sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenaikan harga BBM jadi bahan Demokrat-PDIP "berkelahi"

Presiden Jokowi resmi menaikkan harga ketiga jenis BBM pada 3 September 2022.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Rabu, 07 Sep 2022 17:24 WIB
Kenaikan harga BBM jadi bahan Demokrat-PDIP

Selain berdampak terhadap perekonomian, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga memicu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat saling melempar kritik. Mulanya, cibiran disampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat, Andi Arief, Selasa (6/9).

Melalui akun Twitter @Andiarief__, dia mengakui, Presiden ke-6 RI sekaligus eks Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sempat menaikkan harga BBM hingga 4 kali. Namun, diikuti penurunan harga setelahnya.

Pernyataan tersebut disampaikan merespons keterangan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, tentang kenaikan harga BBM oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) per 3 September 2022. Baginya, statement Hasto aneh.

"Mengapa Sekjen Hasto menyatakan, bahwa dia menyayangi rakyat, tapi memahami kenaikan BBM? Ini sifat yang cukup aneh," twitnya. "Bagaimana mungkin pro rakyat, tapi setuju dengan kenaikan BBM?"

Gayung bersambut, kata berjawab. Giliran kader PDIP, Adian Napitupulu, yang membalas. Dia juga mengkritik rencana Partai Demokrat menerjunkan kader-kadernya untuk mengadakan aksi menolak kenaikan harga BBM.

"Saya menyarankan agar kader Demokrat untuk bisa belajar matematika dan belajar sejarah sehingga jika membandingkan, maka perbandingan itu logis tidak antilogika dan ahistoris," tuturnya, Rabu (7/9).

Adian lalu membandingkan kenaikan harga BBM rezim SBY dengan Jokowi. Sepanjang 2004-2014, terangnya, total kenaikan harga BBM jenis Premium mencapai Rp4,690, sedangkan petahana hanya menaikkan harga Pertalite Rp3.500.

"Jadi, SBY menaikan BBM lebih mahal Rp1.190 dari Jokowi," ujar anggota Fraksi PDIP DPR ini.

Sponsored

Di era SBY, lanjut Adian, upah minimum, semisal DKI Jakarta, Rp2,2 juta pada 2013. Dengan BBM harga Rp6.500/liter, maka upah sebulan setara 338 liter. 

Sementara itu, upah minimum di Jakarta 2022 pada era Jokowi mencapai Rp4,641 juta/bulan dan harga Pertalite Rp10.000 liter. Dengan demikian, upah sebulan bisa mendapatkan 464 liter. "Jadi, ada selisih kemampuan upah membeli BBM antara SBY dan Jokowi sebesar 126 liter," katanya.

Selain itu, Adian sesumbar, mafia migas terorganisasi pada era SBY. Disebutnya Petral, yang embrionya sudah ada sejak awal Orde Baru (Orba), 1969, dan beroperasi penuh mulai 1971. Sedangkan rezim Jokowi, klaimnya, membubarkan Petral pada 2015 atau 6 bulan setelah dilantik sebagai Presiden.

Lebih jauh, dia menerangkan, SBY hanya mampu membangun 193 km jalan tol. Sementara itu, Jokowi telah membangun hampir 10 kali lipatnya, persisnya 1.900 km.

"Kalau mau dihitung lebih detail lagi dari jalan tol, jalan nasional nontol, jalan propinsi, jalan kabupaten, hingga jalan desa, [totalnya] sepanjang 304.490 km. Maka, setiap detik Jokowi membangun tidak kurang dari 1,5 meter jalan kali lebar yang berbeda-beda," bebernya.

"Dari perbandingan-perbandingan angka-angka tersebut di atas, maka era SBY tentunya merupakan era kesedihan bagi semua orang kecuali mereka yang berkuasa saat itu," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid