sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bak melawan Goliat: Peluang partai baru vs lama jelang 2024

Pemilu masih tiga tahun lagi. Partai-partai baru bermunculan, cari peruntungan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 12 Agst 2021 13:40 WIB
Bak melawan Goliat: Peluang partai baru vs lama jelang 2024

Sekjen Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfudz Siddiq optimis, partainya bakal eksis di tataran politik nasional. Optimisme itu muncul usai Gelora tercatat sebagai satu-satunya partai baru yang memiliki elektabilitas di atas 1%, berdasarkan perhitungan lembaga survei Suara Milenial Institute yang dilakukan pada 15 hingga 22 Juli 2021.

Survei tersebut menggunakan metode random sampling, melalui telepon. Total responden yang berpartisipasi sebanyak 1.000 orang.

“Secara opini, alhamdulillah popularitas Gelora sudah mencapai 40%, dengan elektabilitas di angka 1.5%,” kata Mahfudz kepada Alinea.id, Senin (9/8).

“Sebagai partai baru, ini capaian yang menggembirakan dan menjanjikan."

Mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu yakin Gelora bisa bicara banyak dalam mengarungi politik nasional, terutama pada kontestasi 2024 mendatang.

“Gelora sudah punya modal bersaing melawan partai-partai mapan,” ujarnya.

Membangun basis massa

Mahfudz mengatakan, saat ini partainya sedang melengkapi struktur organisasi di tingkat kecamatan. Ia menyebut, Gelora sudah punya sekitar 80% dewan pimpinan cabang (DPC) di tingkat kecamatan, yang bakal terus ditambah untuk memperkuat basis partai berlambang gulungan ombak ini di daerah. Sisanya, kata Mahfudz akan dikejar hingga Oktober 2021.

Sponsored

“Sejak menerima SK Kemenkumham pada 2 Juni 2020, terus melengkapi struktur partai,” tuturnya.

“Kelengkapan struktur sampai 100% di kecamatan sangat penting bagi instrumen teritorial partai.”

Mahfudz mengaku, Gelora saat ini tinggal memikirkan strategi menarik simpati pemilih di Indonesia timur lantaran belum berhasil menancapkan pengaruh di wilayah tersebut.

“Kalau basis sebaran struktur (daerah lain) lengkap sampai dengan PAC (pimpinan anak cabang), relatif tersebar cukup merata,” katanya.

Saat ini, Gelora sudah mampu menghimpun 300.000 lebih kader dan bakal terus ditingkatkan, sebagai bekal pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi peserta Pemilu 2024.

 Beberapa petinggi Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq di sela-sela silaturahmi nasional Partai Gelora di Jakarta, Minggu (10/11/2019)./Foto Instagram partaigeloraid.

“Target kami, di setiap kabupaten/kota minimal ada 1.000 anggota,” ujar dia.

“Saat ini harus melengkapi semua persyaratan untuk daftar dan verifikasi KPU pada pertengahan 2022.”

Ia menuturkan, dalam menghimpun basis massa dan memikat simpati publik, Gelora memanfaatkan isu pandemi Covid-19 yang memicu krisis ekonomi. Isu tersebut, ujarnya, dikelola Gelora sebagai pintu masuk mengenalkan ide arah baru Indonesia di acara Gelora Talks yang disiarkan di kanal resmi Youtube mereka, Gelora TV.

Selain itu, elite-elite di Gelora juga rutin mendekati tokoh lokal untuk mendapatkan dukungan. Ia menyebut, dukungan tokoh lokal merupakan kunci mendulang suara di daerah.

“Bahkan salah satu kebijakan rekrutmen Gelora memang prioritas pada elite lokal atau daerah. Kekuatan elite daerah adalah modal dan aset penting kami," kata Mahfudz.

Kendati demikian, Mahfudz mengaku, bukan perkara mudah memperkuat basis massa di tengah pandemi Covid-19. Pasalnya, semenjak pandemi, kerja politik tak bisa dilakukan secara langsung, tetapi harus beralih ke digital.

