sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PKS: Kebijakan pemerintah tangani pandemi membingungkan

Negara seharusnya mendengar pendapat ahli kesehatan dan epidemiolog, bukan pembisik.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Selasa, 19 Mei 2020 14:23 WIB
PKS: Kebijakan pemerintah tangani pandemi membingungkan

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Sukamta, berpandangan, kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi coronavirus baru (Covid-19) membingungkan. Terkait pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB), misalnya.

Mulanya, bakal mempersilakan usia di bawah 45 tahun kembali beraktivitas demi perekonomian. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan mengklaim, pemerintah belum merelaksasi opsi karantina kesehatan hingga sekarang.

"Bagaimana masyarakat akan disiplin dengan kebijakan pemerintah, jika wacana yang muncul malah membingungkan. Pernyataan Pak Presiden tersebut, seakan menyalahkan masyarakat yang dianggap keliru pahami wacana-wacana pemerintah," katanya via pesan tertulis, Selasa (19/5).

Karenanya, Sukamta meminta masyarakat tidak disalahkan terkait berkembangnya opini negara menyerah dalam menghapi pandemi. Apalagi, pemerintah sendiri yang memilih opsi PSBB dibandingkan karantina wilayah (lockdown).

"Pada 1 April 2020, Presiden sampaikan mengapa kebijakan PSBB yang dipilih, bukan karantina wilayah. Karena alasan supaya ekonomi masyarakat bisa berjalan. Juga dianggap PSBB ini paling sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia," paparnya.

"Ternyata setelah PSBB berjalan di beberapa daerah, banyak kegiatan ekonomi masyarakat yang terganggu," sambung Anggota Komisi I DPR itu.

Seharusnya, menurut Sukamta, kebijakan pemerintah berdasarkan hasil kajian mendalam. Pun bersungguh-sungguh melaksanakan dan mengevaluasinya secara berkala.

Sayangnya, ungkap dia, wacana pemerintah tentang relaksasi maupun "hidup berdamai" dengan Covid-19 menunjukkan PSBB menyisakan dua masalah. Tidak mampu mengendalikan penyebaran SARS-CoV-2 dan kurvanya belum melandai.

Sponsored

Kedua, PSBB tidak mampu menyelamatkan ekonomi masyarakat sesuai dalih pemerintah. Artinya, negara tidak tahu prioritas dalam menghadapi pandemi.

Wacana pemerintah juga tak didasarkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dirinya menduga, pemerintah kini mengalami kebingungan karena kasus positif menyebar merata ke seluruh Indonesia dan hampir ke 400 kabupaten/kota.

Ini membuat skema penanganan menjadi lebih rumit lantaran kondisi sarana prasarana (sarpras) dan sumber daya manusia (SDM) kesehatan di daerah tak merata. Sementara, anggaran penanganan diskenariokan hanya unutk 3-6 bulan.

"Dengan adanya wacana berupa skenario di bulan Juni atau Juli aktivitas masyarakat, baik pendidikan dan ekonomi, sudah mulai kembali normal, seakan pemerintah sudah lepas tanggung jawab untuk berikan bansos (bantuan sosial), jaring pengaman sosial untuk masyarakat yang terdampak," tegasnya.

Kalau pun pemerintah mau serius jalankan skenario pelonggaran PSBB atau new normal, bagi Sukamta, beberapa perlu diperhatikan. Pertama, memastikan kurva perkembangan Covid-19 melandai secara stabil.

Kedua, memastikan seluruh masyarakat mengetahui protokol kesehatan yang harus dijalankan dengan senantiasa menjaga jarak, mengenakan masker, dan rajin mencuci tangan. Ketiga, jumlah rumah sakit dan ruang isolasinya cukup untuk mengantisipasi lonjakan pasien kala pelonggaran PSBB.

Terakhir, memastikan ketercukupan jumlah alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis dan masker untuk masyarakat. "Pertanyaannya, apakah sudah terpenuhi kesemua syarat tersebut? Jika belum, sangat riskan kebijakan pelonggaran dilakukan," ucapnya.

"Pemerintah," imbuh Sukamta, "semestinya merujuk sepenuhnya kepada pendapat para ahli di bidang kesehatan dan epidemiologi dalam membuat kebijakan yang terkait penanganan Covid-19, bukan para pembisik yang punya kepentingan ekonomi sesaat."

Berita Lainnya
×
tekid