sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Lika-liku partai politik baru mendaftarkan bakal caleg

Beberapa partai politik baru yang akan bertarung pada Pemilu 2024 ada yang gagal mendaftarkan bakal caleg mereka.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 27 Jun 2023 06:08 WIB
Lika-liku partai politik baru mendaftarkan bakal caleg

Tak semua partai politik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota bisa memanfaatkan waktu yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 1 hingga 14 Mei 2023, untuk mendaftarkan nama-nama bakal calon legislatif (caleg) yang akan bertarung pada Pileg 2024 mendatang.

Misalnya di Kota Sukabumi, Jawa Barat, Partai Garuda dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dipastikan tak ikut serta dalam memperebutkan kursi di DPRD Kota Sukabumi tahun 2024 nanti. Alasannya, dua partai politik itu tak mendaftarkan bakal caleg mereka hingga batas waktu yang ditentukan.

Di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Partai Buruh, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), dan Partai Garuda dipastikan tak ikut dalam pada Pileg 2024 untuk DPRD Kabupaten Mojokerto. Alasannya, persyaratan administrasi Partai Buruh dan Partai Gelora tak lengkap. Sedangkan Partai Garuda sama sekali tak mengajukan calon. Hal serupa terjadi pula di kabupaten/kota lain di Indonesia, terutama menimpa partai-partai baru dari 18 partai politik nasional peserta Pemilu 2024.

Problem partai baru

Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin mengatakan, partainya tak menghadapi masalah menjaring bakal caleg. “Kami bisa diterima oleh para tokoh lokal, selain dari pemimpin serikat pekerja dan petani,” ucap Said kepada Alinea.id, Rabu (21/6).

“Tapi, memang harus diakui, kami ada problem soal pembiayaan.”

Bakal caleg untuk kursi parlemen kabupaten/kota, ujarnya, menghadapi kendala logistik lantaran mahalnya biaya mengurus dokumen persyaratan. “Salah satunya (mengurus) surat keterangan sehat jasmani dan rohani,” katanya.

Di salah satu daerah di Indonesia bagian timur misalnya, kata Said, ada seorang bakal caleg yang harus merogoh kocek hingga Rp1 juta untuk tes kesehatan. “Bacaleg kami ini orang-orang miskin yang ingin mengubah nasib kaumnya,” ujar dia.

Sponsored

Said menjelaskan, di beberapa daerah, KPU-nya menetapkan fasilitas kesehatan yang dapat dikunjungi untuk tes kesehatan. Biasanya, sebut Said, fasilitas kesehatan yang ditunjuk mematok harga tinggi. Sedangkan jika bakal caleg mendapat surat keterangan sehat di luar fasilitas kesehatan yang sudah ditetapkan, tidak diperbolehkan.

Belum lagi masalah alokasi dana besar untuk transportasi, terutama bakal caleg di wilayah Indonesia bagian timur. Soalnya, bakal caleg juga harus mengantongi surat keterangan tak pernah dipidana dari pengadilan.

“Pengadilan dan kepolisian jarak tempuhnya kadang-kadang dia harus pakai pesawat. Di Indonesia timur jangan dibayangkan kayak kita di Jakarta,” katanya.

Pengendara melintas di sekitar jejeran alat peraga kampanye peserta Pemilu 2019 yang terpasang pada sisi jalan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (11/4/2019)./Foto Antara/Mohamad Hamzah

“Dia harus terbang yang biayanya itu sekali berangkat Rp2 juta, pulang-pergi Rp4 juta cuma datang ke pengadilan. Bagaimana itu? Kan enggak benar dong.”

Kendala biaya itu membuat jumlah bakal caleg yang didaftarkan Partai Buruh tak 100% dari alokasi kursi. Padahal, bakal caleg yang gagal terdaftar sangat potensial karena sudah dipercaya masyarakat.

Said menerangkan, pengurus pusat Partai Buruh tak bisa membantu banyak terkait biaya. Ia mengakui, Partai Buruh bukan partai yang banyak uang.

“Dana partai berasal dari serikat-serikat pekerja, sehingga bantuan operasional untuk bakal caleg hanya sedikit dan tidak memadai,” ucapnya.

“Kami juga ditawari pengusaha-pengusaha untuk biaya, tapi kami menolak. Kami enggak mau berkompromi dengan mereka karena nantinya setiap keputusan kami akan bergantung kepada mereka.”

