sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Demokrat respons PDIP soal BBM: Dulu menangis, sekarang malah mendukung

Perbandingan kondisi kenaikan BBM dengan masa SBY dianggap tidak masuk akal.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 08 Sep 2022 15:29 WIB
Demokrat respons PDIP soal BBM: Dulu menangis, sekarang malah mendukung

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Irwan, merespons pernyataan politikus PDI Perjuangan, Adian Napitupulu, agar kader perlu belajar sejarah perihal polemik kenaikan harga BBM. Menurut Irwan, yang perlu belajar sejarah seharusnya Adian. Sebab PDI Perjuangan pernah menangis lantaran menolak kenaikan BBM di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Saya kira Bung Adian perlu belajar sejarah lagi. Jangan mendadak buta dan tuli sejarah. Jasmerah kata Bung Karno," ujar Irwan kepada wartawan, Kamis (8/8).

Irwan mengatakan, di era Presiden SBY, PDI Perjuangan menolak kenaikan BBM, bahkan hingga menangis dan mengkonsolidasi massa di jalanan. Faktanya, kata dia, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), PDI Perjuangan justru malah mendukung.

"Sementara harga minyak dunia turun sedangkan komponen utama harga BBM dari harga minyak dunia dan kurs yang berlaku. Masyarakat saat ini sedang susah, terkena dampak kondisi global. Harusnya masyarakat dibantu, bukan malah diminta ikut menanggung. Kita baru akan pulih pasca Covid-19," kata Irwan.

Irwan kemudian mengkritik Adian yang membandingkan kemampuan beli masyarakat di era SBY dan era Jokowi. Sebelumnya, Adian mencontohkan upah minimum DKI Jakarta di era SBY yakni Rp2.200.000 pada 2013. Dengan BBM harga Rp6.500 per liter maka upah satu bulan hanya dapat 338 liter per bulan.

Sedangkan, di era Jokowi hari ini, kata Adian, meski harga BBM Rp10.000, namun upah minimum Rp4.641.000 per bulan. Dengan demikian, tegas Adian, di era Jokowi setiap bulan upah pekerja senilai dengan 464 liter BBM.

Iwan menilai logika Adian menyamaratakan kemampuan beli masyarakat keliru. Sebab, upah minimum di setiap daerah berbeda-beda. Sedangkan harga BBM sama secara nasional (simetris).

"Cara pikirnya tidak NKRI. Bagaimana nasib masyarakat dengan UMP yang tergolong kecil? Mereka tentunya akan kesusahan dengan kebijakan kenaikan harga BBM ini. Harusnya pemerintah memikirkan juga dampak asimetrisnya dari berbedanya UMP dan kemampuan masyarakat kita. Jadi, perlu belajar matematika lagi," tutur dia.

Sponsored

Partai Demokrat menilai, menaikan harga BBM bukan solusi untuk saat ini. 

"Karena saat ini kita baru pulih pasca-Covid. Ibarat orang yang baru sembuh dari sakit, belum sembuh benar, sudah disuruh berlari sekencang-kencangnya. Bisa jatuh kita," ucapnya.

Selain itu, kenaikan BBM di era SBY, menurut Irwan, dilakukan dengan hati-hati. SBY meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan meningkatnya pendapatan per kapita 13%, pertumbuhan ekonomi sampai 6%, pengangguran turun 5,7%.

"Daripada menaikan harga BBM saat ini, lebih baik membangun sistem subsidi BBM yang tepat sasaran. Menurut pemerintah sendiri, permasalah BBM ini adalah soal tidak tepat sasaran. Seharusnya masalah ini yang diperbaiki dan dicari solusi, kenapa harus dinaikan BBM-nya dan harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia yang berbeda-beda kemampuan daya belinya di setiap kabupaten/kota?" ucap Irwan.

Berita Lainnya
×
tekid