sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kabar bohong dan upaya delegitimasi KPU

Pekan ini, jagat media sosial diwarnai oleh kabar bohong mengenai tujuh kontainer berisi surat suara yang telah dicoblos.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Sabtu, 05 Jan 2019 21:43 WIB
Kabar bohong dan upaya delegitimasi KPU

Pekan ini, jagat media sosial diwarnai oleh kabar bohong mengenai tujuh kontainer berisi surat suara yang telah dicoblos untuk salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019. Setelah kabar tersebut beredar, Komisi Pemilihan Umum (KPU) langsung bergerak menuju Pelabuhan Tanjung Priok untuk mengecek informasi tersebut.

Kesimpangsiuran tersebut sampai pada kesimpulan ada kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2019. Rektor Universitas Paramadina Firmanzah, menangkap fenomena hoaks tersebut sebagai gambaran masyarakat yang semakin sensitif.

"Masyarakat yang semakin sensitif tersebut lantaran tumbuhnya ketidakpercayaan karena pembelahan masyarakat yang terjadi sejak Pemilu 2014, lalu ditambah dengan residu Pilkada DKI Jakarta 2017," kata Firmanzah di Jakarta Pusat, Sabtu (5/1).

Sementara, Sigit Pamungkas, Komisioner KPU 2012-2017 melihat kabar bohong tersebut sebagai tekanan politik yang menyerang KPU. "Walaupun KPU mampu mengatasi kabar bohong tersebut, publik sudah terlanjur tidak percaya," kata Sigit.

Sigit mengutip dari survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyimpulkan kepercayaan publik pada KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menurun di bawah angka 70%.

Sigit melanjutkan, KPU mesti bersikap responsif dan terbuka untuk menghadapi tantangan tersebut. Tantangan yang dihadapi KPU saat ini menurut Sigit, adalah adanya perubahan konteks penyampaian informasi kepada masyarakat.

"Perubahan konteks ini yang harus direspons oleh penyelenggara pemilu. Kalau dulu kan informasi itu turun perlahan-lahan, sekarang turun bebas. Ini yang harus direspons oleh penyelenggara Pemilu," ujar Sigit.

Selain itu, menurut Sigit, komisioner-komisioner KPU harus lebih sensitif daripada pendukung calon-calon presiden. "Jangan sampai menggunakan jurus lama untuk menghadapi situasi baru," kata Sigit.

Sponsored

Semantara itu, Sigit melihat langkah KPU yang segera bertolak ke Pelabuhan Tanjung Priok dan mempolisikan penyebar hoaks tersebut adalah langkah yang tepat. Sebab, setiap hoaks harus direspons dan dilaporkan agar tidak terulang kembali.

"Ketika isu itu sudah tertanam di benak publik, maka akan sulit untuk membongkar kembali. Akan senantiasa ada orang yang mendelegitimasi kinerja KPU agar publik tidak percaya terhadap apa yang KPU lakukan," jelas direktur eksekutif Netgrit tersebut.

Hoaks, lanjut Sigit, akan merusak segala kinerja baik yang telah dilakukan penyelenggara Pemilu sehingga jadi tidak berguna.

"Jika tak segera direspons, hoaks tersebut akan berpengaruh pada hasil Pemilu. Hasil Pemilu tersebut bisa digugat di Mahkamah Konstitusi karena adanya ketidakpercayaan pada penyelenggara Pemilu," ujar Sigit. 

Diskusi publik "pemilu harus bermutu" di Jakarta Pusat, Sabtu (4/1). (Foto: Annisa Saumi/ Alinea.id)

Demokrasi tak sebatas pemilu

Baik Sigit maupun Firmanzah sepakat, Pemilu bukanlah puncak dari proses demokrasi. Firmanzah bahkan menyebut fokus masyarakat yang terjebak pada Pemilu adalah fokus yang artifisial.

"Yang jauh lebih penting adalah setelah penyelenggaraan Pemilu, bagaimana pelaksanaan kekuasaan tersebut," ujar Firmanzah.

Firmanzah melihat Pemilu sebagai salah satu fase dalam politik. Ia menyarankan masyarakat untuk berhenti hidup dalam fase Pemilu.

"Kalau kita sudah yakin demokrasi itu jalan terbaik, ada satu kunci, yaitu sikap kerelaan baik mereka yang berkontestasi maupun pendukungnya. Siapapun yang meraih suara terbanyak, itu pemimpin kita," ujar Firmanzah.

Sementara itu, Sigit mengatakan jika penyelenggara Pemilu tidak segera mengambil inisiatif, pembelahan dalam proses pemilu ini akan jadi primordial, bukan ideologis.

"Itu akan membuat bangsa kita tidak dalam posisi yang baik. Kalo di negara yang demokrasinya mapan itu kan terjadi pembelahan ide. Sedangkan di sini tidak, sehingga penyelenggara Pemilu harus mengambil peran. Mereka harus responsif," kata Sigit.

Berita Lainnya
×
tekid