Dalam pendaftaran bakal caleg di KPU pada Mei lalu, Partai Buruh memaksimalkan kuota DPR dengan mendaftarkan 580 orang dari 84 daerah pemilihan (dapil). Lalu, untuk DPRD provinsi, Partai Buruh hanya mendaftarkan 1.888 bakal caleg dari total 2.372 kursi. Sementara untuk DPRD kabupaten/kota, partai tersebut mendaftarkan 13.500 bakal caleg dari total 17.510 kursi.

Partai Gelora yang baru ikut Pemilu 2024 tak ada kendala masalah dana. Bahkan, menurut Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Gelora Rico Marbun, bakal caleg yang didaftarkan Partai Gelora minimal lebih dari 50% dari total alokasi kursi yang disediakan.

Menurutnya, total bakal caleg yang terjaring sebanyak 16.031 orang. Adapun dalam penyerahan daftar ke KPU Mei lalu, ada 15.587 bakal caleg yang didaftarkan Partai Gelora untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Dari 15.587 bakal caleg, 481 orang didaftarkan untuk DPR atau 83% dari 580 kursi yang tersedia. Bakal caleg yang didaftarkan untuk DPRD provinsi 1.926 orang atau 81,2% dari 2.372 total kursi yang diperebutkan.

Sedangkan DPRD kota/kabupaten Partai Gelora mendaftarkan 12.280 bakal caleg atau 73,5% dari 17.510 total alokasi kursi. Pada Pemilu 2024, Partai Gelora berpartisipasi di 502 dari 508 DPRD kabupaten/kota.

“Ada yang misalnya kuota delapan, tapi yang dikirim enam atau tujuh (bakal caleg),” kata Rico, Rabu (21/6).

Rico mengatakan, tidak sedikit pula di satu dapil bakal caleg yang mendaftar melebihi alokasi kursi. Kondisi tersebut membuat partai harus melakukan seleksi.

“Jadi, ini sangat variatif. Tetapi, secara umum kami selalu berusaha memenuhi, dan rata-rata itu di atas 50% dari kuota kursi. Jadi, kalau kursinya enam di dapil kota/kabupaten, minimal tiga itu kita terpenuhi,” tuturnya.

Rico mengemukakan, ada tiga hal yang membuat orang berbondong-bondong mendaftar sebagai bakal caleg dari Partai Gelora. Pertama, kekuatan jaringan tokoh partai, seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfuz Sidik, dan Deddy Mizwar.

“Hampir sekitar 60-70% dari dapil pusat, itu diisi oleh caleg-caleg DPR yang pernah menjadi anggota dewan, mantan-mantan kepala daerah, atau tokoh-tokoh masyarakat yang kuat,” kata dia.

“Jadi, secara umum figur-figur yang bergabung di Partai Gelora adalah figur-figur yang kokoh dan sudah memiliki akar di masyarakat.”

Kedua, Partai Gelora sudah bergerak ke masyarakat sejak beberapa bulan setelah Pemilu 2019. “Jadi, pengurus Partai Gelora ini bukan hanya sekarang saja turunnya, tapi sudah setahun yang lalu kami turun ke masyarakat. Kami sudah membagi orang-orang itu ke dalam tim-tim inti, kader-kader inti Partai Gelora ke dalam proyeksi daerah-daerah pemilihan,” ujarnya.

Ketiga, karena narasi-narasi partai terkait hal-hal baru Indonesia dan bagaimana Indonesia menjadi negara super power baru. Menurutnya, sampai kini, narasi tersebut hanya Partai Gelora yang membawanya.

Alokasi kursi dan modal

Jumlah bakal caleg yang banyak, membawa angin segar bagi Partai Gelora. Padahal, katanya, persyaratan administratif bakal caleg lumayan berat dan perlu mengeluarkan biaya variatif di setiap daerah. Biaya surat keterangan sehat jasmani dan rohani misalnya, berkisar Rp100.000-Rp800.000.

“Alhamdulillah caleg-caleg mau mengeluarkan uangnya sendiri untuk itu,” ujar Rico.

Sementara itu, Said mendorong agar biaya mengurus persyaratan bakal caleg dibebankan kepada negara. Sebab, bakal caleg ingin berjuang untuk rakyat dan negara. Di sisi lain, pembiayaan yang dibebankan kepada negara bisa meringankan orang kecil yang ingin maju sebagai caleg.