Ikhtiar membangun basis massa juga tengah dilakukan Partai Masyumi “reborn”. Partai yang pernah dibubarkan Sukarno pada 1960 itu, kini mencoba peruntungan dengan menyasar pemilih muslim. Terutama massa Islam warisan Masyumi terdahulu.

“Jejak dari Masyumi di akar rumput lumayan memberikan dukungan,” ujar Sekjen Partai Masyumi, TB Massa Djafar saat dihubungi, Selasa (10/8).

Namun, meski bercorak Islam, Massa mengatakan, Masyumi juga tak mau terpaku dengan pemilih muslim. “Sebab, kami ingin membangun partai islam yang inklusif,” katanya.

Partai berlambang bintang dan bulan sabit ini, kata Massa, tak akan menjual sentimen ideologi untuk menarik simpati publik. Alasannya, Masyumi melihat lanskap politik kini sudah tidak cocok lagi dengan wacana sentimen ideologi.

“Kami ingin menawarkan partai yang lebih rasional. Maka, isu-isu yang bakal kami angkat adalah lapangan kerja, keadilan, ketimpangan, dan persatuan,” ujar Massa.

"Menurut kami, isu-isu itu terukur dan sangat mungkin dilakukan bila kami terpilih."

Massa menilai, isu ketimpangan tak terlalu menjadi perhatian partai-partai yang kini ada di DPR. “Kami ingin hadir sebagai penantang partai yang saat ini di DPR, yang sudah tidak bisa diharapkan lagi menjadi saluran politik masyarakat,” ujarnya.

Akan tetapi, ia menyadari, tak gampang bersaing dengan partai-partai mapan. Terlebih ada tantangan ambang batas parlemen 4%. Sehingga, Massa mengatakan, sementara Masyumi lebih mengejar tingkat keterkenalan ketimbang lolos ke Senayan.

Selama pandemi, Massa mengatakan, partainya banyak melakukan pendekatan ke publik dengan mengandalkan kampanye digital. Namun, ia belum mau bicara terkait jumlah kader Masyumi.

Sebagai partai baru, Massa mengaku Masyumi juga belum memiliki modal finansial yang besar untuk bisa bertarung di kancah politik nasional. Selama ini, sejak dideklarasikan pada 7 November 2020, Masyumi hanya mengandalkan dana swadaya.

“Bila berkaca dari pengalaman partai yang sudah didirikan, butuh biaya lebih dari Rp1 triliun. Tapi, kami ada modal sosial yang kuat, yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pokok,” kata Massa.

Masih ada peluang?

Amien Rais memperkenalkan logo Partai Ummat di kanal YouTube-nya, Selasa (10/11/2020)./Foto YouTube Amies Rais Official.

Tiga tahun menjelang pemilu, di samping Partai Gelora Indonesia dan Partai Masyumi, partai politik baru lainnya pun muncul. Pada 28 April 2021, Amien Rais mendeklarasikan Partai Ummat.

Ada juga Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas) yang dibentuk pada 11 Juli 2020, Partai Indonesia Terang (PIT) yang dideklarasikan pada 1 September 2020, Partai Usaha Kecil Menengah (UKM) yang dideklarasikan pada 10 November 2020, dan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang dideklarasikan pada 1 Juni 2021.

Dari pengamatan Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS) Arman Salam, partai politik baru masih agak sulit bersaing. Sejauh pengamatannya, belum ada partai debutan yang mampu menarik perhatian publik.

“Dalam pertarungan partai, ada banyak variabel yang diukur, mulai dari isu, tokoh, finansial, jaringan grass root, bahkan citra elitenya,” kata dia ketika dihubungi, Minggu (8/7).

Meski begitu, ia menyebut, politik di Indonesia sangat dinamis. Oleh karenanya, partai politik baru masih ada peluang bertarung pada 2024. Asalkan semua elemen pendukungnya dioptimalkan.

"Lakukan sosialisasi yang cerdas serta harus membawa isu yang seksi, berbeda dengan yang sudah diembuskan partai lama," kata Arman.

Arman melihat, partai baru bisa menjadi ancaman serius partai lama. Syaratnya, partai debutan mampu meracik strategi politik yang matang dan diterima rakyat.

"Ini kesempatan partai baru untuk unjuk gigi merebut simpati publik yang sudah hampir frustasi terhadap partai lama," ucapnya.

Ia pun menyarankan, partai baru lebih kreatif menggalang dukungan pemilih pemula, yang tak bisa lagi dijaring hanya mengandalkan cara lama. Dengan begitu, kata dia, tak mustahil bakal ada migrasi pendukung ke partai baru.

Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor memandang, kemunculan partai baru patut diapresiasi karena bisa menjadi harapan baru saluran politik rakyat.

"Kemunculan mereka menunjukkan masih ada keyakinan di tengah masyarakat bahwa demokrasi ini harus dipertahankan,” kata Firman saat dihubungi, Selasa (10/8).

“Walaupun kepercayaan terhadap partai-partai yang sudah ada, tidak bagus.”

Firman mengatakan, kendati belum sekuat partai yang ada di parlemen, partai debutan tetap memiliki peluang merebut simpati. Ada masyarakat yang masih membuka diri untuk munculnya partai-partai alternatif.

“Ada pula masyarakat yang masih menanti partai-partai lama mengubah dirinya menjadi lebih baik, dan sisanya adalah mereka yang tidak peduli dalam kehidupan politik," tuturnya.

Jika ingin bersaing dalam peta politik nasional, partai baru mesti memperkuat struktur di daerah dan eksis di tengah masyarakat. Maka, diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh anggota partai.

“Karena ini bukan persoalan yang mudah bagi partai baru,” ucap Firman.

Selain itu, dukungan finansial yang besar pun penting guna memperkuat struktur partai dan memikat publik. Alasannya, persoalan politik di daerah sangat kompleks. Terlebih, partai-partai baru harus berhadapan dengan partai-partai lama yang lebih dahulu menancapkan pengaruh.

“Untuk menggantikan pengaruh partai-partai lama merupakan hal yang tidak mudah,” kata Firman.

“Ada banyak daerah yang sudah menjadi basis partai besar.”

Bila ingin bertahan dalam kontestasi politik, menurut Firman, partai baru harus mempersiapkan basis massa yang cukup kuat di beberapa daerah. Ia menyarankan partai baru untuk kerja keras membangun jaringan.

“Membangun networking memang tidak mudah, tapi itu harus dilakukan,” tuturnya.

“Kalau sekadar ada kemudian menghilang, ya saya kira tidak perlu kerja.”

Lebih lanjut, Firman menyarankan, partai anyar sebisa mungkin merangkul tokoh daerah. Sebab, agak berat menarik simpati, bila cuma mengandalkan ketokohan di tingkat pusat.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra.

Firman juga mengingatkan, partai tak akan mendapat tempat di masyarakat bila hanya hadir saat menjelang pemilu. Sehingga, harus mampu bekerja sebagai mesin politik yang hidup dan berjalan di tengah masyarakat.

"Aspek ini suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Harus giat bergerak," kata dia.

Terlepas dari itu, Firman melihat, sejauh ini belum ada partai baru yang masif membangun hubungan dengan masyarakat. Ia memandang, rata-rata partai baru masih mengandalkan jaringan lama.

“Beberapa partai baru memang sudah mulai menggeliat, tapi hanya di wilayah-wilayah yang memang cukup baik kondisi kepengurusannya,” ujarnya.

Menurut dia, partai baru bisa mencontoh militansi PKS yang berhasil membangun sistem kaderisasi dan jaringan yang kokoh menunjang kekuatan partai. Ia menyebut, PKS memupuk jaringan politik lewat gerakan dakwah kampus, yang menelurkan kader-kader militan.

“PKS tidak banyak modal, tapi betul-betul bisa mengandalkan networking dan kader-kadernya. Secara struktur, partai juga tidak mengandalkan perorangan, tapi sistem,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid