Kesaksian pengacara Marcella Santoso dalam sebuah video yang diputar pada konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (17/6) lalu, berbuntut panjang. Tiga hari setelah konferensi pers itu, Kejagung didatangi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Mayor Jenderal Kristomei Sianturi.
Kristomei mengatakan pernyataan Marcella dalam video berdurasi 4 menit 41 detik itu menyudutkan TNI. Saat ini, Marcella telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan perintangan penanganan perkara (obstruction of justice) dan uang titipan Rp 11,8 triliun dalam perkara dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
“Siapa sebenarnya aktor (unjuk rasa menolak RUU TNI) di belakang ini semua? Kenapa? Apa motivasinya mempermasalahkan RUU TNI," ujar Kristomei kepada wartawan di Gedung Kejagung.
Dalam tayangan video, Marcella mengaku telah mengunggah konten-konten video yang tidak berhubungan dengan penanganan perkara di Kejagung, termasuk di antaranya terkait kehidupan pribadi Jaksa Agung ST Burhanuddin. Marcella juga mengaku mensponsori petisi menolak revisi UU TNI dan Indonesia Gelap.
Dosen hukum hak asasi manusia dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Manunggal Kusuma Wardaya berpendapat sikap TNI berlebihan. TNI bukan penegak hukum yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk menyelidiki suatu kasus hukum di ranah sipil.
TNI, kata Manunggal, juga tak punya wewenang untuk menggarap kasus itu seandainya Marcella terbukti menyokong operasi menolak revisi UU TNI dan gelombang unjuk rasa bertema "Indonesia Gelap". Warga sipil punya menyatakan pendapat ketidaksetujuannya terhadap UU atau mendukung suatu gerakan demonstrasi.
"Kritik itu kan sudah menjadi rahasia umum dalam negara demokrasi. Rakyat yang berdaulat. Rakyat itu punya hak konstitusional untuk mengawasi jalannya pemerintahan, bagaimana kekuasaan dijalankan. Ingat demokrasi kita itu bukan hanya demokrasi formal," kata Manunggal kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Manunggal berpendapat TNI semestinya menahan diri tak lagi ikut campur dalam persoalan-persoalan yang terjadi di ranah sipil. Keberatan-kebaratan TNI, kata dia, cukup disampaikan kepada institusi terkait yang menang berwenang untuk menelusuri kasus-kasus hukum.
"Tidak ada relevansinya TNI menelusuri mereka . Maka kembalilah untuk menginsafi negara demokrasi karena demokrasi itu adalah keniscayaan yang wajar, dilindungi oleh konstitusi. Jadi, kita mari kembali kepada tradisi demokrasi," kata Manunggal.
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho menyebut kedatangan pejabat TNI ke Kejagung tak jadi soal jika niatnya hanya sekadar ingin tahu. Namun, TNI tidak bisa masuk lebih dalam proses penyidikan kasus tersebut.
"Jadi, boleh saja kalau memang ada hal yang ingin diketahui. TNI dan Kejaksaan Agung juga punya kerja sama. Tetapi, kalau ingin mendalami, ya, TNI tidak bisa. Kalau ada hal yang ingin diselidiki lebih dalam serahkan kepada aparat penegak hukum," kata Hibnu kepada Alinea.id.
Senada, dosen hukum pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar mengingatkan agar TNI tak berlebihan menanggapi testimoni Marcella. "TNI bisa kembali ke masa lalu dan itu pasti bertentangan dengan demokrasi," kata Fickar kepada Alinea.id.