“Kita ingin mengubah peta politik Indonesia yang tidak lagi dikuasai para pengusaha, orang-orang berduit, oligarki, harus ada rakyat-rakyat kecil ini yang juga diberi tempat di kursi-kursi parlemen agar mereka bisa menyuarakan apa yang menjadi penderitaan hidup dari kaumnya,” katanya.

Petinggi Partai Gelora, Anis Matta dan Fahri Hamzahm menemui ribuah kader dan simpatisan di Lapangan Tugu Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (19/3/2023)./Foto Instagram Parta Gelora/@partaigeloraid

Terkait biaya dalam mengurus persyaratan administrasi bakal caleg, komisioner KPU Idham Holik menegaskan, hal itu bukan kewenangan KPU. KPU, kata dia, tak menentukan tarif pelayanan pemeriksaan kesehatan.

“Prinsipnya, kami menerima dokumen pengajuan daftar calon (anggota legislatif) dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang diwajibkan. Ya, hanya sebatas itu,” ucapnya, Rabu (21/6).

Lebih lanjut, Idham menjelaskan, dalam pengajuan daftar caleg, partai politik maksimal bisa mendaftarkan 100% dari alokasi di dapil. Apabila ada partai yang mengajukan di bawah 100%, maka tidak masalah.

“Kecuali di Aceh. Untuk partai lokal Aceh, itu pengajuan daftar calonnya maksimal 120%,” kata Idham.

Pada prinsipnya, daftar yang diajukan kepada KPU sudah termasuk minimal 30% keterwakilan perempuan. Apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi, ucap Idham, KPU akan memberikan pemberitahuan agar partai segera menyesuaikan.

Terpisah, analis politik sekaligus pendiri Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, soal biaya yang dikeluarkan bakal caleg dalam mengurus persyaratan administrasi memang tergantung kebijakan partai. Namun, jika ditanggung oleh partai, hal itu dirasa sulit. Terutama bagi partai politik baru.

“Sementara anggota punya keterbatasan juga soal anggaran,” ujarnya, Kamis (22/7).

Selain memiliki keterbatasan logistik, partai-partai baru punya tantangan dalam menjaring bakal caleg yang berkualitas. Hal ini ditengarai menjadi salah satu alasan mengapa partai baru tidak mendaftarkan bakal caleg secara maksimal, sebagaimana alokasi kursi yang sudah ditetapkan.

Kondisi tersebut jelas berbeda untuk partai politik mapan yang sudah lebih dahulu lolos ke parlemen. Menurut Pangi, partai parlemen punya modal lebih baik dan calegnya ada yang berstatus inkumben, sehingga sumber dayanya cukup memadai. Di sisi lain, status partai parlemen, membuat penjaringan bakal caleg lebih ketat dan kompetitif karena pendaftarnya lebih banyak.

“Sementara partai baru kan enggak punya caleg inkumben. Ditambah lagi tidak semua yang betul-betul punya bantalan logistik yang cukup memadai caleg-calegnya,” ucap dia.

Dalam menjaring bakal caleg berkualitas, partai baru dihadapkan dengan tantangan apakah bisa memastikan lolos parlemen atau tidak. Menurut Pangi, dalam konteks DPR, kepastian tersebut kerap ditanyakan oleh para bakal caleg. Alasannya, jika caleg DPR partai baru meraih suara banyak, tetapi partainya tidak lolos ambang batas 4%, maka tetap tidak akan duduk di Senayan.

“Sehingga yang mendaftar itu betul-betul mereka enggak mau seperti bertarung kayak berjudi. Tentu mereka ingin ada kepastian partai lolos atau tidak,” ujarnya.

Akan tetapi, kondisi berbeda berlaku untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Pangi, bakal caleg dari partai-partai baru semestinya masih punya peluang untuk lolos ke parlemen tingkat tersebut, sekalipun di DPR tidak lolos ambang batas 4%.

“Kayak PSI misalnya, enggak lolos DPR, tapi tetap ada yang lolos DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Perindo juga, DPR enggak lolos, bukan partai parlemen, tapi caleg-caleg Perindo di kabupaten/kota dan provinsi masih banyak,” kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid