif Polri membuat PoliceTube. Menurut Bambang, motif pencitraan lebih kental ketimbang niat untuk melayani masyarakat. 

"Ada fallacy dalam kampanye kepolisian membangun image. Fallacy logic yang disebut argumentum ad verucundiam atau argumen hanya berdasar otoritas... Pada akhirnya, yang dilihat masyarakat adalah arogansi, dominasi," kata Bambang kepada Alinea.id, Selasa (22/7).

Yang dibutuhkan publik saat ini, kata Bambang, adalah bukti-bukti Polri melayani masyarakat secara nyata. Alih-alih memperbaiki citra Polri, Bambang menilai PoliceTube potensial jadi bumerang dan memperburuk kepercayaan publik kepada kepolisian. 

Sebagai basis argumentasi, Bambang menyinggung kasus mutasi Aipda Monang Parlindungan Ambarita pada 2021. Ketika itu, sanksi mutasi diberlakukan pada Ambarita setelah sebuah video aksi rutin Ambarita dan Tim Raimas Backbone viral di media sosial. 

Dalam video itu, Ambarita terlihat memeriksa paksa ponsel milik seorang warga yang kena razia. Aksi itu diprotes warganet lantaran polisi dianggap melanggar hak privasi warga sipil. Ambarita pun tak lagi rutin "ngonten". 

"Demikian juga dengan PoliceTube. Alih-alih membangun dialog, merespons harapan masyarakat, PoliceTube hanya komunikasi satu arah saja yang pada akhirnya dipersepsi publik hanya sekadar pencitraan," kata Bambang. 

Kepercayaan publik terhadap instansi kepolisian saat ini memang masih tergolong rendah. Dari 2020 hingga 2023, tingkat pelaporan ke polisi untuk tindak kriminalitas masih di kisaran 23%. Artinya, dari 100 korban, hanya 23 orang yang mau melaporkan kasus kejahatan yang mereka alami ke polisi. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat crime clock atau waktu antarkejahatan di Indonesia cenderung naik pada periode yang sama. Pada 2023, crime clock sebesar 53 detik. Itu berarti terjadi satu tindak kriminalitas setiap 53 detik. Pada 2020, angkanya di kisaran 2 menit 7 detik. 

Senada, pengamat kepolisian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Zaelany menilai PoliceTube buang-buang anggaran. Menurut dia, ada banyak kanal informasi yang bisa dimanfaatkan Polri untuk menyebarluaskan kinerja mereka.

Tak hanya itu, menurut Andy, personel-personel kepolisian juga potensial mendramatisasi kasus demi meningkatkan viewership konten-konten yang tayang di PoliceTube. Ia mencontohkan pelanggaran privasi publik yang pernah dilakukan Aipda Ambarita ketika memaksa meriksa ponsel warga.

"Pertama, apakah memberi manfaat langsung, menambah pengetahuan masyarakat? Kedua, ataukah sekadar pencitraan dan promosi lembaga Polri?" kata Andy kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (22/7).

Hal lain yang perlu disoroti, lanjut Andy, ialah proses pembuatan konten. Banyak konten di media sosial dibuat dengan melabrak etika-etika di ruang publik. 

"Apakah video itu dibuat dengan melanggar hak privasi orang lain, terjadi pemaksaan, video itu dibuat berbeda dengan situasi nyatanya yang ini berarti membohongi publik," ujar Andy. 

Andy khawatir PoliceTube hanya jadi ajang "gaya- gayaan" aparat polisi maka Police Tube. Konten yang dibuat juga akan lebih banyak berisi pencitraan. "Serta tidak mengindahkan etika. Maka hakikat PoliceTube hanya akan sia-sia," imbuh dia. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan