sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perlukah masa jabatan Megawati cs dibatasi?

Saat ini, setidaknya ada tiga permohonan uji materi terhadap masa jabatan ketum parpol diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 20 Jul 2023 06:07 WIB
Perlukah masa jabatan Megawati cs dibatasi?

Aturan mengenai masa jabatan ketua umum partai politik yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) ramai digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, setidaknya ada tiga permohonan uji materi terhadap pasal-pasal yang mengatur jabatan ketum parpol di Indonesia. 

Eliadi Hulu, seorang warga Nias, Sumatera Utara, jadi salah satu pemohon uji materi tersebut. Ia mengajukan uji materi bersama Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Saiful Salim.

"Landasan konstitusional kami adalah adanya pembatasan. Kalau kita melihat beberapa lembaga negara itu berbasis pembatasan masa jabatan. Misalnya Gubernur BI, presiden, hakim Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung itu dibatasi. Maka, partai politik sebagai pihak yang juga lekat dengan kekuasaan mesti dibatasi," ucap Eliadi kepada Alinea.id, Senin (17/7).

Pasal 2 Ayat (1) Huruf b UU Parpol jadi sasaran utama uji materi. Eliadi dan kawan-kawan berharap agar pasal tersebut ditambahi norma baru yang membatasi masa jabatan ketua umum partai selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali dua kali dalam jabatan yang sama. 

Saat ini, ada sejumlah figur politik yang bercokol di kursi ketum parpol selama lebih dari dua periode. Megawati Soekarnoputri, misalnya, telah memimpin PDI-Perjuangan sejak 1999. Di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar telah berkuasa sejak 2005.  

Masa jabatan ketum yang tidak terbatas, menurut Eliadi, berimplikasi pada kinerja legislator di DPR. Ia mencontohkan pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul saat rapat membahas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Uang Kartal di DPR, April lalu. Ketika itu, Bambang enggan membahas dua RUU tersebut sebelum ada arahan dari Megawati. 

"Itu jelas memperlihatkan apa yang diinginkan atau disampaikan ketum partai politik maka harus diikuti oleh (anggota) legislatif. Dampaknya, mereka ini condong membawa kepentingan ketua umumnya ketimbang kepentingan rakyat. Padahal, mereka dipilih oleh rakyat," ucap Eliadi. 

Eliadi menilai tidak dibatasinya masa jabatan ketum turut membunuh iklim demokrasi di internal parpol dan menumbuhkan dinasti politik. Selain PDI-P dan PKB, ia melihat fenomena serupa terjadi di Demokrat, Gerindra, dan NasDem. 

Sponsored

"Partai Demokrat juga mencerminkan politik dinasti. Dari SBY, (kursi ketum) kemudian jatuh ke anaknya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Kemudian, Gerindra. Prabowo itu menjabat sebagai ketua umum dan menjabat juga sebagai ketua dewan pembina. NasDem juga sama dengan kekuasaan Surya Paloh yang sangat dominan," kata Eliadi.

Sejauh ini, Eliadi mengaku optimistis uji materi yang ia ajukan bakal dikabulkan MK. "Tapi, kalau ada partai yang bermanuver dan mempengaruhi ini, itu bisa lain. Kita tak ingin menaruh curiga. Mudah-mudahan para hakim MK objektif," kata Eliadi.

Guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Ni'matul Huda berpandangan uji materi terhadap UU Parpol yang mengatur masa jabatan ketua umum merupakan sebuah langkah progresif. Menurut dia, selama ini masa jabatan ketum kerap dianggap tabu untuk dipersoalkan oleh kader-kader di internal parpol itu sendiri. 

Terkait itu, Ni'matul merinci tiga hal pokok yang patut diperhatikan dalam memahami peran ketua umum terhadap tranformasi demokrasi, baik di internal sparpol maupun pada skala nasional. Pertama, ketum berpotensi mempengaruhi arah kebijakan. 

"Terlebih lagi, ketua umum partai juga berpeluang menjadi presiden sehingga pemimpin partai akan mempengaruhi perilaku memilih, sikap publik, dan politik secara umum," kata Ni'matul kepada Alinea.id, Minggu (16/7).

Kedua, metode pemilihan ketua umum juga mempengaruhi kualitas kepemimpinan nasional. "Pandangan yang menyatakan bahwa proses seleksi tidak terlalu penting karena sosok yang luar biasa (outstanding figures) akan selalu memenangkan kontestasi, terlepas dari aturan dan prosedur yang digunakan, tidak dapat lagi dipertahankan," imbuh dia. 

Terakhir, metode pemilihan ketum perlu didesain supaya dinamis dan memungkinkan perubahan besar di internal parpol. "Pada umumnya, perubahan dimaksud mengarah pada metode pemilihan yang semakin demokratis," ucap Ni'matul.

Diakui Ni'matul, UU Parpol telah memandatkan agar pemilihan ketua umum digelar secara demokratis. Namun, proses pemilihan ketum-ketum parpol di Indonesia kerap mengabaikan itu. Kebanyakan ketum parpol, semisal di PDI-P dan NasDem, bahkan dipilih secara aklamasi alias tanpa penantang. 

"Tidak heran bila aturan hukum tentang demokratisasi atau suksesi kepemimpinan dalam parpol hanya memiliki makna simbolis. Pembuat peraturan sama sekali tidak memberi perhatian yang cukup untuk memastikan bahwa aturan dimaksud dapat ditegakkan dan diimplementasikan secara baik dalam tataran praktik," ucap Ni'matul.

Guru besar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan juga menyambut baik permohonan gugatan untuk membatasi masa jabatan ketum parpol. Menurut Fauzan, masa jabatan ketua umum yang terlampau lama rentan disalahgunakan dan korup. 

"Filosofi pembatasan kekuasaan termasuk dalam hal periodisasi karena kekuasaan itu cenderung korup dan disalahgunakan. Selain itu, pengaturan ini sangat relevan dengan prinsip demokrasi," kata Fauzan kepada Alinea.id

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang berpidato dalam musyawarah nasional (Munas) Hanura di Jakarta, Selasa (17/12/2019). /Foto Antara

Tak perlu diatur?

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera memandang wajar jika publik menghendaki masa jabatan ketum parpol dibatasi. Menurut dia, sirkulasi kepemimpinan di partai memang diperlukan untuk perkembangan demokrasi. 

"Apalagi, ada adagium power tend to corrupt, yaitu bahwa kekuasaan terlalu lama cenderung menyimpang. Itu punya pembenaran dalam sejarah. Partai yang baik biasanya selalu melakukan sirkulasi kepemimpinan dengan teratur," ucap Mardani kepada Alinea.id, Senin (17/7).

Namun, Mardani tak menampik bukan perkara mudah membangun budaya sirkulasi kepemimpinan di internal partai. Pasalnya, banyak parpol masih bergantung pada ketokohan para pemimpinnya dalam membangun kultur politik. Pengaruh ketua umum sulit tergantikan.

"Kadang memang tidak mudah membangun ketokohan. Karena itu, beberapa partai, dengan pertimbangan membangun ketokohan, memperpanjang masa jabatan ketumnya dan itu tidak bertentangan dengan undang-undang," ucap Mardani.

Lebih jauh, Mardani menyebut masa jabatan ketum sebaiknya tak perlu diintervensi melalui uji materi undang-undang. "Yang diperlukan pemaksaan prinsip demokrasi di internal partai. Misalnya, wajib ada pemira (pemilihan raya) di tiap parpol," kata Mardani.

Juru bicara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Usman M. Tokan setuju masa jabatan ketum parpol tak perlu diatur dalam undang-undang. Pasalnya, tak semua parpol bercorak demokratis dan cenderung berkembang besar karena mengandalkan ketokohan dari pemimpinnya. 

"Kita lihat Demokrat, PDI-P, NasDem, dan Gerindra lahir karena figur. Kalau zaman dulu, partai itu lahir karena musyawarah pemangku kepentingan untuk membawa aspirasi membentuk sebuah partai. Tapi, sekarang partai politik itu lahir karena seorang figur yang ingin partisipasi dalam kekuasaan," kata Tokan kepada Alinea.id, Selasa (18/7).

Menurut Tokan, tak ada salahnya seorang ketum dipilih hingga lebih dari dua periode di sebuah parpol. Apalagi, kinerja ketum dianggap mumpuni dalam membesarkan parpol dan memenangi pemilu dari periode ke ke periode. 

"Kalau dibatasi, sementara partai politik itu punya program jangka panjang, lalu mereka ingin itu berkelanjutan, kemudian kepemimpinan dianggap masih layak, kenapa tidak?" ucap Tokan.

Di PPP, masa jabatan ketum dirancang selama lima tahun dan bisa dipilih kembali tanpa batasan periode. Ketum bisa kembali memimpin asalkan mendapat dukungan mayoritas dari pemilik suara pada musyawarah nasional.

Untuk calon ketum baru, syaratnya ialah kader PPP yang pernah berkarier sebagai pengurus harian di tingkat pusat selama minimal satu periode. "Jadi, mekanisme pemilihan ketua umum itu ada aturan yang dibuat masing-masing partai dan tentunya berbeda. Tapi, pelaksanaan demokrasi di PPP itu berjalan," imbuh Tokan. 

Sejumlah politikus PDI-P telah angkat suara menyoal upaya uji materi masa jabatan ketum itu. Bambang Pacul, misalnya, menyebut gugatan tersebut salah alamat. Ia berdalih parpol punya kemandirian untuk membuat aturan di internalnya sendiri. 

"Ini kalau MK-nya mengambil keputusannya kayak gini (mengabulkan uji materi), MK-nya juga salah minum obat," kata Bambang kepada wartawan di Gedung DPR, awal Juli lalu. 

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) berbincang dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kiri), Juli 2023. /Foto Instagram @prabowo

Bangun sistem merit

Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor berpendapat negara tak perlu membatasi masa jabatan ketum parpol. Pasalnya, negara juga cenderung tak berperan banyak dalam tumbuh-kembang parpol-parpol di Indonesia. 

"Partai itu terbentuk di luar pemerintahan dan dia terbangun dari inisiatif pihak luar pemerintahan. Jadi, sebaiknya negara tidak perlu masuk terlalu dalam mengurus internal partai," kata Firman kepada Alinea.id, Senin (17/7).

Menyoal dinasti politik yang lazim muncul karena ketum yang dominan, Firman memandang dampaknya tak selalu buruk. Ia mencontohkan dinasti politik yang terbangun di sejumlah negara, semisal keluarga Kennedy di Amerika Serikat dan keluarga Gandhi di India.

"Selama pemilihan di internal partai itu merujuk pada kompetensi. Kalau memang dia keluarga politik, tapi memang memiliki kompetensi yang baik dan memadai untuk jadi pejabat atau elite partai, enggak masalah. Sepanjang itu fair," ucap Firman.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Meski begitu, Firman tak memungkiri sebagian besar parpol di Indonesia belum sepenuhnya menjalankan sistem merit yang baik. Walhasil, banyak kader yang "naik jabatan" sekadar karena loyal dan bukan karena kompeten. Di lain sisi, keputusan ketum juga kerap dianggap absolut sehingga regenerasi kepemimpinan mandek. 

"Belum ada penilaian kaderisasi yang baik, merit system yang baik. Padahal, kalau itu dijalankan, demokrasi di internal partai akan bagus. Sekalipun ada dinasti politik, tapi dinasti politiknya enak dilihat, bukan semaunya ketua umum," ujar Firman.

Berbeda, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Ujung Komarudin menilai masa jabatan ketua umum sudah sewajarnya dibatasi. Ia merujuk pada masa jabatan presiden yang juga dibatasi selama lima tahun dan hanya bisa dua periode memimpin. 

"Itu hal yang rasional yang muncul dari masyarakat yang ingin melihat bahwa partai politik menjalankan demokrasinya secara baik. Biar bagaimanapun, jabatan yang terlampau panjang itu bisa korup dan banyak penyimpangan," kata Ujang kepada Alinea.id, Senin (17/7).

Meski begitu, Ujang pesimistis permohonan uji materi UU Parpol yang diajukan sejumlah kelompok masyarakat bakal dikabulkan hakim MK. "Karena bisa jadi MK tidak berani mengabulkan," ucap Ujang.
 

Berita Lainnya
×
tekid