sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Omnibus law dan lampu kuning nasib buruh 

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dinilai kental kepentingan pemodal.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 02 Jan 2020 12:19 WIB
Omnibus law dan lampu kuning nasib buruh 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama perwakilan sejumlah kementerian dan lembaga terkait akhirnya merampungkan draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Draf rancangan undang-undang (RUU) sapu jagat itu disepakati dalam sebuah rapat di Istana Bogor, Jawa Barat, pekan lalu. 

Setidaknya ada 1.228 pasal dari 79 UU yang 'diringkus' dan diselaraskan dalam beleid super itu. Substansi dalam draf tersebut bakal memayungi 11 klaster dan bersinggungan dengan tugas-tugas sekitar 30 kementerian dan lembaga. 

Usai rapat, Jokowi berpesan kepada para pembantunya agar serius mengawal perjalanan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di DPR. "Tolong dicek. Hati-hati. Jangan sampai dimanfaatkan untuk tumpangan titipan yang tidak relevan," ujar Jokowi. 

Omnibus Law sebelumnya dicetuskan Jokowi saat berpidato pada momen pelantikannya sebagai Presiden RI di DPR, Senayan, Jakarta, Oktober lalu. Ketika itu, Jokowi menyebut omnibus law--khususnya yang terkait ketenagakerjaan--dimaksudkan untuk menggenjot arus investasi. 

Terhitung hanya dibutuhkan kurang dari empat bulan bagi Jokowi dan jajaran pembantunya untuk merampungkan draf beleid tersebut. Jika tidak ada aral melintang, draf RUU tersebut rencananya bakal dikirim ke Senayan, Januari 2020. 

Kelompok buruh bersuara keras menentang rencana tersebut. Pengurus Departemen Advokasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) M Jamsari mengatakan, setidaknya ada tiga poin di dalam Omnibus Law yang menjadi perhatian KSPI.

Pertama, terkait isu pengurangan nilai pesangon. Kedua, isu kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing (TKA) untuk masuk dan bekerja di Indonesia. Terakhir, diubahnya upah bulanan pekerja menjadi upah per jam. 

Menurut Jamsari, tiga isu yang kerap digulirkan para menteri Jokowi di ruang publik itu cenderung mengakomodasi kepentingan para pengusaha dan merugikan kaum buruh. 

Sponsored

"KSPI menolak seluruh isi omnibus law klaster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Sejauh ini, UU No 13/2003 (tentang Ketenagakerjaan) sudah cukup memberikan keseimbangan kepentingan antara buruh dan pengusaha," katanya saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini. 

Jamsari mencontohkan kerugian yang potensial dialami buruh dengan perubahan sistem pengupahan. Menurut dia, upah per jam memungkinkan buruh menerima gaji jauh di bawah upah minimum bulanan. "Padahal, prinsip upah minimum adalah jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin," jelasnya. 

Sistem upah per jam, lanjut Jamsari, terutama bakal menggerus pendapatan buruh yang harus cuti karena kondisi-kondisi tertentu. "Ini diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang haid. Padahal, selama ini bila cuti haid upahnya tidak dipotong. Begitu pun buruh yang sedang sakit, melahirkan, menjalankan ibadah haji, dan lainnya," tutur dia. 

Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos sepakat draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terlihat lebih mengakomodasi kemauan pemodal. Apalagi, kelompok buruh hampir tidak dilibatkan dalam penyusunan draf RUU tersebut. 

Nining curiga pemerintah memang sengaja mengurangi partisipasi kaum buruh dalam penyusunan draf RUU demi meloloskan pasal-pasal 'bermasalah'. "Beberapa bulan lalu ada gelombang massa yang begitu besar memprotes UU. Jadi, menurut saya, ini bentuk mengantisipasi adanya resistensi," ujar Nining. 

Lewat Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, menurut Nining, negara hanya bakal memberi karpet merah bagi investor untuk membangun industri di dalam negeri. Tapi, pemerintah lupa memberi kepastian bagi para buruh untuk memperoleh kesejahteraan.

"Lewat UU ini, buruh bisa di-PHK dengan semena-mena. Upahnya pun semakin rendah dengan mekanisme upah per jam. Kami pandang ini bentuk pengingkaran pemerintah dalam menjamin penghidupan yang layak terhadap rakyatnya," katanya.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso membantah tudingan-tudingan tersebut. Terkait upah per jam misalnya, ia menyebut, skema itu hanya bakal diberlakukan bagi bagi kelompok pegawai di sektor jasa seperti kalangan profesional, konsultan, dan pekerja paruh waktu. 

"Tidak berlaku untuk buruh. Perlu dicatat sebenarnya yang akan diatur adalah upah 'dapat' diberikan untuk per jam. Jadi, tidak akan menghapus sistem upah atau penggajian yang selama ini ada," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (31/12).

Tanpa merinci, Susiwijono mengatakan, ide sistem pengupahan berdasarkan jam kerja muncul setelah melihat karakteristik pekerja di beberapa sektor. "Tapi, intinya tidak ada yang mengubah sistem upah. Hanya kalau diperlukan untuk sektor tertentu," kata dia. 

Ia pun menepis anggapan bahwa draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bakal mempermudah masuknya TKA. "Yang ada adalah mempermudah perizinan TKA untuk kondisi yang sangat diperlukan, misalkan perbaikan mesin (darurat), dan lain-lain. Yang dipermudah Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan itu pun dibatasi waktunya," tutur dia. 

Selain itu, Susiwijono menegaskan, tak ada materi yang mengatur pengurangan pesangon dalam draf RUU tersebut sebagaimana dikhawatirkan kalangan buruh. "Ini pun perlu dicatat," ujarnya.

Namun demikian, Susiwijono mengakui, kalangan buruh belum banyak dimintai masukan terkait draf tersebut. Ia berjanji bakal segera mengundang kaum buruh dan mendiskusikan isi draf tersebut dengan mereka. "Sehingga semua pihak terkait dilibatkan di semua proses pembahasan," imbuhnya. 

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartanto (kedua kiri) didampingi Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil (kedua kanan), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri), dan Ketua Kadin Rosan Perkasa Roeslani (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan usai Rapat Koordinasi Tiingkat Menteri tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (12/12). /Antara Foto

Skema tripartit 

Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam membahas Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Apalagi, RUU tersebut bersinggungan langsung dengan kepentingan kelompok buruh. 

"Harus melibatkan tripartit, yaitu unsur pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Hak dan kewajiban masing-masing pihak harus diatur secara seimbang. Termasuk tentunya dalam hal pengupahan," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (30/12).

Terkait rencana mengubah sistem upah, Saleh menilai, hal itu harus mendapat persetujuan kalangan buruh. "Bila selama ini para buruh sudah merasa baik dengan sistem upah minimum, itu tentu perlu dipertahankan (atau) bahkan ditingkatkan. Bila ada nuansa yang mengarah pada penghapusan sistem upah minimum tersebut, tentu perlu diperhatikan dan dikawal," tuturnya.

Lebih jauh, ia pun berharap pemerintah dan koleganya di DPR dapat terbuka membahas RUU sapu jagat ini. "Jangan sampai karena ada UU ini, diam-diam para buruh semakin termarjinalkan," ujar politikus Partai Amanat Nasional tersebut. 

Anggota Komisi VI DPR Deddy Sitorus sepakat kelompok buruh wajib dimintai pendapat. Namun demikian, ia meminta publik tidak berspekulasi dulu mengenai beragam isu terkait Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Apalagi, hingga kini DPR belum menerima draf RUU tersebut. 

"Buruh pasti diajak diskusi. Sebab kita harus tahu semua kepentingan. Cuma sekarang agak kepagian kalau kita komentari. Sebab, ini masih wacana. Susah kita ngomong kalau enggak ada draf resminya," ujar politikus PDI-Perjuangan itu. 

Massa yang tergabung dalam Aliansi Sarikat Pekerja Buruh Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (2/11). /Antara Foto

Kental bau kepentingan pemodal 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Nur Sholikin menilai kekhawatiran kaum buruh merupakan hal yang wajar. Apalagi, misi RUU tersebut, sebagaimana disebut Jokowi, ialah untuk menggenjot investasi. "Nah, ini yang harus diwaspadai," ujarnya. 

Kekhawatiran kaum buruh setidaknya tersirat dari komposisi 127 anggota Satgas Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang ditunjuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk menginventarisasi masalah dan memberikan masukan terkait beleid tersebut. 

"Kami pun mengkritik itu. Mengapa satgas yang dibentuk pemerintah itu lebih banyak didominasi kalangan pengusaha? Komponen masyarakat lain tidak masuk dalam satgas. Misalnya asosiasi tenaga kerja," ujar Sholikin. 

Dari komposisi anggota satgas saja, menurut Sholikin, patut diduga kepentingan kaum buruh bakal terancam karena kehadiran RUU super itu. "Jelas kecenderungannya ini akan berpihak kepada investor," kata dia. 

Menurut Sholikin, perlindungan bagi tenaga kerja mesti menjadi hal utama dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. "Jadi, tidak bisa hanya fokus untuk membuka investasi yang besar, tapi merugikan kalangan pekerja dan buruh," ujarnya.

Bila buruh tak dilibatkan dalam pembahasan, menurut Sholikin, buruh patut mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Pemerintah punya kewajiban untuk menjamin penghidupan yang layak bagi rakyatnya sesuai dengan UUD 1945. Secara substansial, buruh bisa  mengajukan judicial review," tuturnya. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, pemerintah dan DPR harus berhati-hati dalam merumuskan substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Ia berharap RUU tersebut bisa menjamin tenaga kerja lokal diberdayakan. 

"Sebaiknya kita belajar dari beberapa negara tetangga seperti China, Malaysia. Mereka memberi fasilitas investor agar menanamkan modal dengan membangun industri. Tetapi, ada pengaturan jumlah persentase tenaga kerja asing dan tenaga kerja domestik," ujarnya.

Keberpihakan pemerintah terhadap tenaga kerja lokal, lanjut Esther, diperlukan mengingat hanya 12% tenaga kerja Indonesia yang  berpendidikan tinggi. "Sementara hampir 50% kualitas tenaga kerja kita hanya SD atau tidak lulus SD. Sisanya tamatan SMP dan SMA," jelas dia.

Bila tak ingin tenaga kerja asing mendominasi, menurut Esther, mau tidak mau UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus mengatur mengenai transfer pengetahuan dan teknologi. "Agar tenaga kerja domestik lebih meningkat kualitasnya sehingga bisa menggantikan peran tenaga kerja asing di Indonesia," ujarnya.

Esther tidak menafikan perlunya regulasi super seperti Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja untuk mendongkrak investasi. Namun demikian, regulasi tersebut juga harus disusun secara bijak sehingga bisa mengakomodasi semua pihak. 

"Sebab bila terlalu memihak buruh, maka investor juga tidak akan masuk karena menilai UU tenaga kerja Indonesia terlalu kaku. Tetapi, tidak boleh juga terlalu memihak ke investor sehingga bisa membuat buruh tereksploitasi," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid