Keresahan Mega cs dan menguatnya skenario kongsi Ganjar-Anies
Ketua Umum (Ketum) PDI-Perjuangan (PDI-P) Megawati Sukarnoputri mendadak muncul di kanal Youtube PDI-P, Ahad (12/11). Mengenakan kemeja berwarna putih, Mega mengaku harus bersuara untuk menyoroti situasi politik terkini menjelang Pilpres 2024.
Dalam monolognya, ia menyoroti skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Ia juga mengapresiasi keputusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang mencopot Ketua MK Anwar Usman dari jabatannya.
"Putusan MKMK telah memberikan cahaya di tengah kegelapan situasi demokrasi Indonesia... Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini telah menyadarkan kita semua bahwa berbagai manipulasi hukum kembali terjadi," kata Presiden RI ke-5 itu.
Anwar dianggap melanggar etik karena terlibat dalam merancang putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Oktober lalu. Putusan itu merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu. Putusan itu membuka jalan bagi Gibran untuk maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Mega juga mengingatkan agar publik berperan aktif dalam menjaga pemilu 2024 dari segala bentuk kecurangan. Ia menyebut gejala kecurangan sudah mulai terlihat. "Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi," kata putri Sukarno itu.
Seolah senada, putusan MK juga jadi tema yang disinggung bacapres Ganjar Pranowo dalam video yang diunggah di akun Instagram terverifikasi @ganjar_pranowo, Minggu (12/11). Ganjar meminta publik tak hanya diam menyikapi putusan yang bermasalah itu.
"Indonesia kita masih sangat panjang perjalanannya. Saya berharap masa depan Indonesia dapat dibangun dengan fondasi dan nilai-nilai luhur bangsa tanpa tendensi apa pun yang mencederai demokrasi dan keadilan," kata politikus PDI-P itu.
Direktur Nusakom Pratama Institute, Ari Junaedi menilai pernyataan Ganjar dan Megawati mengindikasikan kecemasan akan penyelenggaraan pemilu ke depan. Kecemasan itu berusaha "ditularkan" ke masyarakat lantaran mayoritas publik seolah tak peduli terhadap rekayasa hukum yang terjadi di MK.
"Ganjar berkomentar seperti itu karena melihat fenomena masyarakat itu acuh. Masyarakat tidak mengetahui dampak buruk ke depannya. Putusan MK nomor 90 itu menjadi titik balik, bagaimana hukum dikadali, bagaimana hukum direkayasa. Pernyataan Megawati itu linear dengan pernyataan Ganjar," kata Ari kepada Alinea.id, Minggu (12/11).
Ari menyebut putusan MK nomor 90 merupakan lampu kuning bakal kembali munculnya otoritarianisme sebagaimana era Orde Baru. Apalagi, instrumen negara telah digunakan untuk pemenangan calon yang disokong Istana. "Bahkan, menurut saya, sudah lampu merah karena instrumen negara membuat demokrasi tidak berjalan lagi," imbuhnya.
Keresahan serupa seolah dirasakan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Dalam pidato pada perayaan HUT NasDem ke-12 di Jakarta, Surya mengingatkan bahwa rakyat tak akan diam saja jika pemilu dipenuhi kecurangan.
"Hari-hari ini kita menyaksikan betapa banyaknya upaya membawa negara dan aparaturnya melayani kepentingan pribadi dan golongan," ungkap Surya dalam pidato singkatnya di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Sabtu (11/11).
Keresahan terkait pemilu juga disuarakan tokoh demokrasi dan pluralisme yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang (MPR). Di kediaman tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Mustafa Bisri, mereka juga menyuarakan kekhawatiran terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024.
Tokoh-tokoh itu, antara lain budayawan Goenawan Muhammad, agamawan Antonius Benny Susetyo atau yang akrab disapa Romo Benny, Omo Komaria Madjid, mantan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, dan Erry Riyana Hardjapamekas.
"Karena apa yang terjadi di MK itu pemaksaan kehendak yang sekarang ini sudah mulai terstruktur sistematis dan masif. Tokoh-tokoh di Rembang itu kan mereka tidak terafiliasi dengan tokoh politik. Mereka sadar ini sudah bahaya," kata Ari.
Ari menilai keresahan yang sudah muncul di kalangan elite dan intelektual bisa menjelma menjadi gerakan rakyat yang membesar. Terlebih bila koalisi Ganjar-Mahfud dan Anies- Muhaimin bersinergi untuk melawan kecurangan hukum dan pelanggaran netralitas aparat yang terjadi di Pemilu 2024.
"Mereka memiliki irisan yang sama soal kegelisahan demokrasi. Anies- Muhaimin dan Ganjar-Mahfud itu resah dengan kekuatan suprastruktur negara untuk pemenangan calon tertentu," kata Ari.
Peluang kolaborasi
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi melihat ada kesamaan sikap antara kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin dalam merespons skandal MK. Ia menyebut itu sebagai simbolisasi perlawanan terhadap kubu Prabowo- Gibran yang disokong Presiden Jokowi.
Sinyalemen itu, kata dia, bakal terus menguat seiring gembar-gembor Pilpres 2024 bakal "dipaksakan" berlangsung hanya satu putaran. Bukan tidak mungkin pasangan Ganjar-Mahfud berkolaborasi dengan pasangan Anies-Muhaimin untuk memastikan pemilu tak direkayasa demi kemenangan Prabowo-Gibran.
"Dalam konteks ini, baik koalisi Ganjar dan koalisi Amien itu punya kepentingan yang sama. Jadi patut didorong agar terjadi komunikasi politik yang intensif karena mereka melihat tren yang sama," kata Ade kepada Alinea.id, Senin (13/11).
Ade sepakat keresahan di kalangan elite politik dan kaum intelektual yang disuarakan saat ini bisa menjelma menjadi gerakan rakyat. Apalagi, koalisi Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin mulai membuka komunikasi politik untuk berkolaborasi di pilpres.
"Jadi, saya kira yang harus di-clear-kan adalah komunikasi yang baik antara Megawati dan Surya Paloh sehingga tidak menjadi hambatan di lapangan elite dari kedua belah pihak," ucap Ade.
Pasca-Pilpres 2019, hubungan Megawati dan Surya Paloh diisukan tak baik-baik saja. Surya sempat mencap PDI-P sebagai partai sombong. Isu ketidakharmonisan Surya dan Mega itu meredup setelah Ketua DPP PDI-P Puan Maharani bertandang ke NasDem Tower pada Agustus 2022. Puan bahkan sempat masuk radar sebagai kandidat presiden yang bakal diusung NasDem.