sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pandemi dan paras otoriter rezim Jokowi 

Serangkaian kebijakan pemerintahan Jokowi pada era pandemi Covid-19 dianggap merusak tatanan demokrasi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 28 Mei 2020 17:45 WIB
Pandemi dan paras otoriter rezim Jokowi 

Gemuknya koalisi parpol pendukung pemerintah Jokowi-Ma'ruf di DPR mulai "bertuah". Itu setidaknya terlihat dari mudahnya anggota DPR memberikan lampu hijau terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Jokowi sejak pandemi Covid-19 bergulir. 

Termutakhir, DPR mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 menjadi menjadi undang-undang. Padahal, Perppu itu tengah digugat di Mahkamah Konstitusi karena pasal-pasalnya dianggap bermasalah. 

Sebelumnya, pemerintah dan DPR juga sepakat memulai kembali pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Omnibus Law Cipta Kerja. Draf kedua beleid kontroversial itu terus digarap DPR dan pemerintah meskipun banjir kritik. 

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyebut rezim Jokowi terkesan semakin seenaknya mengeluarkan kebijakan-kebijakan berpolemik. Apalagi, hampir tidak ada kelompok fraksi yang mampu menjadi penyeimbang di DPR. 

"Tren ke otoritarian mulai nampak. Memaksa membahas Omnibus Law (Cipta Kerja) di saat reses dan dalam suasana masyarakat fokus ke penanganan Covid-19 jadi salah satu buktinya," ujar Mardani kepada Alinea.id, belum lama ini. 

Di DPR, hanya PKS yang tegas menyandang status sebagai oposisi. Enam parpol lainnya--PDI-Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Gerindra, dan NasDem--berada di kubu koalisi. Adapun Partai Amanat Nasional dan Demokrat cenderung abu-abu sikapnya. 

Selain getolnya DPR dan pemerintah membahas Omnibus Law Cipta Kerja, Mardani juga mempersoalkan mulusnya pengesahan Perppu Nomor 1/2020 menjadi UU. Padahal, substansi Perppu itu masih menyimpan segudang persoalan. 

"Sebab Perppu Corona ini mengambil kewenangan penganggaran dari DPR. Selain itu, batas defisit yang dibebaskan plus Pasal 27 yang memberikan imunitas (kepada penyelenggara negara yang menangani Covid-19). Jelas ini otoriter," ucapnya.

Sponsored

Batas defisit yang dimaksud Mardani termaktub di Pasal 2 Perppu Covid-19. Di pasal tersebut tertulis bahwa pemerintah berhak untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3% dari produk domestik bruto (PDB) untuk tahun anggaran 2020, 2021 dan 2022. 

Pasal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945. Pada Pasal 23, disebutkan bahwa APBN dibahas secara periodik dan ditetapkan setiap tahun. Tak hanya DPR, kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga yudikatif terpangkas oleh pasal itu. 

Kritik lain yang kerap berulang adalah minimnya partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang. Itu setidaknya kentara dalam pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja dan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)

Selain menunjukkan sikap otoriter, Ketua DPP Demokrat Didik Mukrianto mengatakan, minimnya keterlibatan publik dalam pembahasan RUU juga melabrak aturan yang tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

"Seharusnya sejak mulai penentuan Prolegnas, penyusunan naskah akademik, dan RUU, pembahasan RUU harus melibatkan masyarakat. Tanpa keterlibatan masyarakat, patut dipertanyakan RUU tersebut dibahas untuk kepentingan siapa," ucapnya kepada Alinea.id.

Akan tetapi, saat disinggung soal manuver Demokrat yang akhirnya ikut menyetujui Perppu Nomor 1/2020 menjadi UU dalam rapat paripurna di DPR, dua pekan lalu, Didik enggan menjawab. "Itu bukan domain saya, tapi pimpinan fraksi," ujar dia. 

Presiden Joko Widodo tiba untuk melantik Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Manahan Sitompul di Istana Negara, Jakarta, Kamis (30/4). /Foto Antara

Ruang demokrasi menyempit

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai kualitas demokrasi terus memburuk pada era pemerintahan Jokowi. Pandemi Covid-19, kata dia, turut berkontribusi mengakselerasi menyempitnya ruang-ruang demokrasi itu. 

"Dalam setiap krisis ada tendensi penguatan peran pengusaha, baik dengan alasan yang terkait kebencanaan, peperangan, atau pun krisis lainnya. Atas nama memulihkan krisis, pemerintah dapat melakukan segala sesuatu," jelas Firman. 

Pada masa pandemi, pemerintah cenderung memiliki kemewahan untuk mengeluarkan restriksi atau diskresi. Jokowi, kata Firman, kian mudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bernuansa otoriter karena mayoritas penghuni DPR berada di bawah pengaruh pemerintah.

"Coba lihat nasib Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Yang menolak hanya satu partai. Lainnya bersikap hipokrit. Coba lihat saja Ketua Umum Demokrat AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Dia kritik Perppu itu, bilang ini-itu. Tapi, di dalam parlemen, partainya dukung juga itu Perppu. Bayangkan kalau DPR tidak dalam genggaman Presiden, pasti banyak yang bakal dikritisi," tuturnya.

Tak hanya soal mesranya hubungan eksekutif dan legislatif dalam meloloskan kebijakan-kebijakan kontroversial, Firman mengatakan, rusaknya iklim demokrasi di Indonesia juga ditandai dengan maraknya kriminalisasi terhadap para pengkritik rezim. 

Firman mencontohkan penangkapan terhadap aktivis demokrasi Ravio Patra dan orang-orang yang diduga berafiliasi dengan kelompok Anarko di Malang dan Tangerang, beberapa waktu lalu. 

"Kriminalisasi itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Kemudian, tebang pilih dalam penegakan hukum. Padahal, kebebasan berekspresi adalah indikasi dari kuatnya demokrasi," jelas Firman.

Firman menilai, bila tak ada terobosan politik yang berarti, kemungkinan kualitas demokrasi bakal terus melorot pascapendemi.  "Perlu ada ice breaker, baik dari tokoh yang ada di lingkaran pemerintah atau satu kerja besar yang bernafas panjang oleh kekuatan civil society atau kombinasi," kata dia. 

Seorang buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan pabriknya di Benda, Kota Tangerang, Banten, Jumat (1/5). /Foto Antara

Penurunan kualitas demokrasi di saat pandemi juga diakui Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Menurut Isnur, gejala itu sudah tampak saat pemerintah mencoba menetapkan darurat sipil dalam menangani wabah Covid-19. 

"Mestinya yang ditetapkan adalah UU Kekarantinaan Kesehatan, bukan malah darurat sipil. Dari sini, sudah bisa terlihat pendekatan yang coba ditempuh pemerintah," ucapnya kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (19/5).

Wajah otoriter rezim Jokowi juga kian tegas saat Kapolri Idham Azis mengeluarkan Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 Tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona. 

Di dalam maklumat itu, terdapat sanksi hukum bagi penghina presiden dan pejabat publik selama pandemi. "Maklumat Kapolri ini membangkitkan pasal penghinaan presiden yang sebenarnya sudah dibatalkan oleh MK," ujarnya.

Lebih jauh, Isnur menilai pandemi Covid-19 juga mengungkap hubungan tak sehat antara eksekutif dan legislatif. Itu terlihat dari "diamnya" DPR saat pemerintah mengambil alih hak anggaran DPR sebagaimana tertuang dalam Perppu Covid-19. 

"Bukannya kritis, DPR malah menjadi agen yang mempercepat pembahasan omnibus law di DPR. Perppu pun begitu. Padahal itu jelas menggerogoti hak DPR. Eh, malah disahkan DPR. DPR itu sudah seperti kantor cabang Istana di Senayan. Tugasnya cuma merestui keputusan dan keinginan Istana," ucapnya.

Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan III 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/5). /Foto Antara

Masyarakat sipil jadi harapan 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menduga terjadi persekongkolan antara pemerintah dan DPR. Kedua lembaga itu, kata Lucius, memanfaatkan minimnya pengawasan publik selama pandemi untuk meloloskan kebijakan atau regulasi yang bermasalah.

"Maka yang kita saksikan adalah semacam persekongkolan antarelite yang mendompleng demokrasi untuk meloloskan keinginan mereka. Pengesahan RUU Minerba dan juga pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 merupakan dua bukti aksi persekongkolan itu," jelas Lucius. 

Sikap antidemokrasi DPR dan pemerintah juga terlihat dalam upaya mengebut pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja di tengah pandemi. Padahal, kalangan buruh, masyarakat sipil, dan kelompok mahasiswa jelas-jelas menentang substansi RUU sapu jagat itu. 

"DPR dan pemerintah tak memedulikan masukan publik agar pembahasan itu dihentikan. Mereka justru memanfaatkan pandemi yang sedang terjadi untuk buru-buru menyelesaikan UU ini. Minimal ketika publik sudah kembali normal, ya, RUU Cipta Kerja sudah diketok," ujarnya.

Lebih jauh, Lucius sepakat check and balances tak lagi berjalan sebagai mestinya di Gedung DPR. Ia bahkan menyebut DPR kini benar-benar berfungsi sebagai tukang stempel. "DPR nyaris kembali seperti DPR pada Orde Baru," kata dia.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Segendang sepenarian, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan sepakat rezim Jokowi terasa kian otoriter pada era pandemi. Ia menyebut gemuknya koalisi parpol pendukung pemerintah sebagai biang kerok. 

"Pandemi Covid-19 memperparah kondisi ini lantaran publik tidak bisa mengontrol secara optimal. Yang di luar (pemerintah) hanya tinggal PKS. Ada Demokrat yang sayup-sayup. Kadang di dalam, kadang di luar," jelas Halili. 

Persekutuan antara lembaga eksekutif dan legislatif juga berpengaruh terhadap legitimasi putusan lembaga yudikatif. Halili mencontohkan hilangnya wibawa Mahkamah Agung (MA) ketika pemerintah memaksa menaikkan iuran BPJS kesehatan.  

"MA itu membatalkan kenaikan BPJS. Tetapi, faktanya MA pun diakali oleh legislatif dan eksekutif. Yudikatif itu yang sebenarnya bisa menjadi lawan relasi di antara mereka. Hukum diakali sebagai instrumen untuk mempertegas relasi eksekutif dan legislatif yang sedang buruk," kata dia. 

Jokowi menaikan iuran BPJS lewat Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid itu diteken Jokowi pada awal Mei lalu. Keputusan itu rencananya bakal kembali digugat ke MA.

Halili memandang check and balance bakal tak berfungsi dalam jangka waktu yang lama setelah pandemi usai. Tak tertutup kemungkinan pandemi bakal memicu wabah korupsi. "Bahkan, kita bisa mengalami korupsi yang terinstitusionalisasi karena situasi ini," imbuhnya. 

Dalam situasi seperti ini, menurut Halili, peran elemen masyarakat sipil menjadi sangat penting. Aktivis dan pegiat demokrasi, kata dia, tak boleh diam dan harus terus menyuarakan kritik tajam dan terukur.

"Karena bila bangunan atasnya sudah melemah dan bangunan bawahnya juga melemah, maka akan sempurnalah keterbelakangan demokrasi kita," ucap Halili. 
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid