sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Prabowo kembali di ujung tanduk?

Elektabilitas Prabowo Subianto terus melorot. Bakal gagal lagi di Pilpres 2024?

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 19 Jan 2023 16:00 WIB
Prabowo kembali di ujung tanduk?

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis akhir Desember lalu, membuat Teddy Purnomo, 26 tahun, "bergembira". Sigi SMRC menyingkap perpindahan suara dari Ketum Gerindra Prabowo Subianto kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 

Bagi Teddy, fenomena pergeseran suara itu mengamini kekecewaan dia dan rekan-rekannya sebagai pendukung pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Teddy mengaku tak lagi bersimpati kepada Prabowo setelah mantan Danjen Kopassus itu bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. 

"Kita udah bela mati-matian, eh, dia (Prabowo) malah masuk pemerintahan. Bayangin aja kita turun demo segala macam, enggak dilihat sama sekali. Coba dia tetap di luar. Kita dukung lagi pasti," kata Teddy kepada Alinea.id, Minggu (15/1).

Didampingi Sandiaga Uno, Prabowo merupakan penantang pasangan Jokowi-Maruf di Pilpres 2019. Tak lama setelah pilpres usai, Prabowo memutuskan membawa Gerindra ke gerbong pemerintahan. Pada Oktober 2019, ia ditunjuk jadi Menteri Pertahanan. 

Sejalan dengan survei SMRC, Teddy mengaku bakal mendukung Anies di Pilpres 2024. Ia meyakini Anies bakal memperoleh dukungan dari ulama-ulama yang kecewa dengan langkah Prabowo bergabung dengan pemerintahan Jokowi. 

"Pokoknya, saya ikut ulama besok. Tapi, saya yakin beliau (ulama-ulama) semua enggak dukung Prabowo lagi," ujar warga Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat itu. 

Merujuk pada hasil survei SMRC, tanpa menghitung pemilih Jokowi-Ma'ruf, tercatat ada 98,7% pemilih beragama Islam yang mencoblos Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Sisanya atau sebanyak 1,3% merupakan pemilih dari agama yang lain.

Namun, dalam survei teranyarnya, SMRC merekam sekitar 45% pemilih Prabowo-Sandi menyatakan bakal memilih Anies di Pilres 2024. Dari 98,7%, hanya tinggal 36% yang setia pada Prabowo. Sebanyak 13% mengaku bakal memilih Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan 6% lainnya tidak menjawab.

Sponsored

Survei tersebut digelar dengan melibatkan 1.220 responden selama periode 3-11 Desember 2022. Metode yang digunakan stratified multistage random sampling dengan teknik wawancara tatap muka. Tingkat kepercayaan 95% dan batas galat sekitar 3,1%. 

Di papan survei SMRC, Ganjar masih berada di peringkat pertama dengan tingkat keterpilihan sebesar 26,5%. Namun, posisi kedua kini ditempati oleh Anies dengan elektabilitas 18,6%. Tingkat keterpilihan Prabowo hanya 16,8%. 

“Pada Pemilu 2019, sentimen Islam cukup kuat pada Prabowo. Sekarang diganti sama Anies. Sentimen Islam pada 2019 (sekarang) pindah ke Anies,” kata pendiri SMRC, Saiful Mujani dalam sebuah rilis pers pada 12 Januari lalu. 

Survei berkala yang dirilis SMRC sejak awal 2021 memang merekam elektabilitas Prabowo yang terus melorot. Pada survei Juni 2021, SMRC menemukan Prabowo masih di atas angin. Kala itu, Prabowo meraup elektabilitas hingga sebesar 21,5%, diekor Ganjar (12,6%) dan Anies (12,0%). 

Sekitar enam bulan berselang atau tepatnya pada akhir Desember 2021, elektabilitas Ganjar meroket. Kala itu, sigi SMRC merekam tingkat keterpilihan Ganjar sudah berada pada angka 19,2%. Prabowo masih berada di urutan pertama dengan 19,7%, sedangkan Anies berada di peringkat ketiga dengan raupan sebesar 13,4%.

Peneliti SMRC Saidiman Ahmad menilai keputusan Prabowo bergabung dengan pemerintahan menjadi faktor terbesar yang menyebabkan migrasi suara ke Anies. Menurut dia, pemilih yang cenderung berseberangan dengan Jokowi pada Pilpres 2019 kecewa dengan keputusan itu. 
 
"Pada Pemilu 2019, Prabowo menampung suara yang kritis pada pemerintah. Suara itu sekarang cenderung ditarik oleh Anies," kata Saidiman kepada Alinea.id, Minggu (15/1).

Saidiman menyebut Anies mulai mendapat limpahan suara dari pemilih Prabowo sejak resmi dideklarasikan sebagai calon presiden oleh Partai NasDem pada awal Oktober 2022. Sejak lengser dari posisinya sebagai gubernur, Anies juga digadang-gadang jadi sosok oposisi pemerintah.  

"Sejak itu, dia (Anies) semakin terlihat sebagai bakal calon yang potensial maju. Agak susah untuk Prabowo mengambil kembali suara yang pindah itu karena sekarang Anies lebih menunjukkan karakter oposisi dan Islamis," ucap Saidiman.

Eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyapa pendukungnya di Makassar, Sulawesi Selatan, Desember 2022. /Foto Instagram @aniesbaswedan

Kerja mesin parpol 

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai NasDem Hermawi Taslim mengklaim naiknya elektabilitas Anies tak terlepas dari kerja mesin parpol dalam mempromosikan Anies. Kenaikan elektabilitas, kata dia, juga menunjukkan efektifnya strategi NasDem untuk mendeklarasikan Anies lebih dini. 

"Mendeklarasikan Anies lebih awal emang dimaksudkan agar lebih banyak waktu memperkenalkan Anies kepada rakyat. Sejak 3 Oktober, serentak mesin Nasdem sudah on di semua lapisan struktural dengan moto Anies presidenku, NasDem partaiku," kata Hermawi kepada Alinea.id, Senin (16/1).      

Hermawi tak memungkiri menyasar eks pemilih Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 yang hingga kini masih terpolarisasi. Sejak akhir tahun lalu, Anies dan NasDem rutin berkampanye di daerah-daerah yang dianggap sebagai lumbung suara Prabowo. 

"Itu pula semangat kami ketika membawa Anies ke berbagai daerah dan akan dilanjutkan mulai Januari ini ke Bandung-Karawang (22-23 Januari), keliling Banten (24-25 Januari), dan keliling NTB (30-31 Januari)," tutur Hermawi.

Saat ini, NasDem berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. PKS dan Demokrat belum mengumumkan Anies sebagai capres. Meski begitu, Hermawi mengungkap mesin politik PKS dan Demokrat pun telah bergerak. 

"Dalam setiap perjalanan membawa Anies, selain berdialog dengan rakyat, selalu ada agenda temu relawan dan rapat dengan struktur PKS dan Partai Demokrat di provinsi setempat. Dengan strategi yang seperti ini, kami ingin rakyat agar mengetahui segalanya tentang Anies. Jadi, kami tidak menjual kucing dalam karung," ujar Hermawi.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Habiburokhman tidak sependapat jika elektabilitas Prabowo dianggap terus melorot lantaran beralih ke Anies. Berbasis hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN), ia mengklaim elektabilitas Prabowo justru naik, terutama di wilayah Jawa Barat.

"Update survei LSN, justru Pak Prabowo malah paling unggul. Kami mensyukuri hasil survei tersebut sebagai awal yang baik menyambut tahun 2023 sebagai tahun politik," kata Habiburokhman kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Survei LSN digelar pada periode 2-11 Januari 2023 dengan melibatkan 1.200 orang responden dari Jawa Barat. Hasil sigi menunjukkan tingkat keterpilihan Prabowo di Jawa Barat mencapai 54,8%, diikuti Anies (24,8%), dan Ganjar (13,2%).

Menurut Habiburokhman, survei LSN juga mematahkkan asumsi adanya migrasi suara dari Prabowo ke Anies. Ia berpendapat Prabowo justru mendapat ceruk baru karena kepuasan publik atas performanya sebagai Menhan di kabinet.

"Hal ini sama dengan yang saya temui di arus bawah dapil saya Jakarta Timur. Hampir setiap malam saya keliling menyapa warga. Pemilih 2019 masih loyal karena mereka melihat kinerja Pak Prabowo yang luar biasa cemerlang di kabinet. Jadi, pilihan berkoalisi dengan pemerintah Jokowi dianggap membawa kemanfaatan," ujar dia. 

Bertolak dari hasil survei LSN, Habiburokhman meyakini Prabowo semakin berpeluang memenangi Pilpres 2024. Ia memastikan mesin politik Gerindra bakal digerakkan untuk terus mendongkrak tingkat elektabilitas Prabowo. 

"Terlepas hasil survei Pak Prabowo yang terus membaik, seluruh kader Gerindra akan terus kerja all out untuk melayani rakyat yang baru melewati masa pandemi," kata dia. 

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) bersama Presiden Joko Widodo di sela-sela rapat pimpinan Kementerian Pertahanan, Januari 2023. /Foto Instagram @prabowo

Di ujung tanduk?

Peneliti Charta Politika Ardha Ranadireksa menilai wajar bila suara Prabowo tergerus Anies. Menurut dia, konstituen pasca-Pilpres 2014 dan 2019 masih terpolarisasi tajam. Sayangnya, Prabowo sudah tidak dianggap mewakili kelompok oposisi.

"Anies merupakan representasi dari pendukung antitesa Jokowi. Sementara, masuknya Prabowo ke dalam kabinet menyebabkan posisinya relatif tidak jelas jika dikaitkan dengan polarisasi kubu di atas," kata Ardha kepada Alinea.id, Senin (16/1).

Di lain sisi, Prabowo juga tak bisa mengandalkan Jokowi sebagai pendongkrak elektabilitas. Pasalnya, Jokowi terkesan bakal mendukung Ganjar. "Ganjar lebih kuat diidentifikasi sebagai penerus Jokowi dibandingkan Prabowo," imbuh Ardha. 

Satu-satunya cara yang paling ampuh mendongkrak elektabilitas, kata Ardha, ialah dengan memilih pasangan yang tepat. Terkait itu, Ardha menyebut nama Ganjar dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) sebagai pasangan terbaik. 

"Dalam rilis survei Charta Politika periode Desember lalu, ketika Ganjar dipasangkan dengan Prabowo dapat meraih elektabilitas sampai dengan 45%," kata Ardha.

Meskipun punya elektabilitas tertinggi, hingga kini belum ada parpol yang mendeklarasikan Ganjar sebagai capres. Di lain sisi, RK kerap muncul sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi keempat sebagai capres atau cawapres dengan tingkat keterpilihan tertinggi. 

"Belum terlihat nama cawapres yang punya daya leverage (ungkit). Relatif hanya Ridwan Kamil yang kelihatannya sudah punya efek itu walaupun masih belum signifikan," kata Ardha.

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak sepakat simpati kelompok muslim konservatif kini lebih cenderung mengarah ke Anies ketimbang Prabowo. Ia menyebut Prabowo perlu terobosan untuk menyelamatkan peluangnya memenangkan Pilpres 2022. 

"Bersamaan dengan gelombang konservatisme agama, jumlah komunitas ini makin banyak saja. Latar belakang Anies sangat mendukung itu, yaitu sebagai muslim modern, terdidik, dan juga cucu seorang tokoh pejuang," kata Zaki kepada Alinea.id, Selasa (17/1).

Saat ini, Gerindra tengah menjalin koalisi Partai Keadilan Bangsa (PKB) untuk menghadapi Pilpres 2024. Namun, Zaki berpandangan Ketum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin bukan pasangan yang tepat bagi Prabowo. 

Koalisi dengan PKB, lanjut Zaki, juga bukan jaminan bagi Prabowo untuk meraih berkah elektoral dari kalangan Nahdliyin. Saat ini, kaum Nahdliyin dan kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU) tidak satu suara mendukung Cak Imin sebagai kontestan Pilpres 2024.

"Kaum Nahdliyin saat ini sangat cair dalam pilihan politiknya. Kiai-kiai juga sudah menyebar di mana-mana. Tidak gampang dimobilisasi ke satu titik. Problem lainnya, NU struktural kepemimpinannya saat ini lebih mengikuti garis Jokowi daripada PKB, sementara dukungan Jokowi lebih ke Ganjar. Jadi, tidak mudah bagi Prabowo," kata Zaki.

Zaki menyebut dua skenario yang memungkinkan elektabilitas Prabowo terkerek naik. Pertama, berpasangan dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang juga tokoh NU dan representasi kaum Nahdliyin. 

"Prabowo sebenarnya sudah beberapa kali mendekati dan mengajak gabung Khofifah. Tetapi, belum ada sinyal positif dari Khofifah. Jika Khofifah bersedia, situasinya juga akan sangat pelik. PKB mungkin exit dari koalisi dengan Gerindra dan belum tentu juga NU struktural mendukung," kata Zaki.

Kedua, berkolaborasi dengan Jokowi mewujudkan pasangan Prabowo-Ganjar. Pasangan itu hanya mungkin terealisasi jika PDI-Perjuangan tak mengusung Ganjar sebagai capres di Pilpres 2024. Jika dipadukan, elektabilitas pasangan itu sulit disaingi pasangan mana pun. 

"Tampaknya, sampai saat ini PDI-P juga masih ke putri mahkota, Puan Maharani. Jokowi juga cocok dengan formula Prabowo-Ganjar ini karena dianggap mampu mengamankan kepentingan ekonomi-politiknya. Yang jadi pertanyaan, apakah ada keberanian dari Ganjar hengkang dari PDI-P dan bertarung tanpa restu Bu Mega?" cetus Zaki. 

Berita Lainnya
×
tekid