sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

DPR sahkan RUU Otsus Papua, Ini poin penting perubahannya

Terdapat 24 pasal yang mengalami perubahan dari 3 pasal yang diusulkan pemerintah.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 15 Jul 2021 13:58 WIB
DPR sahkan RUU Otsus Papua, Ini poin penting perubahannya

DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus (RUU Otsus) Papua menjadi undang-undang (UU), Kamis (14/7). Terdapat sejumlah perubahan yang mengatur bidang politik, pendidikan, ekonomi, dan ketenagakerjaan orang asli Papua (OAP) yang diharapkan meningkatkan kesejahteraannya.

"Kami menanyakan kepada setiap fraksi, apakah RUU tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" kata Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dalam rapat paripurna, beberapa saat lalu.

"Setuju," jawab kompak para peserta rapat. Dasco lalu mengetuk palu tanda disahkannya RUU Otsus Papua.

Dalam laporannya terkait hasil pembahasan RUU Otsus Papua, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Otsus Papua, Komarudin Watubun, menjelaskan, kronologi pembahasannya. Diawali dari usulan pemerintah dengan memuat perubahan pada tiga pasal, yakni Pasal 1, Pasal 34, dan Pasal 38 yang memuat materi mengenai dana otsus dan pemekaran wilayah.

Namun, berdasarkan hasil rapat dengar pendapat (RDP) dan rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang dilaksanakan pansus, terdapat perbedaan pandangan di antara fraksi-fraksi di DPR. Dewan berpendapat, persoalan di Papua tidak dapat diselesaikan hanya melalui tiga pasal tersebut.

"Pada akhirnya (ditambahkan) sebanyak 15 pasal di luar substansi yang diajukan presiden, ditambah dua pasal substansi materi di luar undang-undang dapat diakomodir oleh pemerintah dalam perubahan UU Nomor 21 tahun 2001 sehingga terdapat 18 pasal yang mengalami perubahan, ditambah dua pasal sehingga jumlahnya 24," paparnya.

Menurut Komarudin, terdapat sejumlah perubahan penting dalam UU Otsus Papua. Pertama, mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan bagi OAP dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perekonomian serta memberi dukungan terhadap pembinaan masyarakat adat.

Dalam bidang politik, dia menjelaskan, peran OAP diperluas dalam rangka di DPRK, sebuah manufaktur baru pengganti DPRD yang diinisiasi dalam UU. Menegaskan pula, bahwa fungsi pengakatan DPRK tidak boleh diisi partai politik (parpol), mengafirmasi 30% perempuan, dan berlaku untuk DPRK provinsi.

Sponsored

Dalam pendidikan dan kesehatan, mengatur tentang kewajiban pemerintah pusat hingga daerah untuk mengalokasikan dana pendidikan dan kesehatan bagi OAP. "Dengan demikian, orang asli Papua dapat menikmati pendidikan dan tingkat kesehatan orang asli Papua juga semakin meningkat secara signifikan."

Selanjutnya, dalam bidang ketenagakerjaan dan perekonomian, Pasal 38 menegaskan, wajib mengutamakan OAP dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Papua sehingga anak-anak asli "Bumi Cenderawasih" yang memenuhi syarat pendidikan dapat direkrut.

Lalu, bidang pemberdayaan diatur dalam Pasal 36 ayat (2) huruf d. Isinya, sebesar 10% dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat.

Mengenai lembaga MRP dan DPRP, memberikan kepastian hukum masing-masing institusi berkedudukan di ibu kota provinsi. Regulasi juga memberikan penjelasan soal penamaan masing-masing lembaga agar administrasi pemerintahan menyebutkan nama untuk kegunaan administrasi pemerintahan.

"RUU juga memberikan penegasan, bahwa anggota MPR dan DPRP tidak boleh dari partai politik," tegasnya.

Berikutnya, parpol lokal diatur dalam Pasal 28. Selama ini, ungkap Komarudin, hadirnya parpol lokal di Papua yang diartikan menimbulkan kesalahpahaman antara pemda dan pusat.

Agar tidak terjadi perbedaan pandangan, RUU ini mengadopsi putusan MK Nomor 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2).

"Sebagai wujud kekhususan di Papua, maka keanggotan DPRP dan DPRK selain dipilih juga diangkat dari unsur orang asli Papua. Dengan tersedianya ruang pengangkatan, hal ini dapat memenuhi keinginan nyata orang asli Papua. Saya hitung-hitung semalam, ada sekitar 250 kursi untuk seluruh kabupaten/kota," katanya.

Keempat, dana otsus. Komarudin mengklaim, pansus menyadari persoalan otsus Papua bukan semata-mata mengenai besaran dana sekalipun negara sepakat menaikkanya menjadi 2,25% dari 2%.

RUU juga memperkenalkan sebuah tata kelola baru dalam penggunaan dana otsus. Pertama, pencairan dilakukan dengan skema penerimaan umum dan berbasis kinerja.

"Penerimaan berbasis kinerja ini mengatur, bahwa sebesar minimal 30% dialokasikan untuk pendidikan dan 20% untuk kesehatan," ujar dia.

Selain itu, RUU mengatur indikator dalam penerimaan dana otsus, termasuk memperhatikan jumlah OAP, tingkat kesulitan geografis, dan indeks kemahalan.

Ketiga, mekanisme pembagian dana otsus melibatkan pemerintah pusat dan provinsi. Keempat, hadirnya rencana induk (grand design) yang ditetapkan Bappenas. Perubahan tata kelola dana otsus diharapkan mengurai berbagai persoalan pembangunan selama ini.

Kelima, hadirnya lembaga khusus seperti badan percepatan pembangunan Papua (PPP) yang dikepalai Wakil Presiden (diatur Pasal 68). Komarudin menyatakan, negara menyadari, banyak program yang dilakukan kementerian dan lembaga di Papua selama ini tidak sinkorn.

Ketujuh, pansus dan pemerintah berkomitmen menghadirkan peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) paling lambat 90 hari kerja dan penyelesaian perdasi dan perdasus diberi waktu 1 tahun.

"Penyusunan peraturan pemerintah dikonsultasikan ke DPR dan DPRD dan pasukan dari pemerintah Papua dan Papua Barat," pungkas Komarudin.

Berita Lainnya
×
tekid