sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Data tak akurat berujung persoalan pangan di Indonesia

ORI menemukan dugaan maladministrasi dalam impor 500 ribu ton beras. Sedangkan impor 3,7 juta ton garam dianggap tak sesuai rekomendasi KKP.

Syamsul Anwar Kh
Syamsul Anwar Kh Senin, 29 Jan 2018 20:17 WIB
Data tak akurat berujung persoalan pangan di Indonesia

Akurasi data pangan pemerintah dipertanyakan. Dalam komoditas beras misalnya, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan gejala maladministrasi pada pengelolaan data persediaan nasional dan kebijakan impor. Bahkan, Ombudsman memaparkan gejala maladministrasi diantaranya terkait penyampaian informasi stok yang tidak akurat terhadap publik. Kemudian pengelolaan data tersebut diduga mengabaikan prinsip kehati-hatian, penyalahgunaan wewenang, dan adanya konflik kepentingan.

Pemeritah sendiri berniat mengimpor 500 ribu ton beras untuk memperkuat stok dan menekan harga komoditas tersebut.

Tak hanya beras, komoditas garam pun demikian. Usai rapat koordinasi pada Jumat 19 Januari lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan pemerintah siap mengimpor 3,7 juta ton garam industri. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan diharapkan industri mampu membuat perencanaan yang baik guna mendorong ekspansi bisnis.

Angka 3,7 juta ton pun dianggap sudah disesuaikan dengan kebutuhan garam industri per tahun. Sedangkan dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI pada Senin 22 Januari, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan impor garam sebanyak 3,7 juta ton tidak sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaganya.Bahkan, Susi mengingatkan berbagai pihak untuk tidak mempolitisasi permasalahan impor garam.

Merujuk pada dua persoalan itu, pemerintah diharapkan perlu lebih teliti dalam akurasi data pangan. Fungsinya, agar kebijakan ke depannya dibuat berlandaskan fondasi data yang kuat dan tepat sesuai dengan kondisi di lapangan.

"Ketidakakuratan data pangan sudah sering disuarakan sebagai salah satu penyebab permasalahan penanganan pangan," kata Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi seperti dikutip dari Antara, Senin (29/1).

Hizkia menduga, ketidakakuratan data pemerintah disebabkan antara lain karena parameter pengambilan samplingnya sudah ketinggalan zaman. Selain itu, kecermatan dalam enumerator (pengambil data) serta akurasi jawaban narasumber pun dianggap kurang tepat.

Selanjutnya, panjangnya distribusi data dari tingkat desa hingga ke pusat juga disebut berpotensi menimbulkan ketidakakuratan. Alhasil, sering terjadi perbedaan data komoditas pangan antara satu institusi dengan institusi lainnya di Tanah Air.

Sponsored

"Namun masalah ini tidak juga menemukan solusi dan malah berulang lagi. Permasalahan ini kembali dibahas seiring dengan kebijakan impor yang diambil pemerintah terhadap suatu komoditas," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid