sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Big data Luhut dipertanyakan, isu tunda Pemilu 2024 dipelihara

Big data harus terbuka secara metodologi karena gampang diduplikasi ulang

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 22 Mar 2022 09:21 WIB
Big data Luhut dipertanyakan, isu tunda Pemilu 2024 dipelihara

Pendiri Drone Emprit dan Media Karnels Indonesia Ismail Fahmi, meragukan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan perihal big data 110 juta suara netizen yang mendukung wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode. Menurutnya, analisis big data harus terbuka secara metodologi karena gampang diduplikasi ulang. 

"Dari sisi big data, adalah sangat tidak mungkin, impossible, dapat menetapkan data 110 juta suara netizen yang mendukung wacana penundaan pemilu dan tiga periode," ujar Ismail dalam sebuah diskusi daring pada Senin (22/3) malam.

Menurut Ismail, bagi para ahli informasi dan teknologi (IT) dan media sosial, sangat susah untuk bisa mengumpulkan data dari Facebook dan Instagram. Apalagi masyarakat umum biasanya tidak tertarik bicara soal-soal elitis misalnya tentang penundaan pemilu. 

"Di Twitter saja tidak akan dijumpai jumlah satu juta suara netizen tentang topik-topik elitis. Pada isu RUU Sisdiknas saja yang sangat penting, netizen tidak ada yang membicarakan. Padahal isu itu sama pentingnya dengan isu perpanjangan jabatan presiden," ujarnya.

Ismail menjelaskan, dalam bidang big data, tidak bisa hanya asal bicara ada big data 110 juta pendukung wacana penundaan pemilu dan tiga periode jabatan presiden. Semuanya harus bisa dibuktikan. 

Ketika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyebut ada 100 jutaan suara netizen, Drone Emprit langsung melakukan analisis big data. Ditemukan bahwa hasilnya hanya mencapai pada angka 20.000 saja di Twitter. 

"Pada periode analisis pendek netizen yang berbicara hal itu juga maksimal 10.000 saja. Itupun mayoritas menolak," ungkap dia.

Selain itu, kata Ismail, jejaring komunitas yang mempunyai perangkat big data dan lalu menganalisisnya dan membagikannya ke publik juga mengungkap hal yang sama. Misalnya Lab 45 yang dituding memasok data ke Luhut, pada 2021 juga telah lakukan analisis data. Hasilnya pun hanya 10.000-an saja di medsos yang bicara tiga periode jabatan presiden. "Itupun juga mayoritas menolak!," tegasnya. 

Sponsored

Di sisi lain, dari sampel data Drone Emprit yang diambil sejak Januari 2021 selama enam bulan hingga satu tahun, juga hasilnya tetap sekitar 23 ribuan suara netizen yang berbicara penunaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Dengan jumlah pengguna Facebook pada 2021 saja berkisar 140 jutaan orang, menurutnya tidak mungkin bisa disebut data 110 jutaan suara netizen (lebih dari 50 %) yang mendukung wacana penundaan pemilu dan tiga periode presiden. 

"Twitter saja dari 18 juta user jika 50 % ada 9 juta, jika dibandingkan dengan 20 ribu percakapan netizen masih sangatlah jauh," kata dia.

Oleh karena itu, Ismail mengatakan, harus dicegah jangan sampai big data digunakan oleh pemerintah untuk hal-hal tidak benar guna menyampaikan kepada publik yang memang tidak tahu apa-apa tentang big data.  "Data dari analisis big data harus terbuka metodologinya, jelas sumbernya, karena big data gampang sekali duplikasi ulang," bebernya.

Dia menambahkan, suara netizen yang menolak wacana penundaan pemilu masih yang terbanyak. Tetapi saat ini sedang dibangun dukungan dari lapangan di daerah-daerah dengan baliho dan spanduk-spanduk tiga periode presiden. 

"Mereka mengharapkan isu itu akan membesar dan akan dianggap sebagai isu yang didukung oleh banyak khalayak. Satu riset di Inggris menyatakan big data bisa digunakan oleh kekuasaan dan bisa menjelma menjadi alternatif penindasan di era digital, berkedok pembenaran kuantifikasi," ujar Ismail.

Sementara itu, Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto menyebut, isu penundaan Pemilu 2024 sebetulnya bukanlah isu menarik yang akan bertahan lama di media sosial. Ditengarai, isu ini bertahan karena ada yang memeliharanya agar tetap bertahan di medsos dengan tujuan untuk menjadi perbincangan publik.

"Isu artis yang sedang naik daun saja paling lama hanya bertahan beberapa minggu. Jika isu penundaan pemilu dan tiga periode presiden yang dapat bertahan lama selama satu tahun, maka bisa disimpulkan isu tersebut ada yang memelihara," ujar Wijayanto dalam diskusi yang sama.

Menurut dia, manipulasi opini publik adalah tren ruang publik digital yang bersamaan dengan kriminalisasi aktivis lewat undang-undang transaksi elektronik (ITE) dan tren serangan teros siber kepada para aktivis pro demokrasi, peretasan akun aktivis dan lain hal. 

"Terjadi juga premanisme digital, sebuah penanda lain dari manipulasi opini publik, yang disebut ciri dari otoritarianisme digital," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid